
Oleh : Wahyu Kris A.W.*
Mas Menteri Nadiem yang terhormat,
Terakota.id–Apakah yang viral satu menit setelah Mas Menteri Nadiem dilantik menjadi Kemendiknas? Benar, banyak meme bertebaran di jagat maya: bayar SPP pake Gopay, antar jemput pake Gojek, guru bintang 1 bisa di-suspend, guru bintang 5 siap-siap menerima bonus. Pesan netizen jelas: wujudkan pendidikan anti ribet!
Tebaran meme merupakan bentuk perhatian sekaligus kepercayaan netizen pada Mas Menteri yang masih muda dan enerjik. Masyarakat Indonesia sangat berharap Mas Menteri membawa angin segar bagi pendidikan di Indonesia. Saya percaya angin segar itu sudah ada di kepala Mas Menteri jauh sebelum dipanggil ke istana bahkan sudah Mas Menteri tiupkan perlahan lewat karya-karya nyata.
Saya yakin, Mas Menteri bisa membaca pesan-pesan harapan yang tersembunyi di balik meme-meme jagat maya. Mas menteri diharapkan mewujudkan pendidikan progresif yang sejalan dengan percepatan teknologi informasi. Anak-anak kita adalah generasi amphibi yang bernafas di dunia nyata dan hidup di dua habitat yaitu dunia nyata dan jagat maya. Sayangnya, institusi pendidikan justru mengingkari fakta tersebut. Pendidikan secara samar namun jelas menolak realitas bahwa ruang dan waktu dunia kita tidak lagi linier melainkan paralel.
Fenomena menyalahkan teknologi sebagai penyebab kemandegan pendidikan barangkali hanya ada di Indonesia. Sementara Elon Musk sudah menyediakan layanan wisata luar angkasa, pendidikan kita masih berkubang dengan hafalan berapa jumlah anggota tata surya. Sementara banyak negara makin giat mengajak anak-anak menjadi inovator teknologi, pendidikan kita masih tergagap-gagap menjadi pengguna teknologi.
Kehadiran teknologi yang mestinya menyederhanakan administrasi justru mendatangkan keribetan baru. Kita belum tulus memanfaatkan teknologi. Kita masih takut membuang berkas-berkas yang sudah usang. Kita terlalu malu memangkas prosedur yang tak perlu. Ibarat tangan kiri aktif memencet gawai tapi tangan kanan masih sibuk menggenggam setumpuk kertas.
Pendidikan menjauhkan anak-anak dari realitas yang makin baur generasi. Hari ini, berbagai generasi menarik nafas dalam dunia yang sama, berinteraksi dalam jagat yang sama. Meski tetap erat menggenggam budaya-generasinya masing-masing, semua bisa hidup berdampingan selaras. Tidak ada “saling menertawakan” antar generasi. Generasi bioskop bisa nonton film bersama generasi DVD dan generasi Netflix. Generasi radio mendengarkan lagu bersama dengan generasi MP3 dan generasi Spotify. Generasi TV mencecap berita bersama generasi TV kabel dan generasi Youtube.
Kecakapan yang dibutuhkan anak-anak hari ini adalah kecakapan bertranformasi. Dari interaksi berbagai generasi di rumah, mereka mesti diajak belajar bahwa apa yang kita lihat hari ini akan segera usang esok hari. Apa yang hari ini kita sebut mustahil akan segera menjadi kenyataan dalam hitungan waktu yang tak lama. Segala yang terbaru akan segera tergantikan dengan yang lebih baru.
Kecakapan bertranformasi mendesak disuntikkan agar anak-anak tidak lelah mengikuti banjir bandang teknologi informasi. Kecakapan ini bukan sekadar kecakapan mengubah gaya hidup ataupun mengunggah story media sosial. Nilai inti kecakapan transformasi adalah kesanggupan diri beradaptasi, berinteraksi, dan mengakrabi segala bentuk perubahan.
Pendidikan menghindarkan anak-anak dari ruang bernalar kritis. Anak-anak generasi thumbelina yang suka njempol terlahir di dunia nyata dan hidup di dunia nyata sekaligus jagat maya, tetapi pendidikan (baca: sekolah) memaksa mereka hidup di dunia nyata saja. Mereka dicekoki doktrin bahwa kehidupan itu nyata dan karenanya jagat maya itu jahat, jadi harus dihindari.
Hal tersebut tentu saja konyol karena menjadikan anak kehilangan kesempatan mengasah daya nalar. Laju akselerasi jagat maya dengan kemampuan super-cloud menghimpun big data menetaskan peluang belajar bernalar kritis. Jagat maya menjadi ruang jumpa berbagai data dalam beragam rupa gagasan dan berita. Mulai dari yang benar hingga yang maha-benar, dari yang fact sampai yang fake, dari yang nyinyir sampai yang anyir, semua ada. Di situlah terbuka peluang mengajak anak-anak bernalar kritis memilah-milih fakta (yang salah dan yang benar) dan opini (yang pro dan yang kontra).
Pendidikan juga mesti mengoptimalkan interaksi interseksi dunia nyata dan jagat yang membuka lebar-lebar pintu kolaborasi. Anak kandung era 4.0 seperti Internet of Things, big data, artificial intelligence, cloud, dan behavioral data merupakan peluang besar re-orientasi pendidikan. Sekolah-sekolah yang hanya menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi akan tergilas karena big data dan cloud lebih cepat melakukan hal tersebut. Sekolah-sekolah yang hanya jalan di tempat karena pembelajarannya berkutat pada lower order thinking skill akan ditinggalkan karena generasi thumbelina menyukai kecepatan.
Mas Menteri Nadiem yang terhormat,
Mencermati video Mas Menteri tentang masa depan dunia digital, makin benderang di depan mata betapa pendidikan kita masih dikelola dengan cara-cara kadaluwarsa. Kebijakan-kebijakan gebyah uyah yang selama ini digulirkan tidak akan pernah memajukan pendidikan di seluruh Indonesia yang sangat beragam. Kurikulum Jakarta centris ibarat menara gading rapuh yang kapan saja bisa runtuh.
Saya sangat terkesan dengan 3 poin yang Mas Menteri desakkan agar pendidikan kita bisa leading di masa depan. Pertama adalah keterampilan berbahasa Inggris. Selama ini bahasa Inggris dijejalkan kepada anak-anak dengan mengerjakan soal. Ini harus diakhiri. Bahasa mesti segera dikembalikan ke jalan yang benar. Bahasa Inggris, bersama dengan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, mesti dipahami sebagai perangkat lunak kolaborator pengetahuan. Ini berbicara tentang hakikat bahasa sebagai penjelajah pengetahuan yang tersebar dalam belantara digital, bukan sekadar bahasa untuk bertegur sapa dengan orang-orang dari seluruh dunia.
Poin kedua adalah psikologi dan analisa data. Kapasitas simpan jagat maya yang tanpa batas mampu merekam segala aktivitas pengguna. Rekaman aktivitas ini tidak dibiarkan berserakan begitu saja melainkan dihimpun lalu dianalisa menjadi data digital. Nah, di sinilah peran psikologi sangat dibutuhkan. Serangkaian data digital kemudian dimonetisasi menjadi produk ekonomi yang bernilai tinggi. Itulah sebabnya, follower dan subscriber menjelma mata uang baru yang ramai ditransaksikan di pasar-pasar digital.
Poin ketiga adalah koding. Dulu koding hanya makanan orang-orang IT. Sekarang, semua harus makan koding karena IT sudah merasuki segala sendi kehidupan. Nilai inti koding sebenarnya terletak pada sistem berpikirnya, bukan pada kerumitan algoritmanya. Koding berisi serangkaian perintah yang saling terkoneksi dan terintegrasi membentuk sebuah sistem. Kesalahan pada satu titik akan berpengaruh pada sistem secara keseluruhan.
Penguasaan koding mendorong anak-anak menjadi generasi solusi bukan generasi polusi yang mencemari masyarakat. Beragam mobile-app adalah buktinya. Semua yang kita butuhkan hampir pasti ada dalam segenggam gawai. Mulai dari pesan hotel, mencari tukang bangunan, hingga layanan belajar personal, semua tersedia.
Belajar koding berarti mengasah kreativitas. Apabila satu langkah menemui jalan buntu maka tak ada cara lain kecuali mencari jalan baru. Di titik inilah anak belajar bahwa kebuntuan bukan kegagalan melainkan jalan usang yang layak ditinggalkan demi jalan baru yang lebih baik. Kreativitas ini tentu sangat dibutuhkan generasi thumbelina yang terbiasa manja mengandalkan senam jempol di atas gawai untuk memenuhi kebutuhannya.
Mas Menteri Nadiem yang terhormat,
Meski dalam perjalanan ke depan ada banyak orang yang membenci dan sistem yang menyakiti, saya percaya panjenengan tidak akan tersakiti lalu menjadi penjahat karena panjenengan bukan Joker penderita pseudobulbar affect. Di pundak Mas Menteri ada beban berat tapi saya percaya di kepala panjengengan ada kreativitas tanpa batas dan di hati panjenengan terpatri bendera Indonesia.
* Kepala Sekolah SMPK Pamerdi Kabupaten Malang dan penulis buku “Mendidik Generasi Z dan A

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi