
Kita hidup di dunia di mana tidak ada orang yang bebas, di mana hampir tidak ada orang yang aman, di mana hampir tidak mungkin untuk jujur dan tetap hidup
— George Orwell, 1937
Ada kebenaran dan ada ketidakbenaran, dan jika Anda berpegang teguh pada kebenaran bahkan menentang seluruh dunia, Anda tidak gila
— George Orwell, 1984
Terakota.id–Landung Simatupang menterjemahkan “Big Brother” dalam novel terkenal George Orwell sebagai “Bung Besar”. Saya tak tahu pertimbangan persisnya, tetapi barangkali istilah “Bung” lantas telah menjadi berkonotasi politik. Istilah “Bung”, mengemuka pada masa-masa formatif kemerdekaan republik indonesia, sebagai kosakata “egaliter”.
Sebutan “Bung”, lantas populer dilekatkan pada para elite politik semasa itu, misalnya Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan sebagainya. Sehingga, dengan demikian tak salah manakala konotasi sebutan “Bung” menjadi politis. Sebenarnya istilah “Big Brothers” juga bisa diterjemahkan sebagai “Kakak Besar” atau “Kakak”, tetapi barangkali bagi si penterjemah (Landung Simatupang) menganggap kurang politis, ketimbang “Bung Besar”.
Kini kita bicara konteks negara Orwellian pada abad kita. Sebagaimana diuraikan Simson Garfinkel, Database Nation: The Death of Privacy in the 21st Century (2000), konteks Orwellian ialah merujuk ‘hilangnya privasi’ dalam suatu format pengawasan totaliter yang mirip dengan novel 1984, karya klasik George Orwell: ketika setiap langkah kita diawasi dan direkam oleh Bung Besar.
Namun, ke depan, catatnya, kita akan melihat jenis-jenis baru ancaman terhadap privasi yang tidak berakar pada totaliterisme, tetapi dalam kapitalisme, pasar bebas, teknologi canggih, dan pertukaran informasi elektronik yang tidak terkendali.
Sebagaimana diulas Mark Dice dalam Big Brother: The Orwellian Nightmare Come True, ketika George Orwell — sebagai nama pena sastrawan Inggris Eric Blair — pertama kali menerbitkan novelnya yang terkenal, Nineteen Eighty-Four atau 1984 pada 1949, ia tengah membayangkan kisah kelam tentang kehidupan masa depan — pada 1984. Novel dan namanya lantas telah menjadi identik dengan masalah privasi yang melibatkan teknologi dan juga elite penguasa yang sangat kuat dan menindas, serta secara ketat mengatur aktivitas warganya dengan tangan besi. Novel Orwell, 1984, adalah tempat kita mendapatkan istilah “Big Brother” (Bung Besar), melalui kalimatnya yang terkenal, “Bung Besar sedang memperhatikanmu” (“Big Brother is watching you”).
Ketika khalayak mengatakannya, mereka mengacu pada sistem pengawasan mahatahu yang dijelaskan dalam novel itu, terus memantau dan mendengarkan mereka — bahkan di rumah mereka sendiri. Ketika kita menyebut istilah Orwellian, maka maksudnya adalah untuk menggambarkan invasifitas teknologi atau kebijakan pemerintah tertentu — yang memata-matai rakyatnya. Pun merujuk mimpi buruk George Orwell yang digambarkan dalam novelnya. Ada beberapa istilah lain yang diciptakan Orwell dalam 1984, seperti doublethink, thinkcrime, dan hole memory — yang populer sebagai bahasa sehari-hari.
Dorian Lynskey dalam The Ministry of Truth: The Biography of George Orwell’s 1984 (2019), ketika karya George Orwell 1984 diterbitkan di Inggris pada 8 Juni 1949, di jantung abad kedua puluh, seorang kritikus bertanya-tanya bagaimana novel itu mampu menjaga ritme ‘kekuatan yang sama’ selama beberapa generasi setelahnya. Tiga puluh lima tahun kemudian, ketika dunia bukanlah mimpi buruk yang digambarkan Orwell, komentator meramalkan popularitas novel itu akan berkurang.
Tetapi, kenyataannya tidak, karena 1984 tetap menjadi novel yang mengingatkan pembacanya ketika ‘kekuasaan disalahgunakan’. Anthony Burgess, penulis A Clockwork Orange, menyebutnya sebagai “naskah kuno apokaliptik dari ketakutan terburuk kita.” Novel 1984 memang lantas meledak; dan bahkan ia telah menyusup ke dalam kesadaran banyak orang yang belum pernah membacanya.
Ungkapan dan konsep Orwell dalam novel itu telah menjadi perlengkapan penting bahasa politik, masih kuat setelah puluhan tahun digunakan dan disalahgunakan: Newspeak, Big Brother, polisi pikiran, Kamar 101, benci dua menit, doublethink, unperson, hole memory, telescreen, 2 + 2 = 5, dan kementerian kebenaran.
