Marhaban Ya Konsumerisme

malam-lailatul-qodar
Ilustrasi (karya Fatkhur Rokhman).
Iklan terakota

Oleh : Sugeng Winarno*

Terakota.id–Puasa Ramadan telah memasuki sepuluh hari terakhir. Pada etape terakhir Ramadan ini, masjid-masjid mulai sepi. Shaf jamaah sholat tarawih semakin maju. Lantas kemana jamaah yang pada awal Ramadan memenuhi masjid, mushola, langgar, dan surau itu? Salah satu jawabannya adalah mereka pergi ke mall dan supermarket demi berburu diskon dan big sale.

Ketika awal Ramadan orang berucap Marhaban Ya Ramadan. Jelang Idul Fitri, ungkapan yang cocok adalah Marhaban Ya Konsumerisme. Lihat saja di berbagai pusat perbelanjaan. Di sana diskon dan obral besar-besaran digelar. Beragam produk mulai dari pakaian, sandal, sepatu, kue lebaran, minuman, kendaraan, perangkat elektronik, dan aneka rupa kebutuhan dijajakan.

Tak jarang orang berbelanja seperti kesetanan. Bagaimana tidak, tak sedikit orang yang berbelanja dengan jumlah yang amat banyak. Semua dibeli, walau terkadang barang itu akhirnya tak terpakai. Baju baru di beli walau baju lama masih bagus. Sandal dan sepatu baru dibeli meskipun alas kaki lama masih belum rusak. Rumah dan kendaraan pun ganti dengan penampilan baru.

Banyak orang rela antre panjang mengular di ruang-ruang ganti (fitting room), kasir, dan parkiran supermarket. Dalam sekejap, uang Tunjangan Hari Raya (THR) ludes. Bahkan tak jarang uang THR tak cukup, masih harus mengambil uang tabungan. Tak sedikit orang menghamburkan uang, merogoh kocek jutaan hingga puluhan juta demi belanja lebaran.

Consumerism Trap

Tingginya konsumerisme jelang hingga pasca Idul Fitri sudah menjadi kebiasaan dari masa ke masa. Bahkan konsumerisme telah menjadi budaya. Serasa tak merayakan lebaran kalau tak berbusana, bersepatu, dan memakai aksesoris baru. Idul Fitri identik dengan penampilan baru, dandanan fisik yang memukau, kendaraan baru yang mewah, dan beragam simbol yang lain.

Perilaku menghadapi Idul Fitri dengan semua serba baru ini aslinya jebakan konsumerisme (consumerism trap). Sejatinya Idul Fitri tak bermakna semua serba baru secara fisik. Idul Fitri itu dapat diartikan kembali suci. Sucinya orang-orang yang telah berhasil menjalankan puasa Ramadan dengan baik. Sucinya puasa dan ibadahnya orang-orang beriman yang diterima oleh Allah.  

Munculnya budaya konsumerisme tak bisa dilepaskan dengan era kapitalisme saat ini. Idul Fitri atau lebaran merupakan momentum yang digunakan oleh kapitalisme untuk menjalankan aksinya. Budaya konsumerisme telah menggeser makna hakiki lebaran dan puasa. Idul Fitri disederhanakan menjadi ajang pamer penampilan dan kekayaan semata.

Peter N Stearns (2001) dalam bukunya “Consumerism in the World History” menyatakan bahwa konsumerisme adalah soal permainan hasrat (desire). Saat ini telah terjadi permainan global tentang hasrat manusia. Hasrat ditumbuhkan lewat masifnya beragam produk yang bisa dikonsumsi. Selanjutnya dari produk yang berlimpah itu digunakan membangunkan hasrat orang untuk memiliki.

Budaya konsumerisme telah mengaburkan logika bahwa berlebih-lebihan itu sejatinya dilarang agama. Justru pesan kuat yang diciptakan bahwa Idul Fitri adalah ajang untuk pamer kesuksesan dan keberhasilan. Hingga bagi para pemudik yang pulang kampung menjadi perlu untuk Show Off kesuksesan pada keluarga, kerabat, dan masyarakat di sekitarnya.

Kapitalisme memang punya logika bagaimana aneka barang dan jasa laku. Logika ini selanjutnya memosisikan masyarakat sebagai pasar yang harus terus dirayu agar beragam barang dan jasa itu laku. Pada situasi ini, banyak masyarakat tak menyadari telah menjadi korban dari praktik kapitalisme lewat momentum Idul Fitri.

Banyak orang menjalani laku konsumtif sebagai sebuah kegiatan yang wajar-wajar saja. Membelanjakan jutaan, puluhan, hingga ratusan juta uang demi lebaran telah membudaya. Perilaku konsumtif masyarakat ini sulit dibendung karena semua pihak menikmati situasi ini. Kapitalisme telah sukses menjebak masyarakat lewat budaya konsumerisme saat lebaran.

Perlu Pengendalian Diri

Menjelang lebaran umat muslim ramai membanjiri pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran. (Foto : Tribunnews).

Puasa itu intinya pengendalian diri. Puasa juga merupakan ajang mengendalikan hawa napsu. Banyak orang berhasil mengendalikan diri tak makan dan minum dari Subuh hingga Magrib. Namun tak banyak orang mampu mengendalikan diri dari berbagai napsu buruk termasuk napsu menjadi konsumtif.

Bagi kebanyakan muslim, saat puasa bisa jadi masih mampu menahan diri. Saat puasa segala napsu telah berhasil ditaklukkan. Namun tak demikian pasca puasa. Setelah bulan puasa menjadi seperti ajang pelampiasan napsu yang telah terkekang satu bulan. Bahkan tak jarang saat akhir-akhir puasa dan jelang Idul Fitri, pertahanan menjaga napsu itu jebol.

Tak mudah memang melawan arus derasnya bujuk rayu kapitalisme. Melalui media massa, televisi misalnya. Segala produk barang dan jasa diiklankan setiap saat. Orang diiming-iming beragam produk dan jasa agar segera mengonsumsi. Berbagai cara ditempuh sang produsen produk. Beragam diskon, potongan harga, dan berbagai kemudahan berbelanja ditawarkan demi memanjakan pembeli.

Agar lolos dari jebakan kapitalisme ini, salah satu kuncinya adalah pertahanan dan pengendalian diri. Tanpa pertahanan diri yang kuat, tanpa pengendalian napsu yang kokoh, bisa dipastikan kita akan terjerumus dalam budaya konsumerisme yang tak pernah henti. Bijak dalam membelanjakan uang adalah salah satu buah dari latihan pengendalian diri saat Ramadan. 

Islam telah mengajarkan bahwa yang berlebih-lebihan itu tak baik. Karena yang berlebih-lebihan itu sesungguhnya ajakan setan. Semoga kita bisa membentengi diri dari setan-setan kapitalisme yang selalu merayu lewat budaya konsumerisme yang menawarkan kenikmatan semu itu. Selamat melanjutkan upaya menata hati dan membentengi diri hingga kelak meraih kemuliaan Ramadan dan Idul Fitri. (*)

*) Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.