
Oleh: Darmaningtyas*
Terakota.id– Menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilihan Presiden (Pilpres) tanggal 17 April 2019 ini saya perlu menuliskan memori pengalaman hidup pada masa Orde Baru (Orba) yang oleh para pendukungnya, terutama anak-anak pimpinan Orba dicoba dibangkitkan kembali, seolah-olah kejayaan bangsa Indonesia itu dicapai pada masa Orba. Mereka membangun narasi bahwa hidup pada masa Orba itu lebih enak, sampai muncul candaan “masih enak zamanku kan?”.
Ucapakan itu untuk menghiasi foto pimpinan Orba Jendral Besar Soeharto yang berkuasa dari tahun 1966 – 1998 (32 tahun) dengan senyumnya yang khas dan multi tafsir. Karena menurut mereka hidup masa Orba lebih baik, maka mereka pun berjanji kalau Prabowo terpilih menjadi presiden kedelapan, akan mengembalikan kejayaan pada masa Orba.
Betulkah masa Orba itu lebih enak daripada masa sekarang?
Ekonomi
Harga-harga pada masa Orba memang murah semua dibandingkan saat ini. Harga Sembilan Bahan Pokok (Sembako) rata-rata di bawah Rp. 1.000,-. Harga beras hanya Rp. 500,- per kg. Tapi jangan lupa pula bahwa gaji (PNS, pegawai swasta, dan buruh pabrik) saat itu juga amat rendah. Gaji PNS itu bilangannya hanya Rp.60.000 – Rp. 750.000,- saja (tergantung golongannya). Demikian pula UMR rata-rata di bawah Rp. 200.000,-. Jadi harga-harga yang rendah itu sepadan dengan gaji/pendapatan yang rendah pula. Boleh dikatakan enak kalau gaji tinggi tapi harga barang-barang kebutuhan murah. Tapi ini yang terjadi adalah harga barang-barang murah karena gaji juga rendah.
Seorang guru SD pada masa Orba maksimal gajinya Rp. 200.000,- tapi sekarang di Jakarta bisa mencapai Rp. 11 juta. Guru PNS nasional yang sudah menerima tunjangan profesi bisa terima gaji dan tunjangan profesi mencapai Rp. 8 juta. Bila dibelanjakan, guru PNS saat itu, baik guru SD sampai dengan guru SMTA mampunya hanya kredit sepeda motor bebek saja, tapi guru-guru sekarang mampu beli/kredit mobil, umrah, bangun rumah, nguliahkan anak, dan jalan-jalan ke luar negeri, minimal ke Singapura, Malaysia, dan China.
Pada masa Orba dulu, guru bisa piknik (tour) paling dompleng murid-murid yang study tour, tapi sekarang mereka bisa tour bersama keluarga sendiri, tidak perlu dompleng murid-murid yang study tour. Khusus untuk PNS pada umumnya, sekarang jelas jauh lebih enak daripada masa lalu.
Meski penduduknya masih banyak sekarang, namun mencari pekerjaan saat itu juga susah. Baik untuk menjadi pegawai negeri, BUMN, maupun swasta amat mengandalkan relasi. Penerimaan CPNS (calon pegawai negeri sipil) saat itu umumnya memakai uang suap yang besarannya amat bervariasi untuk setiap jabatan dan daerah. Jadi saat itu, untuk jadi PNS kalau tidak punya relasi dan tidak mampu menyuap ya sedikit yang jadi. Istilah KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) yang dilekatkan pada Rezim Orba itu menggambarkan bahwa birokrasi seperti itulah yang bercokol pada saat Orba dulu.
Kondisi yang sama buruknya juga dialami oleh para buruh pabrik. Saat itu yang dijual oleh Pemerintah kepada investor adalah upah buruh murah. Dengan upah buruh yang murah, mana mungkin buruh dapat hidup sejahtera? Buruh yang vocal memberjuangkan nasibnya bisa dibunuh seperti yang terjadi pada Marsinah (1993).
Bagaimana dengan petani, nelayan, pedagang pasar, PKL, dan sebagainya? Kalau dilihat rumah mereka, kepemilikan kendaraan, dan mobilitas geografis mereka, sekarang jelas lebih baik. Sampai ke desa-desa rumah-rumah sudah banyak yang berupa rumah tembok dengan genteng dari tanah (bukan seng), dan rapi. Mereka umumnya memiliki sepeda motor, bahkan lebih dari satu, mereka juga memiliki HP semua.
Kalau masa Orba lebih enak, tentu mereka bisa kredit sepeda motor saat itu, tidak usah nunggu sekarang, mengingat harga sepeda motor bebek saat itu hanya Rp. 2 juta. Kalau betul zaman Orba lebih enak, mestinya mereka mampu kredit motor yang harganya Cuma Rp. 2 juta saja. Tapi ternyata mampunya kredit motor itu paska Orba tumbang dan harga sepeda motor sudah atas Rp. 13 juta.
Jadi secara ekonomis tidak ada bukti empiris terhadap klaim bahwa zaman Orba lebih enak, lebih sejahtera, dan mengalami kejayaan. Para pejabat Negara dan pengusaha yang dekat dengan penguasa mungkin lebih enak dan mengalami kejayaan, karena saat itu tidak ada yang mengontrol pejabat Negara. KPK dan LSM seperti ICW belum ada, sehingga orang korupsi berapa pun ya tidak ketahuan. Yang pasti pada tahun 1993 itu ada kasus pengemplangan uang Negara yang yang diambil dari uang Bank Bapindo dan dilakukan oleh Edy Tansil sebesar Rp. 1,3 triliun, dan Edy Tansi-nya sampai sekarang entah raib ke mana. Itu baru dari satu orang yang ketahuan saja.
Jadi pejabat Negara dan pengusaha yang dekat dengan penguasa saat itu memang jaya. Bahkan ada seorang menteri yang baru menikah dua tahun dengan seorang artis, tapi saat cerai, harta gono gininya mencapai Rp. 20 miliar. Gile kan? Waktu menikahnya saat itu hampir bersamaan dengan munculnya kasus Bank Bapindo. Si artis itu kemudian menikah dengan bule dari Australia dan bermukim di sana, sementara pak menterinya sekarang sudah almarhum.
Namun yang jaya saat itu hanya pejabat Negara dan pengusaha yang dekat dengan penguasa, sementara rakyat kebanyakan tidak merasakan enaknya, hanya pahit getirnya saja yang dirasakan. Terbukti ketika Orba tumbang 21 Mei 1998 mayoritas warga bersorak-sorai, tidak bersedih hati. Rakyat merasa seperti baru merdeka, merasa memperoleh kebebasan baru.
Pada masa Orba itu penggusuran secara sewenang-wenang terjadi di mana-mana dan rakyat tidak bisa berkutik, meski tidak memperoleh ganti rugi atau ganti ruginya amat kecil. Sampai saat ini masih banyak yang mengenang kekejaman Orba dalam penenggelaman rumah-rumah di Kedungombo, Boyolali, Jawa Tengah yang dipakai untuk Waduk Kedungombo.
Pada masa Orba itu kita juga akrab dengan istilah HPH (Hak Penguasaan Hutan). Hak itu hanya diberikan kepada segelintir orang, para pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Jadi kalau sekarang muncul gugatan-gugatan terhadap penguasaan sumber daya ekonomi nasional oleh segelintir orang saja, itu terjadi secara besar-besaran pada masa Orba. Kalau pada masa Presiden Jokowi ini ya sudah tidak ada lagi lahan yang dibagi-bagi kepada segelintir orang saja, Kalau Pak Prabowo sering mengatakan bahwa ada sekian ribu triliun rupiah kekayaan kita dibawa lari ke luar negeri, itu dugaan saya paling banyak terjadi juga pada masa Orba. Terutama menjelang akhir masa Orba.
Setelah itu, apalagi yang mau dibawa lari ke luar negeri karena kita mengalami krisis multi dimenasi. Presiden BJ Habibie adalah presiden masa penyelamatan, Gus Dur dan Megawati adalah presiden masa pemulihan kondisi dan mulai bangkit. Dan barulah Presiden SBY yang memulai masa membangun kembali.
Nestapa Petani Cengkih
Bagi para petani cengkih di seluruh Indonesia, tentulah tidak akan pernah melupakan tragedi pahit yang mereka rasakan sejak awal 1990-an. Ketika putra penguasa Orba, Tommy Suharto mendirikan BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih) yang memonopoli jual beli cengkih dengan harga yang murah sehingga membuat para petani cengkih frustasi dan kemudian membabati tanaman cengkih mereka lantaran harganya jatuh sampai pada harga yang terendah. Jika sebelumnya mereka bisa menjual sampai harga di atas Rp. 10.000 kg, oleh BPPC hanya dihargai Rp. 2.500,- saja, tapi BPPC dapat menjual cengkih tersebut kepada pabrik rokok dengan harga tinggi.
Penderitaan para petani cengkih sampai akhirnya memilih membabati tanaman cengkih mereka itu jelas tidak pernah diberitaukan kepada kaum milenial. Dan itulah salah satu kekejaman masa Orba, karena barang siapa yang ketangkap menjual cengkih mereka tidak lewat BPPC akan berhadapan dengan senjata. Apakah hidup seperti itu enak anda impikan lagi?
Bukan rahasia lagi bahwa putra putri penguasa Orba saat itu menguasai bisnis di banyak sector, termasuk jalan told an industry otomotif (Mobil Timor), mereka juga menguasai televise swasta. Jadi kejayaan ada pada mereka, sehingga warisannya bisa untuk tujuh turunan, tapi orang kebanyakan seperti kita hanya gigit jari saja.
Membungkam Hak Sipil dan Politik
Yang mungkin tidak pernah diketahui oleh generasi milenial adalah kuatnya pengekangan hak sipil dan politik pada masa Orba. Hak sipil dan politik warga dibungkam atas nama stabilitas politik. Tidak ada yang namanya kebebasan berorganisasi dan berpendapat pada saat itu. Kalau anda kumpul-kumpul dengan lima orang lebih wajib minta izin. Mau berdiskusi dan seminar pun kita harus izin ke kepolisian, bahkan kadang ke institusi militer kalau narasumber yang akan kita undang dikategorikan “berbahaya” menurut kaca mata penguasa. Cuma mau diskusi biar pintar lho, harus minta izin ke kepolisian. Kalau narasumber yang diundang dari lain provinsi, maka izinnya sampai ke Polda. Bayangkan, Cuma mau diskusi biar pintar, harus minta izin sampai Polda, masak yang begitu enak sih?
Hal yang sama juga berlaku untuk kegiatan seni. Kegiatan pentas seni hanya dapat terlaksana kalau sudah mendapat izin dari kepolisian. Sering sekali pementasan teater dibubarkan oleh aparat dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Apakah yang seperti itu juga enak?
Pada masa Orba kita tidak bisa menikmati bacaan bermutu karya Pramoedya Ananta Toer dan bacaan-bacaan bermutu lainnya lantaran dilarang oleh penguasa Orba. Barangsiapa ketahuan membaca, apalagi menjual buku-buku Pramoedya Ananta Toer dipenjarakan selama bertahun-tahun seperti yang dialami oleh Isti Nugroho, Bambang Subono, dan Bonar Naipospos yang pada tahun 1988 ditangkap dan disiksa oleh aparat hanya gara-gara mengedarkan buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer.
Nasib lebih buruk lagi dialami oleh anak-anak yang orang tuanya orang terlibat maupun yang dituduh terlibat PKI, tapi tidak pernah dibuktikan di pengadilan. Dengan menerapkan konsep “Bersih Lingkungan”, anak-anak yang punya kaitan maupun dikaitkan dengan orang-orang yang terlibat maupun yang dituduh terlibat PKI, mereka sulit menjadi PNS, tentara, polisi, kerja di BUMN, menjadi pilot, masinis, nahkoda, dan sejenisnya. Meskipun tuduhan sebagai PKI itu tidak pernah dibuktikan di pengadilan, namun konsep bersih lingkungan itu tetap berlaku bagi mereka dan itu berarti menutup masa depan mereka.
Banyak di antara mereka yang akhirnya mengalami nasib buruk meskipun pintar karena jalan mereka tertutup di mana-mana. Dari mana mereka tahu? Di KTP orang tua kita ada kolom keterangan yang isinya kosong atau OT (Organisasi Terlarang) atau ET (Eks Tapol). Mereka yang anggota keluarnya punya KTP berlabel seperti itu, jangan harap bernasib baik, atau dapat diterima jadi PNS, TNI, polisi, atau di BUMN.
Ada seorang kawan yang menjadi wartawan akhirnya harus keluar atas tuduhan tidak bersih lingkungan itu, karena Koran tempat dia bekerja diancam akan ditutup kalau dia tidak keluar. Dan karena traumatiknya, orang itu tidak berani menikah. Atau ada pula wartawan di Koran nasional terpaksa harus ganti nama karena nama aslinya katanya tidak bersih lingkungan. Penghakiman secara sewenang-wenang itu masak enak sih?
Pada masa Orba itu, kalau kita akan pindah penduduk, dari satu tempat ke tempat lain, mengurus suratnya harus ke sampai kepolisian dan koramil dari tempat asalnya. Bayangkan, cuma mau pindah KK harus sampai ke Polsek dan Koramil, dan kita pun meski sudah punya anak, harus melampirkan foto kopi KTP orang tua kita kalau masih hidup, sekadar untuk diketahui apakah kita bersih lingkungan atau tidak. Kalau tidak bersih lingkungan akan ada catatannya sehingga di tempat yang baru sama sekali pun latar belakang orang tua kita itu sudah terlacak dan teridentifikasi.
Birokrasi begitu panjang dan setiap tempat itu kita harus keluar uang, masak yang begitu itu enak sih?
Bandingkan dengan konsisi paska reformasi, saat ini, kalau kita akan pindah penduduk, cukup bawa KTP dan KK kita sendiri, tidak perlu KTP orang tua dan langsung datang ke Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dengan hanya datang ke satu kantor saja itu berarti uang yang dikeluarkan juga lebih sedikit. Kalau yang demikian tidak enak, dan katanya masih enak zaman ku (Orba), tentu yang merasa tidak enak itu perlu dibawa ke RSJ.
Pembredelan Media Massa
Yang namanya kebebasan pers itu tidak ada sama pada masa Orba. Pers yang berani mengkritik kebijakan pemerintah saat itu bakal dibekukan SIUP-nya alias ditutup usahanya. Banyak kasus dapat disebutkan di sini: Koran Kompas (1978), Sinar Harapan dan Prioritas (1986), Tempo, Editor, dan Tabloid Detik (1994), dan masih banyak lagi. Mereka ditutup hanya karena memberitakan kebijakan yang salah. Jadi apa enaknya hidup pada masa Oba?
Pada masa Orba, tidak sembarang dapat membuat penerbitan, khususnya Koran, majalah, dan tabloid. Semua penerbitan media massa harus punya SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, yang untuk mendapatkannya tidak mudah dan tidak murah. Bandingkan dengan kondisi paska Orba, siapa saja yang punya modal dapat buat media sendiri tanpa harus mengurus SIUPP ke Departemen Penerangan. Masak yang seperti ini juga tidak enak dan masih enak zaman ku?
