
Terakota.id–Saya pertama kali mendengar nama Mbah Moen sekitar 20 tahun yang lalu, ketika saya berkunjung ke Magelang, tepatnya ke rumah salah seorang teman yang pernah nyantri di pesantren Bahrul Ulum Sahlaniyah Krian Sidoarjo. Setelah berbincang tentang berbagai hal, saya tahu bahwa pilihan politik teman saya jatuh ke PPP.
Dia menjatuhkan pilihan ke PPP karena mengikuti pilihan kyai besar di Sarang yang tidak lain adalah KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen). Lima tahun terakhir nama Mbah Moen semakin santer di media baik cetak maupun elektronik karena menjadi magnet bagi banyak kalangan untuk minta doa restu. Tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah dunia dan bahkan juga politik termasuk capres dan cawapres.
Banyak ulama yang menyatakan bahwa Mbah Moen adalah seorang wali. Namun yang menarik bagi saya adalah pengakuan KH. Abdul Hamid (Mbah Hamid) Pasuruan tentang kewalian Mbah Moen. Ketika Maimoen muda (Gus Moen) baru pulang dari Mekkah sekitar tahun 1950, para kyai khas yang sedang berkumpul di rumah KH. Maksum sibuk memuji kehebatan Gus Moen, hingga Mbah Hamid yang juga hadir dalam perkumpulan itu merangkum pujian kepada Gus Moen sebagai seorang yang dzakiyyun, alimun, salihun, mufassirun, muhadditsun, faqihun, sufiyyun, waliyyun min awliya’illah.
Di kesempatan yang lain, Mbah Hamid juga menegaskan kembali tentang kewalian Mbah Moen. Ceritanya adalah di zaman orde baru, ada seorang tamu sowan ke Mbah Moen. Tamu ini sebelumnya adalah salah satu orang yang ikut berjuang di PPP, namun kemudian pindah haluan masuk ke partai lain. Pada waktu itu hanya ada tiga partai; PPP, Golkar dan PDI.
Begitu tiba di kediaman Mbah Moen dan bertemu dengan beliau, Mbah Moen berkata kepadanya: “Awakmu metu teko PPP…?! Entek donyamu! (Engkau keluar dari PPP…?! Habis hartamu!) Tak berselang lama dawuh Mbah Moen ini menjadi kenyataan dalam kehidupan sang tamu. Merasa bingung dengan kondisinya yang berubah drastis, ia lalu sowan ke Mbah Hamid, guna memohon doa dan solusi. Tatkala tiba di kediaman Mbah Hamid, sang tamu langsung disergap pertanyaan oleh Mbah Hamid: “Lapo sampean mrene…!? Kono… Nang Kyai Maimoen, Wali Nom!” (Kenapa kamu kesini…!? Sana… Ke Kyai Maimoen, Wali Muda!!!”)
Kesaksian Mbah Hamid atas kewalian Mbah Moen ini sangat menarik tidak hanya karena paling dahulu di antara kesaksian para ulama yang lain. Tetapi juga menarik dilihat dari sosok Mbah Hamid sendiri yang tersohor sebagai seorang wali. Mbah Hamid adalah seorang wali abdal yang menggantikan posisi wali abdal sebelumnya yaitu KH. Sahlan Tholib Krian Sidoarjo. Tidak ada yang mengenal wali kecuali wali (juga). Di zaman akhir, lebih banyak wali mastur (menyembunyikan jati dirinya) daripada wali masyhur (yang diketahui banyak orang).
Mbah Hamid pernah mengungkap kewalian seseorang yang menyamar sebagai orang gila. Orang ini dalam kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mbah Hamid menitipkan salamnya kepada orang tersebut melalui tamu dari Kendal yang sowan ke Pasuruan. Belakangan diketahui bahwa sosok yang dimaksud adalah Eyang Samud.
Eyang Samud sendiri ketika jati dirinya telah diketahui oleh orang lain, memohon kepada Allah Swt untuk dicabut nyawanya dan seketika itu juga, Eyang Samud meningggal di hadapan orang yang menyampaikan salam Mbah Hamid. Hikmah dari cerita ini, jangan memandang rendah kepada orang gila atau gelandangan, siapa tahu mereka adalah wali Allah yang sedang menyamar (undercover).
Ada wali yang terkenal di langit (ma’ruf fi al-sama’) tetapi tidak dikenal di bumi (majhul fi al-ardh) dan ada wali yang terkenal di langit sekaligus terkenal di bumi. Contoh golongan yang pertama adalah Uways al-Qarni dari Yaman yang hidup sezaman dengan Nabi Saw tetapi tidak pernah berjumpa secara fisik. Mungkin karena tidak seperti para sahabat yang leluasa berjumpa dengan Nabi Saw, Uways al-Qarni sangat memperhatikan bentuk detail wajah Nabi Saw ketika bertemu secara ruhani.
Uways al-Qarni semasa hidupnya juga pernah dianggap sebagai orang gila dan dianggap sebagai orang yang tidak penting. Ketika Uways al-Qarni meninggal, banyak wali Allah (rijal al-ghayb) yang berebut mengurus jenazahnya. Nabi Saw pernah berpesan kepada Sahabat Umar dan Ali agar meminta doa kepada Uways al-Qarni untuk keselamatan umat Islam. Untuk golongan kedua, kita bisa menyebut Wali Songo, Mbah Sahlan, Mbah Hamid Pasuruan, Gus Miek, Gus Dur dan tentu saja Mbah Moen. Sebenarnya masih banyak yang lain tetapi saya kira cukup untuk membuat contoh kategorisasi tentang wali yang populer dengan yang tidak.
Kepopuleran Mbah Moen di kalangan para wali dan ulama tidak perlu diragukan lagi. Hal ini bisa dilihat dari kedekatan Mbah Moen dengan tokoh-tokoh ulama kaliber internasional dari berbagai belahan dunia. Mbah Moen sering berkunjung dan sekaligus dikunjungi oleh para ulama dunia.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang mengganti posisi Mbah Moen sebagai wali? Syeikh Abbas al-Mursi (Murcia Spanyol) –murid Syeikh Abu Hasan al-Sadzili dan guru Syeikh Ibn Ataillah al-Sakandari– menafsirkan kata ayat dalam QS 2:106 (مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا) sebagai seorang wali. Maka artinya adalah “Tidak ada wali yang kami cabut nyawanya atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kecuali Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” Mbah Moen telah pergi, apakah penggantinya masuk kategori wali yang masyhur atau mastur? Wallahu a’lam.
Saya masih ingat dengan jelas ketika Gus Miek wafat pada tahun 1993, bumi di belahan Jawa Timur diguyur hujan selama 3 hari. Tanah dibasahi oleh air mata langit yang bersedih atas meninggalnya salah satu kekasih Allah. Begitu juga ketika Mbah Moen wafat. Langit Mekkah diliputi mendung kesedihan dan tanah suci dihujani air mata langit.
Begitulah, kepergian Mbah Moen tidak hanya ditangisi oleh kalangan Muslim tetapi juga non-Muslim. Tidak hanya ditangisi oleh manusia bahkan juga oleh alam. Mbah Moen adalah salah satu contoh nyata dari ungkapan syair tentang kelahiran dan kematian ideal:
ولدتك أمك يا ابن آدم باكياً .. والناس حولك يضحكون سروراً
فاعمل لنفسك أن تكون إذا بكوا .. في يوم موتك ضاحكاً مسروراً
Wahai anak Adam, Engkau dilahirkan ibumu dalam keadaan menangis
Sedangkan manusia di sekelilingmu tertawa bahagia (atas kelahiranmu)
Beramalah untuk dirimu, agar pada ketika orang-orang menangis
Di hari kematianmu, kamu tertawa bahagia (bertemu Tuhanmu)
Serang, 7 Hari Mbah Moen.

*Penulis adalah dosen di UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten