
Terakota.id–Pasangan suami istri, Paulus Irawan Prajitno dan Ratna Shanty Indrasari berbangga menjadi warga kehormatan. Senyum merekah, mengembang di bibirnya saat Wali Kota Malang Sutiaji menyerahkan sertifikat bangunan cagar budaya di depan halaman Balai Kota Malang, Senin 14 Januari 2019. Irawan menerima sertifikat bangunan cagar budaya untuk rumah kediamannya di Jalan Anjasmara Nomor 25 Kota Malang.
Rumah Jalan Anjasmara Nomor 25 ditetapkan bersama 27 bangunan lain dan lima struktur sebagai benda cagar budaya yang harus dilestarikan. Penetapan melalui penilaian tim ahli cagar budaya yang terdiri dari pakar sejarah, arsitektur dan budayawan. Sejak penetapan, rumah tersebut bisa diakses publik untuk melihat dan mendengar bangunan yang dibangun sejak 1933.
“Kami tak menutup diri. Tentu tak semua bisa dimasuki. Ruang tamu sampai ruang tengah dan ruang makan bisa diakses publik. Silahkan berkunjung, kami siap menemani,” kata Irawan. Ia merupakan generasi ketiga, rumah itu diperoleh secara turun temurun. Diwariskan oleh kakeknya bernama Slamet yang saat itu bekerja sebagai pegawai kota praja Malang.
“Kakek nyicil untuk membeli rumah, ada kemudahan. Tahun 1935 kakek tinggal di rumah itu,” ujarnya. Selama tingga di sana, tak ada perubahan bentuk apalagi arsitektur bangunan. Semua terjaga sejak awal dibangun. Seluruh bangunan, katanya, utuh. Bahkan semua ruangan juga berfungsi seperti awal bangunan.
“Hanya cat yang berubah,” ujarnya. Irawan mengaku tak akan mengubah bentuk rumah yang ditinggali secara turun temurun. Ia berjanji akan menjaga dan tetap merawat rumah seperti sedia kala. Lantaran bangunan memiliki nilai sejarah tersendiri yang tak bisa dilupakan.

“Bangunan cagar budaya layak dilestarikan sebagai penanda kota,” ujarnya. Irawan bersyukur atas kepeduliannya menjaga bangunan cagar budaya mendapat insentif berupa potongan pajak bumi bangunan dan biaya perawatan. Perhatian pemerintah Kota Malang itu dianggap sebagai bentuk penghargaan dan kompensasi kepada warga yang melestarikan bangunan cagar budaya.
“Sejak awal, kami yang mengajukan rumah ini sebagai bangunan cagar budaya,” ujarnya. Sebagian besar rumah yang berada di kawasan jalan gunung-gunungan di Kota Malang tetap terjaga, Tak berubah. Semua bangunan terawat sebagai rumah tinggal dan secara arsitetur tetap dijaga, tak berubah.
Bangunan Tak Boleh Dipugar
Wali Kota Malang Sutiaji menjelaskan jika penetapan bangunan cagar budaya berbasis kajian keilmuan yang dilakukan akademikus dan budayawan. Penetapan bangunan cagar budaya diharapkan bisa memperkuat akar budaya. Serta menjaga bangunan yang berusia lebih dari 50 tahun tetap terjaga dan lestari.
“Kita kehilangan banyak bangunan yang berubah bentuk dan fungsi. Harus ada komitmen, jangan sampai seperti Ijen yang diubah. Dulu kawasan heritage belakangan berubah. Jangan sampai hilang,” katanya.
Kawasan permukiman di Jalan Ijen Kota Malang berubah, katanya, dalam penetapan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Seperti Balai Kota Malang, kata Sutiaji, yang akan dipertahankan. Hanya mengubah cat tetapi tetap menggunakan warna putih yang tetap terjaga kesan klasik,
Setelah penetapan ini, seluruh bangunan tak boleh diubah sama sekali. Ada sanksi bagi siapa yang melanggar. Siapapun Wali Kota Malang, katanya, harus dijaga. “Jangan sampai hilang dan musnah,” kata Sutiaji.

Tak hanya bangunan, sejumlah pohon yang berusia lebih dari 100 tahun ditetapkan sebagai bagian dari heritage. Meliputi pohon trembesi yang berbentuk jendela, di sekitar Balai Kota Malang. Pohon beringin di Alun-Alun Kota Malang dan pohon kenari. Pohon tua, katanya, tak banyak dijumpai di kota lain sehingga harus dipertahankan. Jangan sampai punah.
“Bisa menjadi heritage tourism,” kata Sutiaji.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ida Ayu Made Wahyuni menjelaskan Penetapan bangunan dan struktur sebagai cagar budaya melalui kajian panjang. Melibatkan para ahli sejak 2017 dengan emmbentuk tim ahli cagar budaya.
“Detail tak bisa tergesa-gesa,” kata Ida. Diawali dengan kajian tim arkeologi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Hasilnya diperkirakan ada 216 bangunan cagar budaya. Setelah diteliri lebih lanjut, tahap awal ditetapkan 32 bangunan dan struktur.
Sedangkan ada sejumlah benda cagar yang tersimpan di Museum Mpu Purwa yang akan diusulkan sebagai benda cagar budaya. Meliputi arca, prasasti dan benda cagar budaya lainnya. Setelah penetapan, setiap bangunan dan struktur akan dipasang tanda dan keterangan yang mudah diakses publik.
Sanksi bagi yang merusak bangunan cagar budara secara detail akan dituangkan dalam Rencana Induk Cagar Budaya. Sedangkan secara umum diatur dalam Peraturan. Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya.
Kini, tim ahli cagar budaya akan menetapkan kawasan cagar budaya. Kajian dilakukan oleg Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Malang. Kawasan cagar budaya meliputi sepanjang Jalan Kayutangan Kota Malang sebagai penanda Malang sebagai kota heritage. Kini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Malang tengah menyiapkan Detail Engineering Design.
Berkolaborasi Lestarikan Kawasan Cagar Budaya
Pakar sejarah Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono menjelaskan setelah penetapan menjadi momentum untuk komitmen mulai berjejaring, antara pemerintah daerah, akademikus, komunitas sejarah, masyarakat dan pemilik bangunan cagar budaya. Berkomitmen untuk melestarikan dan menjaga bangunan cagar budaya.
“Sertifikat diserahkan secara formal, melalui upacara. Pemerintah mulai berkomitmen, awal yang bagus,” ujarnya.
Kedepan, katanya, harus dijaga komitmen untuk pelestarian dan pemanfaatan kawasan cagar budaya. Menurut Dwi Cahyono, penetapan cagar budaya juga memiliki nilai tambah pemanfaatan mulai tata lingkungan secara ekologi, kultural dan pariwisata.
Yakni dibutuhkan satu tahapan penting, untuk menangani tingkat kawasan. Tahun ini diharapkan kawasan kayu tangan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Dirncanakan dimulai dari pusat pemerintah kota Malang, di Balai Kota, dilanjutkan ke koridor kayu tangan menuju melalui jembatan Jl Kahuripan.
“Sungai Brantas ini juga sungai heritage,” katanya. Jumlah heritage semakin bertambah, sehingga hubungan antar bangunan harus terjalin dalam sebuah kawasan. Seperti kawasan Jalan Ijen semua bangunan ditetapkan, sehingga ada koneksi antar bangunan dan lingkungan. Meliputi rumah tinggal, trotoar dan pepohonan.

Jika berhenti pada penetapan status, katanya, tak ada manfaatnya. Untuk itu, perlu pemetaan untuk mendata bangunan yang berkategori cagar budaya. Selanjutnya menjadi prioritas untuk menjaga dan merawat bangunan yang ada. Sebagian bangunan mulai terbengkelai, tak terurus dan rusak.
“Ada bangunan yang tak terawat karena tak mampu merawat, konflik keluarga atau sengaja dibiarkan,” katanya. Ujung-ujungnya, bangunan cagar budaya dijual dan diubah bentuk dan fungsinya. Terjadi pembiaran, sehingga mengalami kerusakan.
“Berbahaya, harus segera diinvetarisasi,” kata Dwi. Bahkan ada sebuah bangunan heritage yang terlantar tepat berada di samping Balai Kota Malang. Jika dibiarkan, tinggal menunggu waktu untuk rusak dan hancur. Sehingga perlahan-lahan banyak bangunan cagar budaya yang rusak berat dan handur.
“Siapa yang bertanggungjawab? Harus ada solusi,” ujar Dwi Cahyono.
Sementara Ketua Yayasan Inggil, Dwi Cahyono menjelaskan jika penetapan bangunan cagar budaya akan dievaluasi setiap dua tahun sekali. Setelah penetapan apakah ada perubahan dan kerusakan? Akan ditentukan oleh tim ahli. Jika dua tahun pemilik tak peduli, penetapan cagar budaya bisa dihapus.
Penetapan cagar budaya merupakan sebuah awal, katanya, untuk menata kawasan cagar budaya. Sehingga memungkinkan diajukan menjadi kota pusaka Indonesia maupun pusaka dunia. “Banyak kota setelah ditetapkan, terbengkalai,” ujarnya.
Kawasan ini, jelas Dwi, bisa dijual untuk paket wisata khusus. Harus terhubung antar kawasan. Wisatawan tak hanya sekadar jalan-jalan, namun harus memiliki kekuatan cerita. Misal kisah Islam masuk di Malang atau masuknya industri perkebunan Belanda di Malang.

Di Penang, Malaysia misalnya, menawarkan kisah masuknya Panglima Cheng Ho dengan bangunan cagar budaya yang melimpah. Penang diajukan selama empat tahun baru ditetapkan sebagai heritage dunia. “Setelah penetapan apa yang harus dilakukan? Banyak PR,” ujar Dwi.
Jumlah wisatawan khusus yang minat terhadap sejarah sekitar 25 persen. Namun bisa mendongkrang naik hingga 50 persen. “Malang jadi seperti apa? Penyelesaikan bagaimana? 15 tahun kita belajar dengan kota lain, ada yang mundur. Kita harus kerja keras,” kata Dwi yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang.
Setelah penetapan sebagai bangunan cagar budaya, diharapkan bangunan tersebut terbuka untuk publik terutama wisatawan. Dibuatkan standar operasional agar bangunan yang terdiri dari kantor pemerintah, perbankan, sekolah, hotel, rumah tinggal dan perkantoran terbuka untuk umum.
“Minimal ada heritage
corner,” Berupa sudut ruangan yang
menyediakan informasi detail mengenai bangunan. Meliputi sejarah, arsitektur dilengkapi
dengan foto dan video. Agar masyarakat mengetahui detail informasi bangunan
tersebut. Yayasan Inggil, katanya, sejak 12 tahun lalu memasang documentary board di sejumlah bangunan.
Berisi informasi singkat bangunan bersejarah tersebut.

Jalan, baca dan makan
[…] Malang Menuju Kota Pusaka […]