Kaprodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang melatih para peserta Sekolah Srikandi Desa untuk melek hukum dan digital literasi. (Terakota/ Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.idPara perempuan muda duduk bersimpuh, meriung mereka memegang gawai. Bercengkrama dan berdiskusi. Mereka akrab dengan gawai untuk mencari informasi, menjualan produk kriya secara daring maupun mengetahui informasi terbaru di kampung sekitar Kota Batu.

Mereka tengah tekun belajar dalam Sekolah Srikandi Desa. Sebuah sekolah non formal yang digagas Suara Perempuan Desa (SPD). Ketua SPD, Salma Safitri menjelaskan para meski akrab dengan gawai mereka tak bisa membedakan antara informasi dengan kabar bohong atau hoaks. Sehingga kadang mereka turut menyebarkan hoaks di lingkungan sekitar.

“Sehingga perlu pendidikan literasi digital,” kata Salma yang akrab disapa Fifi. Untuk itu, Suara Perempuan Desa menggandeng Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang. Untuk memberikan literasi digital sekaligus melek hukum atas potensi jeratan hukum atas penggunaan media sosial.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang Purnawan D Negara menyampaikan pola komunikasi  dan budaya masyarakat Batu berubah. Jika dulu masyarakat komunal yang dikenal guyub rukun, yang komunikasi dilakukan dengan berinteraksi secara langsung. Namun, sekarang meski terpisah jarak mereka tetap bisa berkomunikasi.

“Dulu harus mengetuk pintu rumah, bertamu. Sekarang bisa langsung berinteraksi dan komunikasi di kamar dan di ruang keluarga,” katanya. Perubahan ini harus dihadapi dengan kesiapan mental dan pengetahuan yang memadai. Sehingga tak terseret dalam informasi keliru dan hoaks.

Literasi Digital

Ketua Program Studi Ilmu Hukum FH Universitas Widyagama Malang Zulkarnain menjelaskan pendidikan literasi digital dibutuhkan untuk membangun kesadaran bersama perempuan desa dalam etika bermedia sosial. “Melek digital, memanfaatkan teknologi digital penting,” katanya.

Perempuan, katanya, banyak beraktivitas di ranah domestik. Masa senggang banyak, yang memungkinkan digunakan untuk mengakses media sosial tinggi. Untuk itu, Zulkarnain mengkampanyekan kepada perempuan untuk menghindari jeratan Undang Undang Informatika dan Transaksi Elektronik. “Agar tahu, bukan menakut-nakuti. Jangan sedikit-sekidit lapor polisi,” katanya.

Ia mengajak masyarakat dan penegak hukum tidak serta merta menyeret perkara UU ITE ke ranah pidana.  Pidananya, kata, terjadi karena ada niat batin sehingga Zulkarnain meminta agar tak buru-buru dilaporkan ke polisi. Tujuan hukum pidana, kata Zulkarnain,  merupakan senjata pamungkas. Sehingga aparat penegak hukum bisa mempertemukan atau mediasi pelaku dan korban.

Kaprodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang melatih para peserta Sekolah Srikandi Desa untuk melek hukum dan digital literasi. (Terakota/ Eko Widianto).

“Kalau bisa selesai secara kekeluargaaan kenapa harus dibawa ke peradilan?,” tanya Zulkarnain.

Namun, berbeda jika perkara tersebut mengancam kemanan negara dan keselamatan publik.  Sedangkan jika menyangkut privasi, seperti pencemaran nama baik atau ada yang merasakan tersingung lebih baik memaafkan. “Aparat penegak hukum habis waktunya jika menangani masalah kecil. Habis energi untuk privat. Sedangkan urusan publik tak tertangani,” katanya.

Zulkarnaik juga mengingatkan agar ibu-ibu tak sembarangan menampilkan foto anak-anak ke media sosial. Karena jika diunggah di media sosial, foto tersebut menjadi milik publik dan bisa disalahgunakan.

Sekolah untuk Perempuan

Ketua SPD, Salma Safitri menjelaskan Sekolah Srikandi Desa merupakan pengembangan dari Sekolah Perempuan yang dikembangkan sejak 2013-2019. Sebelumnya diselenggarakan bagi ibu dan perempuan desa di Desa Songgokerto, Sidomulyo, Bulukerto, Tlekung, Gunungsari, dan Giripurno. Alumni Sekolah Perempuan sebanyak 925 orang, tersebar di tujuh desa dalam tiga kecamatan.

Beragam materi dan keterampilan diberikan. Meliputi pengetahuan praktik strategis dan pengembangan ekomomi melalu koperasi. Sekolah diselenggarakan sepekan sekali selama dua jam. Jadwal dan lokasi sekolah menyesuaikan kegiatan peserta didik. Kurikulum dibahan bersama, ditetapkan selama setahun sebanyak 20 kali pertemuan.

“Bisa di kelas dan di luar kelas,” katanya. Antara lain, mengenai hak politik perempuan, akses terhadap musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Termasuk mengenai hak perempuan dalam Undang-Undang Desa.

Sekolah diselenggarakan secara swadaya. Sekolah Srikandi Desa, kata Salma, diselenggarakan karena sekitar 70 perempuan desa di Batu berpendidikan setara SMP, dan kawin muda. Sehingga penting dibangunkan kesadaran kolektif perempuan di Kota Batu untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Apalagi, kini sumber daya alam di Kota Batu mulai menurun. Mulai kualitas lingkungan, air dan tanah. Lantaran perkembangan pembangunan di sektor wisata yang cepat mengikis ruang terbuka hijau, lahan pertanian berkurang cepat dan konsekuensinya terjadi kritis ekologi.

Melalui Sekolah Srikandi Desa, katanya, diharapkan perempuan semakin kritis seperti kritis terhadap penyaluran bantuan sosial Covid-19. Siapa saja yang memperoleh? Bagaimana mekanismenya? Apakah tepat sasaran?

“Sekolah perempuan menjadi ruang belajar bersama,” katanya. Agar bisa meneladani karakter Srikandi seorang perempan yang tangguh, cerdas, pemberani, dan ulet.

Ketua Sekolah Srikandi Desa Mianah  menjelaskan jika sekolah juga membentuk koperasi sejak Februari 2021.  Koperasi selain memiliki usaha simpan pinjam dan unit usaha beragam kriya. Koperasi menampung kriya yang dihasilkan anggota. Memberi pinjaman modal dan melatih keterampilan.

“Menampung dan pasarkan produk anggota,” katanya. Setiap anggota koperasi membayar simpanan pokok Rp 50 ribu dan simpanan wajib Rp 10 ribu. Tujuannya, agar perempuan bisa berdaya secara ekonomi. Selain melakukan pekerjaan domestik juga dibekali keterampilan ekonomi produktif yang bisa dikerjakan di rumah.