Mau dengerin radio dan nonton teve sesuai selera kita? Ya kagak bisa lah. Pada masa Orba itu ada kewajiban bagi teve-teve dan radio swasta untuk menyiarkan secara sentral berita-berita yang disiarkan oleh TVRI dan RRI meski kita tidak menyukainya. Kalau ada kegiatan presiden yang diliput oleh TVRI, teve-teve swasta diminta untuk turut menyiarkannya. Kalau sudah begitu kita tidak memiliki kebebasan untuk memiliki tontotan yang sesuai dengan selera kita sendiri. Apakah yang seperti itu lebih enak daripada sekarang?
Masih banyak lagi daftar negatif yang dapat dicatat untuk membuktikan kepada generasi milenial bahwa hidup masa Orba itu sungguh banyak tidak enaknya. Karena kebebasan kita sebagai individu itu sangat dikekang.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa hidup pada masa Orba itu lebih enak dan jaya, maka dapat dipastikan bahwa orang itu adalah bagian dari penguasa Orba dan atau pengusaha yang dekat dentan penguasa. Kalau warga biasa tentu akan mengatakan bahwa hidup sekarang lebih enak dan tidak seorang pun ingin kembali ke masa Orba.
Zaman Orde Baru Korupsi Sedikit?
Ketika sekarang banyak pejabat Negara yang ditangkap oleh KPK, seakan-akan korupsi zaman sekarang lebih banyak dibandingkan dengan pada masa Orba. Benarkah begitu?
Yang betul adalah korupsi zaman Orba tidak ada yang memonitor, sedangkan sekarang banyak yang memonitor dan ada lembaga khusus yang menanganinya, KPK. Jadi kalau sekarang banyak pejabat Negara yang ditangkap oleh KPK, bukan berarti koruptornya lebih banyak, tapi karena aparat yang menangani korupsi bekerja secara sungguh-sungguh.
Pada masa Orba, banyak bangunan gedung pemerintah mangkrak, tapi tidak pernah berujung pada pengusutan sampai pengadilan. Tapi coba kalau hal itu terjadi saat ini, pasti akan berujung pada pemeriksaan KPK. Jadi kalau masa Orba seakan-akan tidak ada pejabat yang dipenjara karena korupsi, itu bukan karena tidak ada korupsi, melainkan karena korupsi dibiarkan tumbuh berkembang dan akar-akarnya pun masih tersisa sampai sekarang karena memang tidak pernah dibasmi. Sedangkan saat ini korupsi sepertinya makin banyak karena makin banyak yang memonitor dan menanganinya.
Simpulan
Berdasarkan uraian beberapa hal saja di atas, kiranya jelas, tidak ada bukti empiris bahwa hidup pada masa Orba itu lebih enak. Apalagi mengalami kejayaan. Kalau hidup pada masa Orba itu penuh dengan penderitaan, penindasan, dan kesewenang-wenangan, jelas betul, jejak-jejak sejarahnya gampang terlacak. Generasi milenial perlu mengetahui sejarah yang sebenarnya ini agar tidak terbuai dengan kata-kata manipulatif: bahwa masa Orba itu lebih enak, lebih jaya. Sehingga kita pun merindukan ingin dibawa kembali ke kehidupan masa Orde Baru.
Sungguh celaka bagi bangsa ini bila kita kembali ke masa Orba yang sangat otoriter itu. Dan hanya hanya orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu sejarah Orba saja yang percaya bahwa hidup masa Orba itu lebih enak, lebih tenang, dan lebih jaya. Atau hanya mereka yang dekat kekuasaan lah yang merasakan bahwa hidup pada zaman Orba itu lebih enak dan lebih jaya. Masyarakat luar merasakan penderitaan yang mendalam. Terbukti begitu Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, publik merasa gembira, seperti bebas dari penjajahan.

*Pakar pendidikan nasional, peneliti dan penulis buku. Diantaranya: Pendidikan yang Memiskinkan dan Melawan Liberalisme Pendidikan.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi