
Oleh : M Alfan Alfian*
Michio Kaku mengajak kita ke Sumatera, ke Toba.
Terakota.id–“Suatu hari sekitar tujuh puluh lima ribu tahun yang lalu, umat manusia hampir mati.” Hal itu disebabkan oleh, “sebuah ledakan raksasa”, mengirimkan selimut besar berupa abu, asap, dan puing-puing yang menutupi ribuan mil. Letusan Toba begitu dahsyat, peristiwa vulkanik paling kuat dalam dua puluh lima juta tahun terakhir.
Enam ratus tujuh puluh mil kubik debu melambung ke udara. Bahkan India tersiram abu vulkanik setebal tiga puluh kaki. Asap dan debu beracun merambah hingga Afrika. Nenek moyang kita diteror panas membakar. Awan abu-abu membuat matahari gelap. Banyak yang tersedak racun jelaga, debu yang tebal.
Lantas, suhu turun memicu “musim dingin vulkanik.” Vegetasi, margasatwa mati. Sejauh mata memandang, lanskap suram dan sunyi. Sebagian besar manusia musnah. Tersisa segelintir — sekitar dua ribu orang.
Ketika melintasi lanskap tandus, mereka tidak tahu bahwa suatu hari, keturunan mereka akan mendominasi setiap sudut planet ini. Peristiwa tujuh puluh lima ribu tahun lalu itu bisa menjadi latihan menghadapi bencana di masa depan. Begitulah, narasi Fisikawan Michio Kaku dalam The Future of Humanity: Terraforming Mars, Interstellar travel, Immortality and Our Destiny Beyond Earth (2018).
Kita bisa segera menggarisbawahi, bahwa sejarah masa depan selalu berpijak masa lalu, bahkan hingga ke ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Dan, sebagaimana Kaku, kita pun bisa membantingnya ke masa depan, ke era, yang tak terelakkan lagi, kepunahan.
*
Kaku mengajak lagi kita memindai semua bentuk kehidupan yang pernah ada di bumi, dari bakteri mikroskopis hingga dinosaurus yang berjatuhan. Kita menemukan lebih dari 99,9 persen, akhirnya punah. Kepunahan itu normal, kemungkinannya sudah banyak ditumpuk di hadapan kita.
Rekaman fosil melihatkan bukti bentuk kehidupan purba. Hanya segelintir terkecil yang bertahan. Jutaan spesies telah muncul di hadapan kita. Mereka memiliki hari di bawah sinar matahari, kemudian layu dan mati. Itulah kisah hidup.
Tidak peduli seberapa besar kita menghargai pemandangan matahari terbenam yang dramatis dan romantis, aroma angin laut segar, dan kehangatan hari musim panas, suatu hari semuanya akan berakhir, dan planet ini akan menjadi tidak ramah bagi kehidupan manusia.
Organisme bertemu satu dari tiga nasib: meninggalkan lingkungan itu, beradaptasi, atau mati. Jika kita melihat cukup jauh ke masa depan, akhirnya kita akan menghadapi bencana yang begitu besar, sehingga adaptasi hampir tidak mungkin terjadi. Entah kita harus meninggalkan bumi atau kita akan binasa.
Bencana-bencana ini telah terjadi berulang kali di masa lalu, dan pasti akan terjadi di masa depan. Bumi telah mengalami lima siklus kepunahan utama, di mana hingga 90 persen dari semua bentuk kehidupan lenyap.
*
Ancaman kepunahan, diingatkan Kaku, tak lepas dari, bahkan “sebagian besar disebabkan oleh diri sendiri”, karena kebodohan dan kepicikan kita sendiri. Manusia menghadapi bahaya pemanasan global, ketika atmosfer bumi berbalik melawan. Manusia menghadapi bahaya peperangan modern, ketika senjata nuklir berkembang biak.
Manusia menghadapi bahaya mikroba, AIDS, Ebola. Manusia menghadapi populasi yang terus bertambah dan menghabiskan sumber daya dengan sangat cepat, yang bahkan bisa melebihi daya dukung bumi. Di beberapa titik terjadi “Armageddon ekologis”, satu sama lain bersaing untuk persediaan sisa planet terakhir.

Selain bencana ciptaan sendiri, manusia menghadapi bencana alam yang hanya sedikit dapat mereka kendalikan. Selama seratus ribu tahun terakhir, sebagian besar permukaan bumi diselimuti es, mendorong banyak hewan menuju kepunahan. Sepuluh ribu tahun lalu, cuaca mencair. Pemanasan singkat mendorong manusia menyebar dan berkembang. Kemungkinan kita akan bertemu zaman es lagi sepuluh ribu tahun ke depan. Ketika tiba, kota-kota kita lenyap di bawah gunung salju, peradaban hancur di bawah es.
Kita juga menghadapi kemungkinan supervolcano di bawah Taman Nasional Yellowstone terbangun dari tidurnya yang lama, membuat Amerika Serikat terpisah, dan menelan bumi dalam awan yang tercekat dan beracun dari jelaga dan puing-puing. Letusan sebelumnya terjadi 630.000, 1,3 juta, dan 2,1 juta tahun yang lalu. Setiap peristiwa dipisahkan sekitar 700.000 tahun. Karenanya, kita mungkin akan mengalami erupsi kolosal lagi dalam 100.000 tahun ke depan.
Dalam skala jutaan tahun, kita menghadapi ancaman meteor, mirip dengan yang menghancurkan dinosaurus 65 juta tahun yang lalu. Saat itu, sebuah batu sekitar enam mil jatuh ke semenanjung Yucatán di Meksiko, mengirimkan puing-puing berapi langit yang menghujani bumi. Ia seperti ledakan di Toba, hanya jauh lebih besar. Awan abu membuat matahari gelap. Suhu turun secara global. Layu tumbuh-tumbuhan, rantai makanan runtuh. Dinosaurus pemakan tumbuhan mati kelaparan, diikuti sepupu karnivora mereka. Akhirnya, 90 persen dari semua bentuk kehidupan di bumi musnah setelah peristiwa bencana itu.
*
Selama beribu-ribu tahun, kita sangat tidak tahu tentang kenyataan bahwa bumi mengambang di segerombolan batu yang berpotensi mematikan. Kita sekarang tahu, ada ribuan Objek Dekat Bumi (NEO) yang melintasi orbit bumi, menimbulkan bahaya bagi kehidupan di planet kita. Pada Juni 2017, 16.294 objek telah di katalog. Para astronom memperkirakan ada beberapa juta benda yang belum dipetakan di tata surya yang melewati bumi.

Astronom Carl Sagan berkomentar, “kita hidup di galeri penembakan kosmik” dikelilingi oleh bahaya potensial. Hanya masalah waktu, sebelum asteroid besar menghantam bumi. Jika kita bisa menerangi asteroid ini, kita akan melihat langit malam dipenuhi ribuan titik cahaya yang mengancam.
Kalaupun, andai kita dapat menghindari semua bahaya ini, ada satu lagi yang segera mengerdilkan semuanya. Lima miliar tahun dari sekarang, matahari akan mengembang menjadi bintang merah raksasa yang memenuhi seluruh langit. Matahari akan sangat besar, sehingga orbit bumi akan berada di atmosfernya yang terik. Panas terik akan membuat kehidupan mustahil.
*
Tidak seperti semua bentuk kehidupan lain di planet ini, yang harus menunggu nasibnya secara pasif, manusia adalah “penguasa nasibnya sendiri.” Dalam The Future of Humanity, Kaku mengajak pembaca “bertemu dengan para pemimpi yang percaya bahwa manusia dapat hidup dan berkembang di luar angkasa”.
Dia mencoba menganalisis kemajuan revolusioner dalam teknologi yang akan memungkinkan manusia dapat meninggalkan bumi dan menetap di tempat lain di tata surya, dan bahkan lebih jauh lagi.
Kaku mengingatkan satu pelajaran yang dapat kita pelajari dari sejarah, bahwa umat manusia, ketika dihadapkan krisis yang mengancam jiwa, dapat bangkit menghadapi tantangan dan mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi. Semangat eksplorasi ada dalam gen kita, tertanam dalam jiwa kita.
Sebagai fisikawan, Kaku mencatat, sekarang kita mungkin menghadapi tantangan terbesar: meninggalkan batas-batas bumi dan melayang ke luar angkasa. Hukum fisika jelas. Cepat atau lambat kita akan menghadapi krisis global yang mengancam keberadaan kita.
Kaku membayangkan, hidup terlalu berharga untuk ditempatkan di satu planet tunggal, berada di bawah ancaman planet ini. “Kita membutuhkan polis asuransi,” kata Sagan kepada Kaku. Kita perlu rencana cadangan, menjadi “dua spesies planet.” Jalannya tak mudah, tetapi, “kita tidak punya pilihan.”
Dari hampir punah tujuh puluh lima ribu tahun yang lalu, leluhur kita berkelana dan memulai penjajahan seluruh bumi. Kaku berupaya menjabarkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menaklukkan rintangan-rintangan masa depan. Mungkin, nasib kita menjadi “spesies multiplanet” yang hidup di antara bintang-bintang.
*
Kaku mungkin tak sedang berfantasi, kendati masa kecilnya suka membaca fiksi ilmiah Isaac Asimov. Dia terpana dengan, bukannya pertempuran senjata sinar dan perang antariksa dengan alien, tetapi pada pertanyaan sederhana, namun mendalam. Di mana peradaban manusia akan lima puluh ribu tahun ke depan?

*Esais. Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi