
Reporter : M. Yufirly Raizza Fadilah
Terakota.id—Seorang pria berkaca mata berjalan tertatih menyambut. Tangannya keriput, rambutnya memutih. Di usia senja Oei Hiem Hwie, pemilik Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya tetap energik mengelola buku dan benda koleksinya.
“Tekan endi?” ia bertanya asal kami dalam Bahasa Jawa.
“Dari Malang, Pak.”
“Lho, aku arek Malang,” ucapnya antusias mengetahui daerah asal kami. Hwie, sapaan akrabnya, mengajak masuk melihat buku koleksinya. Pengunjung dipersilahkan mengisi buku daftar pengunjung. Semangat, ia bergegas mengajak berkeliling. Menunjukkan berbagai macam koleksinya.
Ia menunjukkan sebuah jam tangan berwarna emas di simpan dalam lemari kaca. “Itu pemberian Sukarno,” ucap pria 84 tahun.
Di sebelah, terpampang foto Presiden Sukarno dalam bingkai kaca ukuran besar. Mencolok, menyambut di depan pintu.

Perpustakaan berlantai dua. Lantai pertama memiliki tiga ruangan, terdiri dari ruang koleksi khusus, ruang koleksi langka, dan ruang kerja pimpinan. Masing-masing berukuran panjang dua meter dan lebar dua meter. Lantai berderet rak besi setinggi tiga meter berisi buku dan majalah. Selain itu, beberapa lemari kaca berbentuk persegi panjang menghiasi sekelilingnya.
Koleksi istimewa tersimpan rapi di dalam lemari kaca, jarang dibuka. Agar buku koleksinya tak rusak. Lantaran kualitas bahan kertas akan mudah rusak jika terpapar udara bebas. Warna kertas semakin lama berubah menguning.
Lemari kaca disusun berdasar tema. Ada yang bertema tokoh seperti Sukarno, Pramoedya Ananta Toer, bahkan Adolf Hitler. Ada pula yang bertema kelompok, seperti perkembangan pers Tionghoa di Indonesia, ajaran Khong Hu Chu di Nusantara, dan dukungan organisasi Tionghoa terhadap kemerdekaan Indonesia.
Lebih dari 10 ribu koleksi buku, majalah, dan surat kabar ada di sini. Sebagian milik Hwie pribadi, sebagian sumbangan orang lain. Banyak koleksinya yang sudah berumur puluhan tahun. Hwie mengaku seharusnya koleksi miliknya jauh lebih banyak dari sekarang.
“Saya dulu ditangkap, dicurigai ada kaitan dengan PKI. Barang-barang disita, dibakar. Tersisa sekitar 25 persen, diselamatkan adik saya. Disimpan di plafon. Untung gak rusak.’’ ucapnya.
Koleksi Bung Karno hingga Pram
Dalam sebuah lemari kaca, tersimpan koleksi kenangan dari Bung Karno dan Haji Masagung. Kedua tokoh berperan penting berdirinya perpustakaan. Tersimpan rapi, Anda bisa melihat jam tangan berwarna emas dan sebuah lambang Garuda Bhinneka Tunggal Ika kenang-kenangan dari Sukarno.
Di sampingnya, terpajang berbagai kaset rekaman pidato Bung Karno, seperti peringatan hari kemerdekaan ke enam. Ada pula kaset rekaman berbahasa Inggris, ketika Bung Karno berpidato di forum sidang PBB New York pada 1960. Selain koleksi berbentuk kaset, pidato juga direkam dalam piringan hitam. Antara lain ketika Sukarno berbincang di forum Solidaritas Rakyat Asia Afrika di Bandung 1961.
Benda kenangan lain berbentuk sebuah diklat yang disusun Panitia Pembina Djiwa Revolusi tahun 1962 tentang “Sosialisme” ditandatangani Presiden Sukarno. Dicetak dengan mesin stensil sederhana di atas kertas koran. Kondisi kertas rapuh karena sempat berada di atas plafon rumah selama 30 tahun. Menghindari sitaan. Sedangkan dari H. Masagung, perpustakaan menyimpan bolpoin Parker terukir ucapan salam darinya.

