
Oleh: Imam Abu Hanifah
Terakota.id–Apakah kesenian ludruk punah ditelan zaman? Peneliti ludruk, Profesor Henri Supriyanto dan para pelaku seni ludruk dari kelompok Kendo Kenceng menjawabnya dalam diskusi yang diselenggarakan Terakota.id Jumat, 25 September 2017.
Henri mengkaji ludruk dalam disertasinya memaparkan ludruk sudah tak digandrungi lagi dan kalah dengan tontonan televisi. “Orang tak mau lagi nonton. TV itu seni masuk rumah, ludruk masyarakat keluar rumah”, ujar Henri yang malam itu mengenakan setelan batik.
Agar ludruk tetap diminati perlu penyesuaian dalam seni pertunjukan. Jika ludruk tampil di televisi perlu diperhatikan durasi pementasan. Sebuah pementasan ludruk butuh waktu panjang, sementara pementasan di televisi maksimal dua jam.
Selain melawan beragam jenis tontonan dan hiburan di televisi, regenerasi juga menjadi tantangan kesenian ludruk.
Ludruk merupakan kesenian khas Jawa Timur yang dalam sejarah tercatat lahir di Jombang. Sejarah ludruk dikenal dari lerok ngamen yang dilakukan oleh Pak Santik dan kawan-kawannya. Lerok merupakan variasi ujar dari lorek. Pemainnya mencoret-coret wajahnya.
Pada periode ini pemainnya belum banyak, hanya satu orang. Tidak ada alat musik pengiring. Pemainnya memanfaatkan suara-suara dari mulutnya sebagai iringan musik. Periode ini berlangsung sekitar tahun 1907 sampai 1917.
Pada periode 1920 sampai 1925 ludruk berkembang. Awalnya pertunjukan jalanan yang berpindah-pindah tempat atau ngamen. Berubah dengan tempat pertunjukkannya yang menetap di halaman rumah atau ditanggap. Seperti ditanggap dalam pesta perkawinan, ruwatan, khitanan, dan sebagainya.
Jumlah pemain dan alat musiknya sudah bertambah serta berkembang. Periode ini disebut periode lerok besut. Besut sendiri bisa diartikan dari akronim mbekto maksud (membawa maksud). Ada juga yang mengaitkannya dengan nama pelopornya waktu itu, Pak Besut.
Setelah periode itu terjadi penambahan-penambahan dalam lerok besut. Misalnya penambahan tari remo. Henri Supriyanto, menyebut hentakan-hentakan kaki (gedrak-gedruk) itulah yang menginspirasi nama ludruk. Selain itu, lakon atau cerita sandiwara diadopsi dalam pertunjukan lerok. Dikenal dengan istilah lerok lakon atau ludruk.
Ludruk memikat masyarakat lewat dialog-dialog segar dan tingkah lucu para pelakon. Ludruk tak hanya menjadi hiburan rakyat tapi juga sarana menyampaikan kritik sosial.
Lakon perlawanan terhadap kolonial belanda bermunculan setelah Jepang mengambil alih nusantara. Ludruk juga tak lepas dari perkembangan kondisi politik. Setelah tragedi berdarah 1965, ludruk sempat mati suri dikaitkan dengan kesenian Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah kelompok ludruk dibina oleh militer dan polisi.
Henri menuturkan berlindung di balik militer jadi salah satu alternatif agar ludruk bisa tetap manggung. Henri pun pernah meminta ijin saat kelompok ludruk mahasiswa yang diikutinya pentas keliling Malang. “Tiba-tiba pemain kendang sakit,” katanya.

Tak ada pilihan lain selain mencari pemain pengganti. Salah seorang penabung kendang di lokasi pertunjukan menolak mengiringi pementasan ludruk. “Ndak berani Pak. Sampeyan pulang saya yang celaka, dituduh simpatisan PKI,” ujar pemain kendang itu.
Henri akhirnya meminta Komandan Koramil setempat mengeluarkan surat tugas sebagai pemain tambahan. itu bisa ikut pentas tanpa dituduh anggota partai komunis indonesia (PKI). “Kalau ada yang bilang kamu PKI, tunjukkan saja surat itu,”ujar Henri meyakinkan pemain kendang barunya kala itu.
“Sekarang kita sudah bebas.” Henri optimistis ludruk tak akan mati namun akan berubah bentuk. Ludruk terus beradabtasi dengan perkembangan jaman dan minat masyarakat. Seperti yang tercatat dalam sejarah ludruk.
Sigit Priyo Utomo pegiat seni ludruk mengaku membutuhkan waktu panjang dalam proses menjadi seorang aktor ludruk.
Butuh kesabaran dan kerja keras. Seniman ludruk yang tergabung dalam kelompok Kendo Kenceng ini memulai terlibat dalam kesenian ludruk sejak 2006. “Saya mengawali sebagai kru 2006, baru naik pentas sekitar tahun 2013,” kata pria yang akrab disapa Sigit.
Proses regenerasi di kesenian ludruk, katanya, karena tak ada konsep secara jelas dalam regenerasi. Sehingga tak banyak pemain muda yang terlibat dalam seni ludruk.
Untuk menggaet pemain muda, Kendo Kenceng pun menggunakan konsep blusukan ke kampus. Caranya dengan mendekati pegiat seni teater modern di unit kegiatan kampus. Alhasil sejak 2015 Kendo Kenceng beranggotakan 35 orang, kini didominasi pemain muda.
Ketua Kelompok Ludruk Kendo Kenceng, Sutak Wardhiono menyampaikan harapan agar masyarakat membantu ludruk bangkit kembali. Mencintai kebudayaan ia analogikan cinta sepasang kekasih yang harus menerima apapun kondisi pasangannya.
“Dalam konteks nasionalisme dan budaya, ada kurang dan lebihnya harus kita terima,” ujarnya mengakhiri diskusi.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi