Mbah Maridjan, Kesatria Gunung Merapi

Bahwa merapi sedang "mbangun". Jika situasi demikian, maka sebagai kuncen Mbah Maridjan akan melakukan ritual labuhan dan laku tirakatan berupa puasa mutih dan berdoa sambil berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.

Mbah Maridjan (berkacamata) (Sumber: TEMPO/Puspa Perwitasari)
Iklan terakota

Terakota.id– “Old Man Is Beautiful”. Orang tua indah dan fotogenik itu tinggal di puncak Merapi. Tempat tinggalnya kurang lebih hanya berjarak 4 kilometer dari pusat erupsi. Piantun sepuh itu semacam sosok penanda zaman yang masih tersisa dari sebuah zaman kearifan lokal. Ia mungkin juga tepat disebut sebagai pertapa, the saint (orang suci) atau justru “artefak tua” yang selalu jadi tumpuan dan “jujugan” para pendaki gunung Merapi.

Mereka sowan padanya untuk sekadar mendapat wejangan “angger-angger“. Yaitu semacam kode etik jika naik Gunung Merapi. Sebentuk pesan moral darinya untuk selalu menjaga keharmonian manusia dan alam, gunung salah satunya.

Orang tua itu bernama Raden Ngabehi Mas Panewu Surakso Hargo. Alias Mbah Maridjan. Seorang abdi ndalem keraton Yogyakarta pada Ngarso Dalem Sultan Hamengku Buwono kaping IX. Namanya merujuk pada jabatan sebagai juru kunci Gunung Merapi. Surakso artinya penjaga dan Hargo punya arti gunung. Maka Surakso Hargo berarti penjaga atau kuncen Gunung (Merapi).

Mbah Maridjan menjadi juru kunci dan memimpin ritual labuhan di puncak gunung Merapi setelah ayahnya wafat. Seperti hukum tak tertulis, jika ingin tahu Merapi silahkan sowan dulu ke rumah beliau di Kinahrejo desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Bisa dikatakan hukumnya wajib ain.

Mbah Maridjan juga guru spiritual bagi kaum pendaki. Beliau adalah simbol kesetiaan, dedikasi, integritas dan kesederhanaan. Para pecinta alam atau pendaki yang mau naik gunung Merapi memerlukan diri sowan pada beliau untuk mencari petuah-petuah, “ngudi kaweruh gembleng roso” ihwal keselarasan dengan alam.

Beliau sangat faham benar hal ihwal etika ekologis. Etika yang mengajarkan bahwa hidup harus, “manjing ing kahanan” dengan alam. Itu rumus harmoni. Dimana membiarkan alam hidup sesuai dengan kemauannya sendiri. Dan jika manusia ingin hidup tenang dengan alam, maka hormatilah hak hidup alam. Kecuali memang ingin diganggu dengan bencana alam.

Wejangan semacam ini dilakukan di rumah beliau yang juga tempat transit pendaki sambil menikmati kebul-kebulnya kopi jahe, tempe anget, ote ote, rondo royal, telo godok, bakwan, dan semangkok mie instan yang ditaburi potongan-potongan cabe rawit. Sungguh sebuah kemewahan tiada tara di puncak Merapi.

Konon, suatu ketika KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) bertemu Mbah Maridjan yang ternyata juga pengurus ranting NU Kinahrejo. Yai Hasyim dapat pesan dari Mbah Maridjan agar para pembesar negeri ini bisa hidup jujur sejujur-jujurnya. Tak lain supaya dunia tentram. Pokoknya, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Mbah Marijan. Soal kesetiaan pada alam, kesahajaan, dan tentu spiritualitas.

Sebagai “kuncen” Merapi, Mbah Maridjan sangat legendaris. Ia seakan memiliki intuisi di atas rata-rata dalam medeteksi pergerakan gunung Merapi. Ia mampu melihat fenomena dengan naluri yang tajam. Atau ilmu mengenali kebiasaan/niteni. Kelebihan “ilmu niteni” ini bisa membuat prediksinya selalu tepat. Sehingga ancaman bahaya letusan Merapi bisa diantisipasi dan jarang menimpa Kinahrejo.

Ini adalah hasil interaksi beliau dengan Merapi sedari kecil. Sehingga ia mengerti betul isyarat alam, gelegak Merapi, keresahan satwa, gerak angin, dan cuacanya. Ia seakan hafal tentang kemungkinan Merapi meletus atau tidak. Walhasil, “Ngelmu niteni” Mbah Marijan seolah lebih dipatuhi warganya sisi selatan Merapi daripada prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Lalu, tentang kepulan asap muntahan lahar Merapi, menurut Mbah Maridjan, bukanlah semata sebagai ancaman. Dalam hal ini ia punya tafsir sendiri. Bahwa merapi sedang “mbangun”. Jika situasi demikian, maka sebagai kuncen Mbah Maridjan akan melakukan ritual labuhan dan laku tirakatan berupa puasa mutih dan berdoa sambil berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam.

Hal itu sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Allah SWT. agar terhindar dari segala macam bala dan bahaya. Bahkan beberapa hari sebelum Merapi meletus, sosok bersahaja yang selalu menjauh dari hiruk pikuk duniawi ini, tak mau di wawancarai atau menemui siapapun. Ia lebih senang menyendiri dan beribadah shalat berjamaah bersama warga di masjidnya.

Sebagai abdi dalem dengan jabatan juru kunci, Mbah Maridjan menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Ia bersikukuh tidak mau meninggalkan tempat. Meskipun Gunung Merapi sedang memuntahkan lava pijar dan awan panas yang membahayakan manusia. Sepintas, sikapnya terkesan bodoh dan keras kepala.

Padahal itu semata-mata wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarso Dalem HB kaping IX. Kesetiaan menjaga Merapi membuatnya harus tetap di tempat. Dan mengungsi baginya adalah kekalahan dan menyerah karena tak mampu menjalankan “titah“, tugasnya sebagai seorang prajurit yang diperintahkan menjaga Merapi.

Akhirnya, ada batas pemberhentian dari pengabdian Mbah Maridjan yang bersahaja itu. Beliau ditemukan wafat di kamar rumahnya dalam posisi sujud pukul 05.00 WIB, Rabu 27 Oktober 2010. Mbah Maridjan berhasil manjing menjemput ajal dengan cara mapan dan indah. Keteguhannya menjaga Merapi harus dibayar mahal dengan nyawanya yang dihempas awan panas atau wedhus gembel tepat saat beliau dalam posisi memanjatkan doa keselamatan warganya dalam pasujudan. Posisi sujud menyiratkan kepasrahan total pada Gusti Allah. Karenanya posisi wafatnya Mbah Maridjan adalah sebentuk devosi yang tidak main-main ketika awan panas mengepungnya.

Ia meninggal sebagai kesatria yang gugur dalam tugas. Mungkin, sejarah akan mencatat dengan sinis keteguhannya sebagai keteguhan bodoh. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Mbah Marijan berani memilih untuk meninggal dalam tugas.

Maka kematiannya adalah kematian yang indah. Dimana penjaga Merapi mati dengan tetap berada di pangkuan Merapi. Semoga kasuwargan Mbah Kung. Al-fatihah.

Sarpon, Rabu 14 Agustus 2019