Hwie awalnya bekerja sebagai wartawan di Trompet Masjarakat. Bergabung di dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi yang diduga berafiliasi dengan PKI. Ia ditahan di Malang sekitar 1965.
“Saya ditangkap karena dekat dengan Soukarno dan ikut organisasi yang dikira PKI, padahal bukan,” katanya bercerita.
Hwi sempat dipindah ke Pulau Buru. Di sana, ia bertemu sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pria kelahiran 24 November 1935 ini memiliki tempat khusus menyimpan karya Pram. Sebuah lemari kaca khusus, berisi edisi perdana Tetralogi Buru karya Pram saat mendekam di Pulau Buru. Buku itu ditandatangani Pram.
Ia juga menyimpan buku yang tak banyak lagi beredar saat ini, ‘Nyanyian Sunyi Seorang Bisu’. Berisi catatan Pram selama di Pulau Buru. Hwie juga masih menyimpan surat bersama Pram sejak masih di unit masing-masing ketika di Pulau Buru. ‘Naskah Di Atas Lumpur’, tulisan Pram yang tak pernah diterbitkan juga ada.
Ia menyimpan naskah asli Pram berjudul ‘Ensiklopedi Citrawi Indonesia’ ditulis tangan dan diketik mesin ketik. Dokumentasi bersejarah itu dibawa dari Pulau Buru sampai ke Surabaya. “Hwie, kamu mau enggak saya titipi? Kamu harus berani,” tutur Hwie, meniru ucapan Pram saat itu.
Untung, buku itu terhindar dari penggeledahan saat petugas memeriksanya sebelum keluar tahanan. Menyeberangi lautan yang berisiko. Naskah itu selamat, dan disimpan sampai sekarang. Hwie berniat mengembalikan naskah itu kepada Pram. Namun, Pram menyalin naskah itu lantas mengembalikan naskah asli kepada Hwie.
Pram mempercayakan Hwie menyimpan naskahnya. Naskah dirawat dengan hati-hati bak anaknya sendiri. Hingga kini, naskah titipan Pram abadi dalam rak Perpustakaan Medayu Agung.
Naik ke lantai dua, sepanjang tangga dipajang koleksi foto Sukarno ketika pemakaman ibunya. Kliping koran yang memuat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dalam bingkai kaca besar. Serta tulisan tangan Soekarno berjudul “Hukum dan Moral” pada Hari Kemerdekaan tahun 1951 dibingkai besar.
Sejauh mata memandang, perpustakaan ini memang memajang banyak foto Sukarno dalam berbagai aktivitas dan waktu yang berbeda. Hwie memang mengagumi Sukarno. Sejak dulu, ia banyak menulis tentang Sukarno.
Surat Kabar Lawas Membingkai Sejarah Negeri
Di lantai atas, Anda bisa menemukan koleksi surat kabar lawas, buku bertema sosial budaya, filsafat, detektif rahasia, ekonomi, ensikopledia, serta rekaman peristiwa. Lantai satu maupun lantai dua, berisi koleksi yang memiliki nilai histori.
Hwie mengoleksi surat kabar lawas yang terbit mulai masa kemerdekaan. Terdiri dari Koran Suara Rakyat, Sinar Harapan, Berita Yudha, dan masih banyak lagi. Sebagian media masih terbit hingga kini, seperti Jawa Pos, Kompas, dan Surabaya Post.
Uniknya, juga tersimpan surat kabar berbahasa Mandarin yang terbit sebelum Indonesia merdeka. Semua surat kabar dikumpulkan per tahun terbitan dalam satu bendel tebal. Di sampingnya tertulis nama media dan tahun terbit.
Kondisi koleksi surat kabar terbitan lawas mayoritas kertasnya rapuh dan menguning. Tetapi masih layak dan dapat dibaca jelas. Koleksi surat kabar lawas milik Medayu Agung banyak dicari. Ada yang sekadar ingin tahu untuk membaca, ada pula yang menjadikannya bahan penelitian sejarah.
Untuk menikmati berbagai koleksi di sini tak perlu mengeluarkan biaya alias gratis. Namun, buku koleksi tidak bisa dipinjam karena bagian dari koleksi bersejarah. Jika akan melanjutkan membaca di rumah bisa memfotokopi. Untuk melihat koleksi silakan datang ke Jalan Medayu Selatan Gang IV No.42-44, Surabaya.
Lokasinya berada di dalam kompleks perumahan. Bangunan rumah, di dinding bagian bertulis,“Perpustakaan Medayu Agung” berwarna biru. Perpustakaan buka mulai dari pukul 09.00 – 16.00 WIB dari hari Senin-Jumat dan pukul 09.00-13.00 WIB untuk hari Sabtu. Sedangkan hari Minggu dan hari libur nasional tutup.

Seorang kolektor dari Australia sempat menawar buku koleksinya seharga Rp 1 miliar. Namun Hwie menolak. Ia memilih mengumpulkan koleksinya dan mendirikan perpustakaan. Pada 1 Desember 2001, Perpustakaan Medayu Agung resmi dibuka.
Awalnya, Hwie bekerja sendirian. Seiring bertambahnya usia, ia merekrut pegawai. Saat ini enam pegawai yang membantunya. Berselang empat tahun kemudian, perpustakaan ini berada di bawah asuhan Kantor Perpustakaan Umum Kota Surabaya pada tahun 2005.
Perpustakaan ini, telah meraih banyak penghargaan. Bahkan tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai musem dengan koleksi surat kabar terlengkap.
Orang yang ada di balik benda koleksi bersejarah di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya mungkin telah tiada. Namun karyanya masih terus lestari. Koleksinya dapat dinikmati hingga kini berkat perjuangan Hwie dan bantuan orang-orang di sekitarnya yang tak kenal lelah dalam mengabdi.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi