manisnya-sawo-kecik-korban-lumpur-lapindo
Korban lumpur lapindo berziarah di makam keluarga. (Foto : Antara).
Iklan terakota

Terakota.id– Ketua Koperasi Perempuan Sawo Kecik, Lilik Kaminah tengah duduk sambil sembari memainkan keybord komputer di ruang tengah.  Sesekali ia membuka buku catatannya dan mencermati setiap angka yang tertulis di atas kertas itu. Selanjutnya, ia pun memindahkan data ke dalam dalam komputer. Ia tengah menyusun laporan keuangan koperasi yang didirikan khusus korban lumpur Lapindo. “Persiapan untuk rapat tahunan,” katanya.

Koperasi perempuan “Sawo Kecik” ini berdiri Desember 2009, tujuannya untuk meningkatkan perekonomian warga. Sawo Kecik memiliki dua unit usaha, berupa simpan pinjam dan penjualan pulsa elektronik. Ia pun harus keliling setiap pekan untuk mencatat arus uang yang dikelola koperasi tersebut. Modal awal koperasi sebanyak Rp 15 juta, dana hibah dari perusahaan asal Inggris. Kini, modal berkembang menjadi Rp 35 juta.

Koperasi korban lapindo ini awalnya hanya beranggotakan lima orang, sekarang bertambah menjadi 27 orang. Namun, sebanyak 70 an korban Lapindo lainnya juga telah merasakan keuntungan dari koperasi. Mereka mengajukan kredit dan membeli pulsa. Maksimal pinjaman setiap nasabah sebesar Rp 1 juta, khusus anggota bunga kredit 10 persen dan 15 persen untuk non anggota.

Lilik bercita-cita seluruh korban Lapindo sebanyak 49 ribu jiwa menjadi anggota Koperasi Perempuan. Meningkatnya korban Lapindo diharapkan juga menambah permodalan. Perempuan, katanya, selain bertanggungjawab urusan domestik keluarga juga menjadi penopang keuangan keluarga. “Beban perempuan bertambah, banyak usaha yang bangkrut akibat lumpur,” ujarnya.

Korban lumpur Lapindo yang mengajukan kredit diantaranya digunakan untuk modal usaha menjual pakaian, toko kelontong, warung makanan dan biaya pendidikan sekolah. Modal koperasi, katanya, selain berasal dari simpanan wajib, simpanan pokok dan simpanan sukarela juga berasal dari donatur. Koperasi tak meminta jaminan tertentu dalam pengajuan kredit. Koperasi ini, katanya, berdiri atas azas kebersamaan dan kepercayaan.

Korban Lumpur Lapindo Kehilangan Akses ke Perbankan

Anggota juga mendapat keuntungan lain berupa peningkatan kapasitas diri. Mereka dilatih mengoperasikan komputer dan mengikuti pelatihan tata rias. Berdirinya koperasi, katanya, lantaran korban lumpur Lapindo karena kehilangan akses kredit perbankan. Sejumlah perbankan menolak kredit, lantaran jaminan yang diajukan dikategorikan berisiko tinggi.

Sehingga, banyak korban lumpur yang tak bisa mendapat pinjaman untuk mengembangkan usaha demi meningkatkan ekonomi. Seperti yang dialami pasangan Rahman dan Sulastri. Mereka mengajukan kredit untuk menambah modal berdagang kerupuk.

Awalnya ia hanya memiliki uang sebanyak Rp 2 juta, uang tersebut juga berasal dari mengajukan pinjaman ke sebuah perbankan. Sebelumnya. ia tak bisa memperoleh pinjaman lantaran domisili dianggap tak jelas. “Akhirnya meminjam nama kakak yang tak menjadi korban Lapindo,” ujarnya.

Rahman mengajukan pinjaman sebesar Rp 1 juta. Selama setahun, usaha berjualan kerupuk Rahman terus meningkat. Setiap bulan, rata-rata keuntungannya sebanyak Rp 500 ribu-Rp 1,5 juta. Ia menjual kerupuk tersebut ke sejumlah agen di Surabaya dan Sidoarjo. “Hasilnya lumayan,” kata Sulastri.

Usaha tersebut, katanya, dilakoninya untuk menambah keuangan keluarga membatu Rahman. Meski demikian, Rahman tetap bekerja sebagai buruh di pabrik kerupuk di Gempolsari, Tanggulangin, Sidoarjo. Rahman bekerja sebagai buruh produsen kerupuk sejak sepuluh tahun lalu.

Hidup di Kubangan Lumpur

Permukiman di sekitar tanggul lumpur Lapindo Sidoarjo terlihat dari foto udara. (Metrotvnews.com).

Adib Rosadi, 35 tahun, warga Desa Besuki Timur Kecamatan Porong memimpin jamaah manaqib bersama 50 anggota. Awalnya, jamaah mencapai 100 an orang namun sebagian memilih meninggalkan rumah dan bermukim di daerah yang  lain. Meski demikian, jamaah tetap semangat dan berkeliling setiap pekan di rumah masing-masing anggota. “Warga juga rutin membaca diba dan tahlil,” katanya.

Namun, keasyikan mereka beribadah terganggu sejak lumpur Lapindo menyembur dan menenggelamkan Desa di Porong, Jabon dan Tanggulangin. Warga pun tak bisa rukun seperti sebelumnya dan mudah tersulut emosinya. Maklum, emosi warga meledak-ledak lantaran suhu udara semakin panas, bau lumpur menyengat higung menyesakkan dada. Selain itu, mereka juga merasa tak nyaman tinggal di daerah yang dekat dengan tanggul lumpur Lapindo.

“Dulu enak, seperti hidup di perkampungan,” kata Adib yang tinggal di Besuki sejak 35 tahun lalu. Saat ini, ia mengaku selalu was-was dan khawatir dengan pertumbuhan kedua anaknya. Lantaran, kualitas udara semakin rendah menyesakkan nafas. Bahkan, air sumur tercemar, keruh, berwarna kuning dan rasanya berubah asin. Pohon mangga yang berdiri di depan rumahnya juga mengering dan mati.

Di halaman rumah Adib juga mengeluarkan semburan air bercampur lumpur disertai gas metana yang udah terbakar. Lima petak sawah miliknya kering dan tercemar tak bisa ditanami. Sedangkan, usaha Adib tak terpengaruh, lantaran ia membudidayakan ikan bandeng dan udang di sebuah tambak di Surabaya.

Namun, lingkungan sosial semakin berubah, warga semakin sensitif dan emosional. Setiap malam, ia masih sering berkumpul bersama tetangga membicarakan berbagai hal-hal ringan. “Bosan membicarakan soal lumpur,” ujarnya.

Adib tak sendirian, ia bersama ribuan warga Desa Mindi, Besuki Timur, Pamotan Kecamatan Porong dan Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo menuntut ganti rugi. Mereka yang berasal dari 45 Rukun Tentangga ini telah melaporkannya kepada Gubernur Jawa Timur, Menteri Pekerjaan Umum dan Presiden. “Kami dipingpong, tak ada tindaklanjutnya,” ujarnya.

Selain itu, ia khawatir jika tanggul jebol dan menerjang pemukiman warga. Ia berharap Pemerintah memperhatikan nasib warga yang berada di sekitar kolam penampungan. Mereka meminta Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan 45 RT ini sebagai daerah yang berbahaya dan mendapat ganti rugi.

Sebanyak 45 RT tersebut tersebar di Desa Mindi sebanyak 18 RT, Desa Besuki Timur 7 RT, Desa Pamotan 8 RT dan Desa Ketapang sebanyak 12 RT. Sejumlah rumah warga rusak, dinding bangunan retak akibat penurunan permukaan tanah di sekitar kolam penampungan.