Pameran tunggal bertajuk, “sori kak, udah Sold!”. Pameran digagas seniman muda M. Nauval Ramadha, lukisan dipindai dari kode batang atau barcode untuk melihat lukisan versi digital. (Terakota/Fajar Ariffandhi).
Iklan terakota

Terakota.id–Sebuah pameran lukisan berlangsung di sudut warung kopi Omah Diksi, 7 November 2018. Pameran tak berlangsung di galeri luas, tapi cukup di ruangan berukuran 4 meter kali 5 meter. Pameran pun berlangsung singkat, hanya selama tiga jam. Seratusan pengunjung bergantian memasuki ruang pameran.

Tiket pengunjung, ditempel di dahi mereka. Tiket berbentuk kode batang atau barcode yang dilengkapi nomor seri. Pengunjung agaknya terkejut saat memasuki ruangan yang, hanya terdapat paku dengan benang yang sudah putus tanpa ada lukisan, menggambarkan lukisannya sudah terjual.

Di bawahnya terdapat kode batang dengan keterangan nama seniman, judul karya, tahun, dan harga. Judul-judul karya di antaranya: Ijazah, Negara, Rakyat, Bumi, dsb. dengan keterangan “terjual”. Kemudian pengunjung harus memindai kode batang menggunakan gawai atau gadget untuk melihat karya sang seniman yang disajikan versi digital.

Pameran yang nyeleneh. Menimbulkan banyak pertanyaan. Pameran bertajuk, “sori kak, udah Sold!”. Pameran digagas seniman muda M. Nauval Ramadha. Ini merupakan pameran tunggal kedua Nauval, sebelumnya pameran bertajuk, “menjagal kewarasan.”

Pameran tunggal bertajuk, “sori kak, udah Sold!”. Pameran digagas seniman muda M. Nauval Ramadha, lukisan dipindai dari kode batang atau barcode untuk melihat lukisan versi digital. (Terakota/Fajar Ariffandhi).

Pameran Nauval merupakan respons sebagai anak muda yang melihat saat ini semua sudah terjual, tak terkecuali karya seni. Kode batang yang tertempel di dahi pengunjung juga sebagai tanda bahwa selama ini pengunjung pameran juga terjual. Menurutnya pengunjung pameran selama ini hanya sekadar sasaran pasar.

“Saya menganggap bahwa pengunjung pameran juga adalah bagian penting dari nilai sebuah karya. Tidak sekadar objek pasar. Maka pameran ini juga melibatkan setiap pengunjung yang hadir,” kata seniman muda berusia 23 tahun ini.

Konsep pameran ini, pengunjung menjadi lebih interaktif; saling melempar pertanyaan antara dengan seniman maupun sesama pengunjung. Ari, seorang seniman yang juga hadir dalam pameran itu beranggapan pameran ini merupakan hal baru. Selama ini, katanya, pengunjung yang datang ke pameran tidak sedikit hanya berswafoto kemudian diunggah ke media sosial dan selesai.

Menurutnya apresiasi karya seharusnya penuh pengkhayatan, namun hanya sampai pada fase pamer di media sosial.  Selain itu, Nauval ingin mengajak kawan-kawan seniman muda khususnya di Malang, untuk berani berpameran. Baginya, niat baik untuk terus berkarya jangan sampai terhalang apalagi karena urusan materi.

Seniman muda yang juga pimpinan Shimmeria Institute ini menjelaskan, “banyak teman seniman yang masih enggan untuk berpameran dengan berbagai alasan. Ada yang masih canggung; merasa karyanya sedikit; biaya pameran yang mahal, harus sewa studio besar, biaya publikasi dan dokumentasi yang jor-joran.

Makna Pameran bagi Seniman

Dosen seni rupa Universitas Negeri Malang menjelaskan arti pameran bagi seniman.  Bagi seniman, katanya, pameran itu kelanjutan dari kekaryaan. “Itu sebagai pertanggungjawaban dia sebagai makhluk sosial dan bagian dari masyarakat,” ujar Lilik yang mengampu mata kuliah kritik seni.

Lilik bersama suaminya, Agustus, juga menyelenggarakan pameran seni rupa. Pameran tersebut bertajuk Pameran Couple, yang menyuguhkan karya suami istri itu. Momentum pameran couple juga sebagai penanda ulang tahun pernikahan mereka berdua.

Khusus pameran tunggal, kata Lilik,  biasanya diadakan sebagai instrospeksi diri dan melihat perjalan seniman itu sendiri. Lilik, menambahkan kalau di dalam pameran tunggal, karakter dari seniman lebih terlihat karena karya itu akan mewakili si seniman. Terlebih konsep dan segala persiapan yang diperlukan penunjang pameran hasil dikreasi seniman sendiri.

Makna itu sulit diperoleh dalam pameran bersama atau bahkan pameran besar yang dianggap bergengsi. Dalam pameran bersama yang dianggap sudah berkelas, tidak jarang seniman harus keluar dari karakternya sendiri agar karyanya dapat lolos kurasi dan ikut dipamerkan.

“Ada event pameran tema tertentu. Kita tidak punya karya bertema itu. Kita berusaha untuk masuk kurasi untuk tema yang dimaksud. Kalau aku, jadi seniman, aku tidak akan begitu. Karena kita belum tentu sesuai dengan tema itu,” kata Lilik.

Baik Lilik maupun Didik menyepakati kalau saat ini seni itu pasar seni itu lebih menjadi komoditas. Selayaknya komoditas, Lilik mengumpamakan seni kala ini seperti orang bikin pisang goreng, yang hanya mengejar untung.

Dalam artikel berjudul #PENTING_TIDAK PENTING PAMERAN SENI, Lilik menjelaskan, “dalam konteks ‘suci’nya, pada dasarnya pameran adalah bagian dari sebuah pertanggung-jawaban perupanya atas perbuatan berkarya seninya.”

Pameran Couple, yang menyuguhkan karya suami istri itu. Momentum pameran couple juga sebagai penanda ulang tahun pernikahan mereka berdua. (Foto : Malangpost).

Dari sudut pandang kehidupan sosial keberadaan sebuah pameran menjadi sangat penting, ketika perupa menyadari keberadaannya sebagai makhluk sosial. Di mana perbuatan se-pribadi apapun selalu akan berdampak pada kehidupan sosialnya, sehingga ‘dia’ harus bertanggungjawab.

Sedangkan dari sudut pandang personal, bisa jadi pameran dianggap tidak penting, karena justru secara personal “penderitaan” yang paling menegangkan dalam proses kreatif bagi perupa adalah pada saat-saat munculnya masalah sampai menjadi ide gagasan karya, bahkan sampai pada eksekusi pemilihan simbol visual, medium dan tekniknya.

Pada momentum itulah seorang perupa harus memutuskan keputusan-keputusan “berat” yang akan diputuskan secara pribadi dan sendiri (butuh kontemplasi dan suwung). Lalu sebagai makhluk sosial, ternyata perbuatan berkarya seni yang penuh keputusan-keputusan personal itu “selalu” dimintai pertanggung-jawabannya oleh masyarakatnya.

Didik menambahkan jika pameran bisa penting bisa juga tidak ketika dia berkarya. Lalu hanya ditumpuk dan tidak ada gunanya bagi masyarakat. Tidak sharing. Bagi seniman mungkin ada. Ini (pameran) sebagai pertanggungjawaban sebagai makhluk sosial.

Meskipun kalau tidak pameran yang juga tidak masalah itu hak mereka. Pameran itu bukanlah akhir. Hanya salah satu perjalanan proses. Yang paling penting bagi seniman adalah berkaryanya. “Ngelu, mules, sampai harus memilih medium apa, artinya dia perang dengan dirinya sendiri. Nah itu yang saya anggap penting. Sehingga kemudian, pameran itu hanya efek,”kata Lilik mengakhir perbincangan.