
Terakota.id-Gending khas Malangan menjadi bahan perkuliahan di Institut Seni
Indonesia (ISI) di Solo. Gending Malangan dipelajari mahasiswa jurusan pedalangan
dan karawitan. Gending Malangan berbeda dengan gending Solo atau Yogyakarta,
perbedaan terletak pada komposisi dan pola kendangan.
“Gending Malang terkesan kasar, khas karakter Malang yang lugas,” kata
pengajar Program Studi Tari dan Musik Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang,
Robby Hidayat. Sedangkan instrumen musik gamelan yang digunakan sama, hanya
terletak pada diameter kendang lebih besar sehingga menghasilkan suara yang lebih
berat.
“Kita harus bangga gending Malang ajarkan di kampus,” katanya. Sementara selama
ini gending Malang digolongkan kesenian pesisit yang dianggap kelas dua. Sedangkan
gending Solo dan Yogyakarta menjadi rujukan utama. Dampaknya gending Malang
terpinggirkan, gending keraton Solo dan Yogyakarta dianggap lebih tinggi.
“Para pengrawit lebih memilih gending Solo dibanding Malang,” ujarnya. Gending
Malang dimainkan untuk mengiringi seni tari topeng, tayup, ludruk, wayang topeng
dan wayang kulit. Namun gending Malang berangsur surut mulai 1970 an. Kini hanya
teri topeng, dan wayang topeng yang diiringi gending Malangan.
Wayang Jekdong
Wayang dengan gendang Malang dikenal dengan wayang jekdong. Disebut jekdong karena
iringan saat pembuka beberangan menggunakan kepyang, kendang dan gong. Saat ketiga
alat musik ditabuh bersamaan menimbulkan bunyi ‘jek dong.’ Wayang jekdong jarang
dipentaskan, satu-satunya dokumentasi yakni dokumentasi rekaman dalang asal
Sengguruh Kepanjen, Ki Matadi.
“Ki Matadi sudah meninggal,” ujarnya. Sedangkan para pelaku seni belajar melalui
panggung pertunjukan. Mereka tak belajar secara formal sehingga sejak tak ada
pementasan tak ada yang belajar gending Malangan. Sehingga para dosen ISI ke
Malang untuk menggali gending Malangan.
Salah seorang pemain kendang jekdong, Sumantri mengumpulkan seniman di
padepokannya Jalan Pelabuhan Bakahuni Malang. Mereka kembali memainkan gending
Malangan secara bersama. Pertunjukan ini merupakan momen langka.
Mereka duduk bersimpuh di atas tikar sambil memainkan sejumlah alat musik gamelan.
Pemain sebagian besar berusia lanjut, hanya segelintir anak muda yang ikut
berbaur. Mereka bermain di sebuah sanggar kesenian sederhana di pinggiran Kota
Malang. Sebuah bangunan sederhana berdinding anyaman bambu menjadi sanggar mereka
untuk berkreasi.
“Seni pertunjukan langka, media belajar geding Malang semakin sulit,” ujarnya.
Untuk melestarikan gending Malangan, Sumantri sempat membuat lagu berjudul
‘Tribina Cita’ dengan iringan dengan gending Malangan. Lagu tersebut telah direkam
pada 2005. Namun sampai saat ini tak pernah diputar di Balai Kota Malang maupun
kawasan publik seperti terminal dan stasiun.
Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Malang, Gimun mengakui saat ini
dalang jarang mementaskan wayang dengan iringan gamelan Malang. Karena permintaan
masyarakat bergeser dan memilih gending Solo. “Gending Malang jarang dipentaskan,
pertunjukan wayang rasa Jawa Tengah.”

Jalan, baca dan makan