Novelnya juga telah diadaptasi untuk film, televisi, radio, teater, opera dan balet. Ia juga telah memengaruhi novel, film, drama, acara televisi, komik, iklan, pidato, kampanye pemilihan, bahkan pemberontakan. Karena itulah, Lynskey mencatat, tidak ada karya sastra dari abad yang lalu yang mendekati keunikan budayanya sambil mempertahankan bobotnya.
Beberapa ssastrawan telah menuduh 1984 sebagai adalah novel yang buruk, dengan karakter yang tipis, prosa yang membosankan, plot yang tidak masuk akal, ‘tetapi bahkan mereka tidak dapat mengingkari pentingnya’. Penerbitnya mencatat keberhasilannya yang luar biasa “untuk sebuah novel yang tidak dirancang untuk menyenangkan maupun semua yang mudah dimengerti.”
Mark Dice mengandaikan, bahkan jika Anda belum membaca novel 1984 atau melihat filmnya, Anda akan mudah akrab dengan isu-isu yang membentuk alur cerita, seperti sistem pengintaian berteknologi tinggi yang mampu melihat dan mendengarkan semua percakapan orang, untuk memastikan bahwa semuanya sejalan dengan pemerintah (atau dalam novel disebut partai).
Anda mungkin juga akrab dengan konsep ‘kelas elite kecil penguasa’ (Orwell menyebutnya sebagai ‘lingkaran dalam partai’) yang hidup dalam kemewahan dan menggunakan kekuasaan yang tak terbayangkan atas warga negara tingkat bawah. Dalam novel itu, orang-orang telah kehilangan kebebasan mereka, keterampilan berpikir kritis mereka, bahkan kemampuan untuk mencintai, karena kedalaman budaya masyarakat telah ditenggelamkan oleh kontrol Bung Besar.
Novel 1984 begitu populer dengan banyaknya kosakata yang diadopsi masyarakat, justru karena ia berfungsi “lebih dari sekadar novel fiksi untuk hiburan pembaca”. Novel ini berfungsi (dan terus berfungsi) sebagai peringatan nyata tentang apa yang akan terjadi di masa depan, ketika teknologi semakin invasif berpadu dengan kekuasaan yang menindas, atau ketika terdapat begitu tersesat dalam ‘budaya pop’, dan semakin egois, yang menegaskan bahwa kita tidak peduli — dengan penginataian dan penin-dasan.
Dan, barangkali Dice berlebihan, ketika dia menulis, bahwa, tek-nologi yang sekarang ada atau sedang dikembangkan, yang akan ada dalam waktu dekat, akan mengancam dunia kita ‘sama mengerikannya atau bahkan lebih buruk dari yang digambarkan oleh dunia George Orwell’. Apalagi, manakala ‘program dan kebijakan pemerintah aktual’ keluar dari imajinasi Orwell yang gelap, dan terus memata-matai ‘aktivis politik damai yang dianggap bermasalah’.
Bagi Dice teknologi merupakan alat fantastis yang dapat bermanfaat bagi mereka yang menggunakannya, atau bisa juga membahayakan, tergantung pada niat orang yang merancang atau menggunakannya. Teknologi telah membawa kita pada penemuan luar biasa yang tampaknya ‘supernatural’ bagi peradaban beberapa ratus tahun yang lalu. Menurut Arthur C. Clarke, penulis 2001 Space Odyssey, “Setiap teknologi yang cukup canggih tidak dapat dibedakan dari sihir.”
Kalimat itu terasa benar, bahwa teknologi ajaib telah membawa ke kenyamanan untuk menelepon teman atau keluarga dari ponsel kita, memungkinkan kita untuk berbicara dengan mereka dari hampir di mana saja di dunia, dan memberi kita kemampuan untuk menonton acara di sisi lain bumi terungkap secara langsung di televisi, dan keajaiban lain seperti internet, perekam DVR, YouTube, spread sheet Excel, pengolah kata, email, Facebook, dan banyak lagi; itu juga membawa kita pada masalah pencurian identitas, penyadapan ilegal, kamera video tersembunyi, penguntit dunia maya, dan tindakan-tindakan yang lebih buruk.
Sayangnya, dengan kemajuan teknologi yang luar biasa seringkali muncul konsekuensi yang tidak terduga. Ketika Albert Einstein sedang mencari hukum fisika untuk mempelajari bagaimana fungsi alam semesta, dia tidak akan pernah bisa membayangkan bahwa karyanya akan digunakan untuk merancang senjata yang mampu menghancurkan seluruh bumi. Tampaknya pikiran gelap manusia yang berkuasa selalu berusaha untuk membangun perangkat jahat yang dirancang untuk memungkinkan mereka mempertahankan kekuatan mereka, tidak peduli seberapa buruk konsekuensinya.
Kini, Dice mengingatkan, kita akan melihat beberapa ‘penemuan menyeramkan’: kamera video pengenal wajah yang dapat menjemput Anda dari kerumunan puluhan ribu orang dalam sepersekian detik, me-sin yang dapat membaca pikiran, robot pembunuh berteknologi tinggi, senjata psikotronik yang secara harfiah dapat menempatkan suara di kepala orang, dan banyak lagi. Anda akan melihat tanpa ragu bahwa deskripsi George Orwell tentang Bung Besar ‘sangat akurat’, dan mungkin tidak mengerikan seperti kenyataan yang mungkin akan kita hadapi suatu hari nanti.
Seperti kotak pandora, begitu banyak dari teknologi ini dibuat, akan ada sedikit harapan untuk menghentikannya, bahkan mengaturnya. Sementara beberapa teknologi ada di industri kecil dan khusus (dan semakin berkembang menjadi arus utama publik), orang harus bertanya-tanya tentang teknologi yang diklasifikasikan sebagai rahasia besar dan eksperimen yang berlangsung dalam tempat tersembunyi. Kita semua harus khawatir tentang kelanjutan penelitian dan eksperimen ilegal dan tidak bermoral yang tidak diragukan lagi terus terjadi secara rahasia.
Narasi Dice barangkali sekadar menegaskan argumentasi kekha-watiran kelompok pesimis digital, tetapi juga bisa memicu kelompok kritis untuk melakukan antisipasi-antisipasi. Yang jelas, negara sebagai otoritas kekuasaan mampu untuk menghadirkan peranti-peranti pengintaian atau pengawasan Orwellian yang semakin canggih, dan siapa saja sebagai warga bisa merasa terusik oleh kenyataan tersebut.
Namun demikian, lazim mengemuka dalih pembenar, bahwa negara tidak usah selalu dicemaskan kalau fungsional dan demokratis, mengingat tentu yang menjadi sasaran tembak pengintaian ialah, bukan ‘para musuh politik penguasa’ tetapi, para teroris atau kelompok-kelompok kejahatan yang juga kian canggih operasinya. Dengan kata lain, tentu kalangan optimis digital, akan punya argumentasi sendiri tentang fenomena ini, dan lantas keluar kalimat, agar kita tidak usah khawatir dengan perkembangan teknologi.
Namun, sepertinya novel Orwell selaras hukum Moore tentang laju cepat perkembangan teknologi. Sehingga, dalam satu titik mereke bertemu. Orwell tampaknya sekadar berurusan dengan konsekuensi buruknya, dan itu dilekatkan erat dengan politik, kekuasaan. Daniel J. Power, dalam ualasannya tentang “Big Brother” can Watch Us(Journal of Decision Systems, 25 : sup1, 2016) menggarisbawahi kembali bahwa “Bung Besar” merupakan metafora yang akrab yang memunculkan visi pengawasan politik, kontrol politik pembangkang, pemerintahan totaliter, dan hilangnya kebebasan individu. Itu semua diberangkatkan dari novel Orwell, 1984, yang berspekulasi tentang masyarakat masa depan di mana teknologi membantu kontrol oligarki kekuasaan dan mendominasi masyarakat yang tenang.
Banyak di antara kita yang suka membaca novel dystopian tentang masyarakat yang tidak manusiawi, dan ketika kita masuk ke tahun 1984, kita telah menghindari ramalan Orwell. Wajah Bung Besar tidak menghantui kita di telescreens raksasa di Victory Square.
Teleskop di rumah, kantor, dan di jalan-jalan tidak mengawasi dan mendengarkan kita, fakta-fakta tidak diedit atau direvisi, perang yang terus-menerus tidak memberikan dasar untuk kontrol pikiran dan penindasan politik. Teknologi informasi, nyatanya, tidak memfasilitasi pemerintah totaliter. Mungkin karena saat itu teknologi komputasi dan pengawasan belum sempurna, kecuali teknologi informasi dan pendukung keputusan yang telah meningkat secara dramatis.
Tapi, kini kita berada dalam perkembangan yang tak seperti itu. Metafora ‘Bung Besar’, catat Power, memusatkan perhatian kita pada pengumpulan data pemerintah di semua tingkatan, dari kepolisian dengan kamera lalulintas hingga Badan Keamanan Nasional AS (National Security Agency, NSA) dengan database yang sangat besar. Kekhawatiran terjadi ketika pengumpulan data oleh pemerintah disalahgunakan untuk memperluas kontrol ‘pemikiran’ politik. Ranah bisnis juga mengumpulkan dan menambang data untuk meningkatkan laba dan menargetkan pelanggan.
Semua data yang dapat diidentifikasi secara pribadi dikumpulkan dan disimpan. Empat perkembangan teknologi utama telah terjadi sejak 1984 yang menyediakan komponen untuk mengimplementasikan visi politik totaliter yang serupa dengan yang dijelaskan oleh Orwell. Skenario teknologi ‘Bung Besar’ mengaitkan perkembangan dan potensi KB, analitik prediktif, dan mahadata, termasuk pengawasan video dan media sosial untuk mengubah masyarakat.**

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS
Big brother artinya kakak