
Terakota.id–Tiada kisah sedih, setidaknya dalam pekan ini, bagi saya, kecuali ketika rayap-rayap menggerogoti beberapa buku di rumah saya. Ini tragedi. Tetapi, tentu juga penuh hikmah. Bukankah dulu rayap-rayap lah yang mengingatkan, kalau bukan turut memastikan, bahwa Kanjeng Nabi Sulaiman telah wafat?
Seandainya tongkatnya tidak digerogoti rayap-rayap, maka tidak ada makhluk yang tahu kalau Kanjeng Nabi Sulaiman telah wafat.
Hal tersebut terabadikan dalam Al Qur’an Surat Saba’ Ayat 14, “Maka ketika kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya.”
Kanjeng Nabi Sulaiman wafat dalam keadaan duduk bertopang di atas tongkatnya. Tak satupun pengikutnya tahu kanjeng nabi sudah wafat. Kecuali setelah rayap-rayap menggerogogi tongkatnya.
Maka, saya judulilah kolom ini, “Manusia dan Rayap”.
Karena kolom semacam ini refleksi, maka ia bisa ke sana-kemari. Bahkan, kalau mau penulisnya bikin kontroversi, agar dibicarakan banyak orang. Tetapi, barangkali kontroversi tidak akan muncul alias gagal sejak awalnya, justru ketika khalayak lazim punya imajinasi yang sama atau mirip. Bahwa rayap itu bak koruptor, yang diam-diam menggerogoti bagunan ekonomi nasional, sehingga setelah bangunan itu terpuruk maka banyak orang baru sadar bahwa banyak rayap di dalamnya.
Bebas saja kita berimajinasi, asal tidak menyerempet ke kecerobohan ujaran-ujaran kebencian. Tetapi, sebaik-baik imajinasi, saya kira, manakala sosok yang mengimajinasikan ialah manusia literatif.
Tanpa membaca, imajinasi kita terbatas.
John Steinbeck mengarang novel yang sangat popular, Of Mice and Men. Bahkan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sekalipun pernah menerjamahkannya, Tikus dan Manusia. Orang yang belum pernah membacanya, bisa membuat status yang aneh-aneh tentang dua makhluk itu: tikus dan manusia.
Dan, misalnya, tanpa membaca novel itu, lantas ada orang yang langsung bisa membuat status di medsos begini: “Memang manusia itu tingkah lakunya seperti tikus, bahkan seringkali lebih canggih ketimbang tikus”.
Terus ada yang menyahuti sekenanya, sehingga terbentuk suatu imajinasi kolektif berdasarkan sekedar terpaku pada tikus dan manusia.
Belakangan ini novel saya, Manusia Beo hadir di toko-toko buku, berjejal dengan ratusan judul novel lainnya dan kalau digabung seluruh buku bacaan, ribuan. Beberapa kolega menayangkan novel saya itu di medsos. Belum sempat membaca, tetapi tentu statusnya menggoda: mengajak yang lain berimajinasi.
Arah imajinasinya jauh di luar narasi kisah dalam novel saya. Ditambah ragam komentar, sebagai pengarang saya hanya bisa geleng-geleng kepala: kok bisa ya orang berkomentar imajinatif ke sana-kemari sedemikian rupa, tanpa harus capek membaca bukunya?
Saya ingat bahkan dulu pernah ada sosok yang dijuluki budayawan agung, pernah diminta menjadi narsum bedah novel, tapi tanpa membaca novelnya. Dan khalayak banyak yang tak tahu, kalau dia memang belum membacanya.
Kembali ke Of Mice and Men. Memang dari segi judul, dua makhluk yang disembulkan dalam novel Steinbeck itu, merasang imajinasi awal, yang biasanya liar tak tentu arah. Tetapi, manakala orang sempat membaca novel ini hingga habis, termasuk pengalaman saya membaca dan menonton versi filmnya, segera lupa bahwa kisah yang kita baca itu berjudul fabelistik, Of Mice and Man.
Dikarang tahun 1937, kendati perbudakan sudah jauh dihapuskan sebelumnya, sisa-sisa nuansanya, setidaknya sentimen rasial, dalam derajat tertentu masih terasa di AS. Bahkan hingga 1960-an pun, manakala kita baca kisah Cassius Clay alias Muhammad Ali, petinju legendaris sepanjang masa itu, sentimen rasial masih juga terasa.
Tahun 1930-an, sekira pertengahannya, resesi berat melanda. Pada tahun 2000, sekira setahun sebelum Peristiwa 9/11/2001, saya mememuhi undangan keliling AS, dan sempat mampir di museum untuk mengenang Presiden Francis Delano Roosevelt (FDR). Nuansa malaise atau krisis ekonomi akut terasa betul dalam ragam foto, patung, atau diorama.
FDR duduk di kursi roda. Patungnya. Orang-orang antre jatah. Orang-orang mendengarkan radio. Zaman itu, zaman radio, sehingga rakyat banyak yang tidak ngeh kalau prisedennya menderita lumpuh layu. Yang mereka tahu, orator, dan belakangan pencipta padat karya. Bendungan-bendungan dibikin. Jalan-jalan. Segala rupa. Padat karya. Itulah bentuk intervensi negara, ketika krisis terjadi. Sebagaimana anjuran John Maynard Keynes.
Of Mice and Men bersentral George dan Lennie – dua lelaki yang fisik dan karakternya berbeda. Latar kisahnya di sebuah peternakan, berinteraksi dengan sesama kelas pekerja lainnya. Dinamika konfliktual terjadi karena angan-angan yang tumpang tindih di tengah sistem kapitalisme industrial yang kejam. Ujungnya memang tragis. Lennie, sosok yang berkebelakangan mental sering membuat masalah, ditembak kepalanya oleh George, agar masalah-masalah yang disebabkan olehnya terbebaskan.
Berbagai pengulas mengaitkan novel ini dengan kapitalisme yang kejam dan menindas. Yang lemah, yang merepotkan, harus menyingkir, kalau bukan tersingkir.
Novel ini sudah banyak diulas, ditafsirkan, dan direfleksikan dari sejak terbitnya hingga di abad digital ini. Barangkali dibutuhkan pengulas yang lebih canggih lagi, mengaitkan konteks kapitalismenya zaman kita, yang oleh Shoshana Zubbof, dipopulerkannya sebagai “surveilance capitalism”, kapitalisme pengintaian.
Rayap, tikus, kelas pekerja, kapitalisme, apapun, bisa dirangkai-rangkai untuk memotret kondisi zaman kita. Steinbeck dan Pram bisa kita hadirkan kembali dalam imajinasi, untuk memperkaya ulasannya.
Dan, saya kira, lantas tebakan saya benar: para pembaca kolomnya, segera lari sambil setengah dihantui berita-berita wabah virus corona, berkata, “Nggak ikut-ikut ah!”. **

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS