Ilustrasi; Dakwatuna
Iklan terakota

Katur Ibu

Kanca tuwun Guru kula ingkang tansah rumaket,

Ibu, kala semanten Ibu nate ngendika menawi saben dinten kula kedah lumampah ingkang sae. Kula tansah nglampahi saking sekedhik, kados tumetesing toya…

(Melati, Serat Kagem Ibu, karya Galuh Larasati)

Terakota.id–Mbak Atik (panggilan akrab Galuh Larasati) menulis buku Melati, Serat Kagem Ibu (Melati, Surat Untuk Ibu), dalam bahasa Jawa ragam halus. Ia menulis cerita dalam bahasa Jawa. Ia mengisahkan cerita berbentuk surat seorang anak pada ibunya yang telah berpulang, dalam  bahasa ibu (baca juga sebagai: bahasa daerah; bahasa pertama yang dipajankan pada anak-anak). Bahasa ibu yang saat ini tak lagi banyak dituliskan, senasib dengan surat yang kini tak lagi ditulis dengan pena dan dikirimkan via pos disertai perangko.

Bahasa Jawa halus yang dituliskan Mbak Atik dalam buku itu merupakan ragam bahasa Jawa, yang hampir hampir tak pernah lagi saya simak, tuturkan, dan tuliskan. Kalau saya diminta menulis surat dalam bahasa Jawa halus, seperti Mbak Atik, saya tentu perlu waktu lama untuk melakukannya. Bahasa pertama atau lazim juga disebut sebagai bahasa ibu saya adalah bahasa Jawa, tetapi bahasa Jawa Suroboyoan. Bahasa Jawa versi ludruk. Bahasa Jawa tlatah Arek, yang cenderung egaliter dan dikesankan lebih kasar daripada bahasa Jawa halus maupu  bahasa Jawa Mataraman.

Kebiasaan menulis surat pribadi kepada keluarga, kolega, sahabat, dan kawan baik, saat ini sangat jarang saya lakukan. Menulis kartu ucapan masih saya lakoni , tetapi frekuensinya juga tak tarbilang sering. Menulis surat di kertas, lalu dikirim via pos, sudah bertahun-tahun saya tinggalkan. Komunikasi korespondensi kini lebih banyak saya jalankan di pos elektronik melalui google. Saya sedikit bersyukur, sebab tulisan tangan saya yang terbilang buruk, tergantikan papan ketik di laptop, PC, maupun gawai pintar.

Kosa kata “surat” di Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti kertas bertulis; secarik kertas bertulis; sesuatu yang ditulis, kini lebih cenderung bermakna sesuatu yang ditulis. Tak lagi menggunakan kertas, tanpa kertas (paperless), dan tak harus sekali buang. Surat elektronik tak akan pernah kehabisan bahan ‘kertas’ sebagai medium menulis surat. Dengan kecerdasan buatan bahkan kita akan bisa membaui surat elektronik yang kita terima dengan macam-macam wewangian, seperti kala kita menulis surat di kertas beraroma.

Berbagai jenis template kertas surat elektronik dapat kita gunakan dengan mudah. Ribuan jenis font huruf untuk menulis surat bisa kita aplikasikan. Menulis surat menjadi lebih otomatis, praktis, dan sangat mudah. Kita tak perlu pergi ke kantor pos dan membeli perangko. Kita juga lebih akrab dengan suara teriakan “paket” daripada “surat” atau ‘pos”. Revolusi teknologi informasi memudahkan dan menyederhanakan cara kita menulis, mengirim, serta memperoleh surat.

Di dunia yang serba gegas seperti yang kita lalui saat ini memberi kita kemudahan menulis aneka jenis surat. Surat pribadi, surat lamaran pekerjaan, ataupun surat resmi dinas, dibuat dengan gampang dan cepat, Semua jenis surat ada template nya, yang bisa dicari tanpa harus membuang banyak tenaga di internet. Jangankan template jenis surat, template isi surat apapun, tak kalah enteng dicari di internet. Kemudahan salin dan tempel (copy paste) memfasilitasi siapapun untuk bisa menulis jenis surat apapun. Prosedur dan cara kerja korespondensi, kemudian menjadi kecakapan yang bisa dikuasai siapa saja, bukan lagi monopoli seorang sekretaris.

Surat apa yang saat ini ingin Anda tulis saat ini? Saya ingin menulis surat untuk diri sendiri. Surat yang ingin saya tulis tanpa template. Surat yang saya tulis dengan bahasa ibu,  selancar saya menuturkan bahasa ibu, bahasa pertama yang dipajankan pada saya. Saya perlu mengambil waktu barang beberapa hari, seperti teman-teman yang harus isolasi mandiri setelah dinyatakan sebagai Orang tanpa Gejala (OTG) meski positif Covid-19. Bahasa Indonesia lebih banyak memenuhi rongga di otak ketimbang bahasa ibu. Untuk itu saya harus bekerja keras menulis surat itu dalam bahasa ibu.

Saya menyerah. Bahasa ibu saya tersesat entah di mana, kala saya mulai memegang pena dan berusaha menuliskannya di secarik kertas. Saya pindah menulis ke laptop. Sama saja hasilnya. Saya mampu menulis satu kata yang sejurus kemudian saya hapus, tulis, dan hapus lagi, terus begitu, tanpa menambah satu katapun, kecuali kata yang saya hapus. Saya duduk dan menyimak lagi buku Melati, Serat kagem Ibu. Saya paham maksud penulis. Saya mengerti makna kalimat yang tertulis di dalamnya. Saya orang Jawa, bisa berbahasa Jawa secara lisan dan mampu berkomunikasi lisan dalam bahasa Jawa. Tapi saya sulit menulis dalam bahasa Jawa.

Saya merasa Melati, tokoh yang menulis surat untuk Ibunya yang telah berpulang, tak hanya menuliskan suratnya untuk sang Ibu. Ia menulis surat itu untuk saya. Iya, untuk saya. Orang Jawa yang tak tahu bagaimana menarasikan kisah dalam bahasa Jawa. Orang Jawa yang lupa bagaimana harus menuliskan pengetahuan dalam bahasa Jawa. Raja Ali Haji pencipta Gurindam dua belas, tentu tak sembarangan berfatwa Jika hendak mengenal orang berbangsa, maka lihat kepada budi bahasa. Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, senada berkata “Bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi. Bahasa adalah kondisi kemanusiaan kita. Nilai-nilai kita, keyakinan dan identitas kita tertanam di dalamnya.”

Melati, layangmu wes tekan……

***