
Terakota.id–Disebut jurnalis, pas. Dikenal kolumnis, cocok. Dikenang sebagi organisatoris handal, tepat. Memuncaki karier sebagai politisi di DPR, tak salah. Namun, tidak banyak yang mengenal Sang Pendekar Pena ini sebagai seorang sastrawan. Mahbub Djunaidi alias MD, lahir di Tanah Abang, 27 Juli 1933, putra Kiai Haji Muhammad Djunaidi, salah seorang tokoh NU kala itu.
Awal kemerdekaan, Mahbub remaja hidup berpindah dari Jakarta ke Solo mengikuti keluarganya. Di Solo, jalan keabadian tulisannya berawal. Ia diperkenalkan gurunya semasa di Madrasah Manba’ul Ulum di Solo dengan penulis-penulis tersohor.
“Kiai Amir, sering memperkenalkannya pada karya-karya sastra dunia seperti Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain,” tulis Hairus Salim dalam Dua Cerita Pendek Mahbub Djunaidi (BasaBasi, 12 Oktober 2017).
Mahbub meneladani apa yang dilakukan gurunya. Ia mengakrabkan bacaan kepada anak-anaknya. Dalam Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi yang dieditori oleh Isfandiari MD dan Iawan Rasta, ditulis bahwa, Mahbub doyan menuturkan kisah-kisah petualangan dari buku-buku favoritnya kepada anaknya (2017:2).
Ia lihai mengisahkan hebatnya kepala suku Indian Winnetou karya Karl May, cerita pendek kocakynya Anton Chekov, kesaktian SI Buta Dari Gua Hantu, dan lain sebagainya. Kalau lagi dapat honor menulis, Mahbub juga akan mengajak anaknya berbelanja buku di pasar Palasari.
Dari Madrasah di Solo, Mahbub kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan SMP dan SMA. Di bangku SMP Mahbub meniti dunia kepenulisan. Sebagaimana ditulis dalam Mahbub Djunaidi (ensiklopedia.kemdikbud.go.id), ketika bersekolah di SMP, karyanya sudah dimuat dalam majalah anak-anak Sahabat terbitan Balai Pustaka.

Ketika di bangku SMA, syairnya dimuat dalam majalah Pemuda Masyarakat dan Siasat asuhan Rosihan Anwar. Selanjutnya, Tahun 1954 ia menulis novel percintaan di kebun teh yang berjudul “Angin Musim.“ Mahbub menulis sajak dan cerita pendek sampai tahun 1958.
Beragam majalah dan surat kabar merekam jejak karya sastranya. Dalam bentuk cerpen antara lain: “Kalau Sore-Sore” dalam Merdeka (1955), “Lahirnya Seorang Petani” dalam Siasat (1955), “Manisku Mau ke Mana?” dalam Forum (1955), “Tamu dari Timur” dalam Prosa (1955), “Mati dalam Senyum” dalam Star Weekly (1956), dan “Lagu Sebelum Tidur” dalam Kisah (1957). Sedang dalam bentuk sajak yang misalnya: “Doa”, “Gadis Main Piano”, “Makam Pahlawan Karet”, “Pertemuan dan Perpisahan” dalam Siasat (1952), dan “Anak yang Kematian” dalam Siasat (1953).
Hairus Salim dalam Dua Cerita Pendek Mahbub Djunaidi, menuturkan bahwa dalam satu riwayat Mahbub Djunaidi diceritakan mengawali karir pada 1950-an sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya tersebar di beragam majalah sebagaimana di atas. Namun, banyak yang tidak tahu. Jarak waktu menimbun karyanya. Karena itu, menurut Hairus Salim, karyanya tidak mudah didapat. Lantas, banyak orang tidak tahu dan tidak peduli kalau Mahbub pernah produktif menghasilkan karya sastra. Kecuali mereka yang hidup sezaman.
Mahbub, Jurnalis cum Sastrawan.
Mahbub yang ketika masih berusia 20-an telah berhasil menembus majalah Kisah. Majalah sastra asuhan H.B Jassin yang dianggap berwibawa kala itu. H.B. Jassin mengungkapkan bahwa sebagai pengarang, Mahbub memiliki gaya asli yang tercipta oleh lingkungannya sebagai wartawan. Bukan sesuatu yang dicari-cari. Tulisannya merupakan campuran antara jurnalistik dan sastra.
Jakob Oetama — kawan Mahbub Djunaidi sesama jurnalis, pendiri surat kabar Kompas dan kini Presiden Direktur kelompok Kompas-Gramedia, juga mengenal Mahbub sebagai jurnalis cum sastrawan.
“Seperti Bung Mochtar Lubis, selain wartawan adalah juga sastrawan, Mahbub boleh dibilang sebelum jadi wartawan sudah sastrawan, tentu saja sekaligus politisi,” tulis Jakob Oetama dalam Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi (2017:23).
Selepas tahun 1950-an Mahbub seolah rehat dari dunia sastra. Ia lebih banyak menceburkan diri ke dalam dunia jurnalistik, organisasi dan politik. Koran NU, Duta Masyarakat, ketika itu mengalami masa-masa sulit. Mahbub, pada tahun 1958, ditarik oleh Kiai Haji Saifuddin Zuhri untuk membangkitkan lagi Duta Masyarakat. Bangkit dalam tempo dua tahun. Pada 1960 sampai 1970, Mahbub ditunjuk menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat.
Setelah lama menepi dari dunia sastra, Mahbub kembali tampil pada 1974. Ia berceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan tema “Dunia Sastra bagi Saya” atas undangan Ramadhan K.H. Selang satu tahun, 1975, menurut Hairus Salim, novelnya berjudul Dari Hari Ke Hari dianugrahi penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975. Dan setelah sepuluh tahun, Mahbub kembali menerbitkan novel, Angin Musim.
Selain menulis, Mahbub juga aktif menerjemah. Salah satunya, novel Goerge Orwell, Animal Farm, ia terjemahkan secara apik dengan judul Binatangisme. Di akhir terjemahannya itu, Mahbub menandaskan bahwa Orwell telah berhasil menjadi salah satu penulis satire-politik Inggris yang besar.
“Seperti semua orang maklum, satire merupakan corak penulisan yang memerlukan tingkat intelektuil tinggi,” tulis Mahbub dalam Binatangisme hal. 168.
Bisa jadi, gaya menulis Mahbub: yang satire, humoris, namun tajam, selain mengadaptasi dari gaya menulis Arthur Buchwald juga dari George Orwell. Secara personal, Mahbub mengagumi gaya menulis Orwell yang sebenarnya melancarkan ejekan halus, namun tajam kepada bentuk pemerintahan yang totaliter.
“Tak syak lagi, sindiran Orwell saat itu tertuju kepada bentuk kekuasaan otoriter di Eropa,” tandas Mahbub (hal.172).
Mendirikan PMII

Bagi Mahbub, dianggap sebagai sastrawan memang lebih menarik daripada yang lain. Namun, dunia jurnalis dan sastra saja tidak cukup memuaskannya. Perubahan, menurut Mahbub, perlu diperjuangkan melalui politik.
Dunia politik Mahbub dapat dilacak dari kegemarannya dalam berorganisasi. Mula-mula Mahbub merupakan Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) pada tahun 1952, sewaktu masih di bangku SMP. Ketika SMA, Mahbub sudah bergabung ke dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU yang baru berdiri pada 1954.
Kecintaannya pada organisasi berlanjut sampai perguruan tinggi. Mahbub tercatat sebagai Mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Di sana, ia memilih bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan, Mahbub sempat masuk sebagai pengurus pusat HMI. Namun, pada tahun 1960 ia memilih keluar dari HMI dan turut serta membidani lahirnya PMII.
Kalangan mahasiswa NU berkeinginan untuk memiliki wadah organisasi. Gagasan untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU ini sempat tidak disetujui pada Muktamar ke II IPNU tahun 1957, di Pekalongan. Tidak surut. Akhirnya, apada tanggal 14-16 Maret 1960 di Kaliurang diselenggarakan Konbes (Konferensi Besar) I IPNU. Disusul kemudian tanggal 14-16 April tahun 1960 di Surabaya, mahasiswa NU se Indonesia melangsungkan musyawarah untuk membidani lahirnya PMII (Otong Abdurrahman, 2005:26).
Musyawarah itu berhasil melahirkan organisasi PMII. Mahbub Djunaidi ditunjuk sebagai ketua pertama. Musyawarah mahasiswa NU itu juga menetapkan tiga orang formatur. Mereka ditugasi menyusun kepengurusan. Mereka adalah H.Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, A. Cholid Mawardi sebagai Ketua I dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Mereka juga menetapkan Peraturan Dasar PMII yang berlaku mulai tanggal 17 April 1960. Tanggal inilah dinyatakan sebagai tanggal lahirnya PMII.
Tiga kali berturut-turut Mahbub dipercaya menjadi ketua umum PMII. Selepasnya, ia tidak berdiam diri. Ia bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor, badan otonom di bawah ormas Nahdlatul Ulama. Dasar organisatoris, di GP Ansor Mahbub juga berhasil menjadi puncak kepemimpinan. Selama di PMII dan GP Ansor, jiwa seninya tidak mati. Untuk mengobarkan semangat anggota-anggotanya, Mahbub menciptakan mars PMII dan mars GP Ansor.
Selain di organisasi, Mahbub juga aktif dalam politik praktis. Mahbub menjabat sebagai anggota DPR- GR/MPRS sejak tahun 1960 dari fraksi Partai NU. Dan dari fraksi PPP hasil pemilu 1977. Setelah, NU memutuskan keluar dari PPP dan meneguhkan kembali ke Khittah 1926 Mahbub tetap berada di dalam partai. Di NU ia sempat menjabat Wakil Ketua Tanfidziyah PBNU ketika Gus Dur mengampanyekan “NU kembali ke Khittah 1926.”
Meski begitu, ia berpandangan lain dengan Gus Dur. Keputusan kembali ke Khittah 1926, bagi Mahbub, merupakan batasan gerak untuk berpolitik secara menyeluruh. Karenanya, ia mewacanakan gagasan Khittah plus. Artinya, kalaupun NU meneguhkan untuk kembali ke Khittah 1926, bagi Mahbub, tokoh NU jangan sampai meninggalkan politik praktis.
Di Harlah PMII ke-58, izinkan kami, Terakota.id mengucapkan Selamat Harlah PMII, warisilah apinya Mahbub Djunaidi.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] pertanyaan yang acapkali dilemparkan pada saya. Di mana Mahbub Junaidimemposisikan dirinya kala itu? Bukankah Mahbub adalah satu dari sedikit mahasiswa kepercayaan Bung […]
[…] pertanyaan yang acapkali dilemparkan pada saya. Di mana Mahbub Junaidimemposisikan dirinya kala itu? Bukankah Mahbub adalah satu dari sedikit mahasiswa kepercayaan Bung […]
Koreksi: Pada saat musyawarah di Surabaya, hanya menghasilkan nama PMII, belum mengangkat H. Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum.
Yankee
Mahbub Djunaidi Centre