Terakota.id–Akhir pekan lalu, saya memutuskan untuk mengisi sebagian waktu istirahat malam saya dengan menonton serial Loki di Disney Hotstar secara back to back. Total enam episode dalam musim pertama saya pelototi dalam dua kali istirahat malam saya akhir pekan itu.
Loki adalah serial “lanjutan” dari Avengers: End Game yang banyak dinanti-nantikan orang. Saya sendiri tertarik untuk menonton Loki setelah saudara sepupu saya yang sedang isoman bercerita bahwa dia menghabiskan waktu dengan menikmati serial tersebut. Karena yang tersedia untuk ditonton hanya satu musim, yang berarti tidak terlalu panjang, saya memutuskan untuk menontonnya juga.
Saya yang sangat menggemari tidur dan biasanya tidak kuat begadang terpaksa mengakui bahwa jam-jam yang saya habiskan untuk menonton Loki adalah time well-spent. Loki tidak hanya menyajikan film fantasi ilmiah yang memanjakan mata dengan efek yang cukup dramatis, musik latar yang memesona, dan kerja akting yang luar biasa dari para aktornya, terutama Tom Hiddleston yang memerankan Loki. Cerita serial ini sangat menarik—terutama jika kita kaji dari sudut pandang pemikiran filosofis yang lebih seriyes. Dan di tulisan ini, saya lebih ingin menyoroti aspek positif yang saya sebut terakhir ini.
Membaca Loki dengan Seriyes
Siapa pun yang menonton Loki dengan perspektif sastra, dipastikan akan diingatkan pada karya klasik George Orwell berjudul 1984 (terbit pertama kali pada 1949). Dalam novel distopian tentang masa depan tersebut, secara garis besar Orwell mengisahkan tentang bagaimana dunia masa depan telah ditata rapi sedemikian rupa, sejarah selalu dicatat dan ditulis ulang sesuai dengan arahan Bung Besar, yang kehadirannya tidak kasat mata tetapi sangat mewarnai dan bahkan dapat memata-matai semua orang.
Jika ada sesuatu yang menyimpang dari garis yang ditetapkan oleh Bung Besar, sekecil apa pun yang terdeteksi, hal tersebut dapat menganggu keseimbangan sehingga harus diluruskan kembali. Jika kasusnya dipandang membahayakan, si pengganggu keseimbangan akan dihablurkan dan namanya bahkan akan dihapuskan dari kitab sejarah. Orang yang kemarin bersama kita bisa saja keesokan harinya tidak ada lagi, dan namanya tidak dapat ditemukan di mana pun.
Bung Besar ini punya mata dan telinga di mana-mana, sehingga penyimpangan sekecil apa pun kemungkinan besar dapat dilihatnya. Tak mengherankan bila dalam sampulnya, novel 1984 memakai gambar mata yang mencorong. Bung Besar melihat semua, tahu semua.
Ketika Loki mendapati dirinya masuk ke sebuah semesta dengan bantuan tesseract yang diperolehnya secara kebetulan dalam salah satu adegan dari Avengers: End Game, dia awalnya tidak menyadari bahwa di alam baru itu dia bukan siapa-siapa kecuali seorang yang dipandang sebagai variant atau penyimpang. Di semesta yang dimasukinya itu, dia bukanlah dewa yang bisa seenaknya sendiri, seperti di dunia yang ditinggalkannya, di mana dia adalah adik Thor. Loki bahkan kaget ketika mendapati bahwa semua yang sudah, sedang, dan akan dikatakannya telah tertulis dan terekam. Kuasa magisnya pun dipreteli darinya.
Biasanya variant seperti Loki akan dihukum dengan cara pruning, yaitu disengat dengan semacam pedang laser sehingga partikel-partikel tubuhnya menghilang seiring terhapusnya eksistensinya. Dengan pruning, penyebab dari penyimpangan atau pemberontakan dipangkas atau ditiadakan sehingga semesta kembali menjadi semesta yang teratur dan tunggal. Garis sejarah menjadi sebuah garis lurus yang tebal, di mana semua anggotanya berjalan selaras dengan aturan yang telah ditetapkan.
Aturan siapakah itu? Bila dalam 1984, Bung Besar adalah pemilik aturan, di dalam Loki, penguasanya disebut sebagai ‘penjaga waktu’ atau time-keepers. Time-keepers terdiri dari tiga entitas yang identitasnya sangat misterius dan tidak sembarang orang memiliki akses untuk menghadapnya. Mereka, seperti dapat dibayangkan, tidak bekerja sendirian dan memakai tangan mereka sendiri. Time-keepers tinggal di sebuah kuil rahasia, yang akses ke dalamnya sangat dibatasi hanya untuk ‘eselon’ teratas.
Mereka bekerja melalui serangkaian birokrasi yang sangat terstruktur, pelik, indoktrinatif, dan hegemonis. Birokrasi ini bernama TVA (Time Variance Authority). Di dalam birokrasi ini, relasi personal antarpegawai adalah sesuatu yang tabu. Semuanya bersifat utilitarian dan dingin. Beberapa di antara mereka bahkan tidak memiliki nama dan hanya disebut dengan posisi atau tugas mereka, seperti Hunter 15, dst.
Mempertanyakan otoritas, termasuk di dalamnya bertanya tentang siapa diri mereka sendiri, atau masa lalu seperti apa yang mereka punyai sebelum mereka bergabung dengan TVA pun tidak dimungkinkan, dan bahkan diancam dengan hukuman pruning. Beberapa, termasuk penyelidik teras TVA, seperti Mobius, memiliki ingatan samar-samar akan masa lalunya. Ini terbukti dengan kesukaan bawah sadarnya pada dunia ski.
Di satu sisi, situasi yang dingin dan tidak manusiawi ini, yang hegemonis ini, menciptakan sebuah sistem yang intact dan serba teratur, serba terprediksi, dan ‘gampang’. Orang tidak perlu berpikir untuk dirinya sendiri, karena segalanya telah diaturkan dan diarahkan bagi mereka. Sampai hal-hal yang terkecil, semuanya telah disediakan, asalkan mereka bersedia tunduk dan patuh tanpa bertanya pada aturan Time-Keepers.
Ada sebuah adegan di episode berapa tepatnya saya lupa di mana Loki bertanya kepada penyelidik Mobius, bagaimana seandainya kepercayaan dan sistem yang dibangunnya terhadap Time-Keepers itu salah atau keliru. Bagaimana jika ada realitas lain yang lebih benar dalam menjelaskan kebenaran?
Mobius tidak dapat menjawab seketika itu juga, tetapi mirip seperti orang yang memeluk suatu agama dengan teguh tanpa pernah sedikit pun bertanya atau mempertanyakan soal kepercayaannya itu, Mobius hanya bisa menjawab bahwa Time-Keepers tidak akan pernah salah.
Jean-Paul Sartre (1905-1980), filsuf eksistensialis asal Prancis, menyatakan bahwa manusia sebenarnya tidak ‘mampu’ atau tidak ‘kuat’ untuk menanggungkan dan menerima kebebasan. Ketika manusia diberi kebebasan, dia akan merasakan kecemasan, kekhawatiran, atau angst yang besar. Pertanyaan besarnya adalah: aku bebas, tetapi apa yang akan kulakukan sekarang dengan kebebasan ini? Manusia lebih merasa nyaman untuk mencantelkan kebebasannya itu pada sesuatu yang dianggapnya lebih agung daripada dirinya. Birokrasi, ideologi, termasuk di dalamnya agama, adalah cantelan-cantelan yang padanya kebebasan manusia disampirkan. Manusia terlampau ‘kerdil’ untuk mengisi kebebasan.
‘Kekerdilan’ manusia itulah yang juga dikritik habis-habisan oleh filsuf Jerman Frederik Nietzsche (1844-1900). Dia melihat bahwa kepercayaan manusia kepada sesuatu di luar dirinya yang dipandangnya lebih besar atau agung daripada dirinya sendiri bukannya membantu manusia tersebut tetapi justru menghalanginya untuk mencapai potensinya yang unggul. Ubermansch semestinya menjadi normanya, bukan sifat-sifat seperti lemah lembut, kerendahan hati, menerima nasib, dan tunduk pada aturan keagamaan dan semacamnya. Maka, agar ubermansch itu bisa tumbuh, ‘Tuhan’ harus dibunuh. Sebab hanya dalam ketiadaan Tuhan-lah, manusia muncul ke depan dan ke atas untuk menangkap dan menanggung kebebasannya sendiri demi kejayaannya.
Sepertinya ide-ide inilah yang dengan perlahan ditanamkan oleh Loki ke benak Mobius. Puncaknya adalah ketika Loki dan Sylvie (yang digambarkan sebagai varian Loki di semesta yang lain) berhasil masuk ke kuil Time-Keepers dan membunuhnya. Namun, alangkah masygul hati mereka ketika menemukan bahwa Time-Keepers itu hanyalah droid yang berarti juga apparatus dari sesuatu yang lain yang lebih berkuasa. Time-Keepers hanyalah ‘nabi’.
Pada akhirnya, Loki dan Sylvie setelah menghadapi banyak sekali tantangan dan hambatan sampai juga ke ujung dari pencarian mereka. Mereka bertemu dengan ‘He who remains’, dengan Sang Pencipta dari semesta dengan aturan-aturannya yang ketat. Tetapi, sebagaimana mereka sangat kecewa manakala mendapati bahwa Time-Keepers hanyalah droid, mereka pun dikecewakan oleh fakta bahwa ‘He who remains’ pun hanyalah manusia berdarah daging.
Setelah membunuh benteng terakhir TVA ini, masalah tidak lantas hilang. Pertanyaan: siapa yang kini akan menuntun atau mengatur jalannya semesta? Mereka seakan seperti mahasiswa demonstran yang idealis di awal namun bingung setelah berhasil menumbangkan suatu kediktatoran. Musuh besar telah sirna, terus bagaimana? Apa iya semua dibiarkan dalam segala anarkismenya seperti diromantisasi oleh Nietzsche? Ataukah mereka kini perlu naik ke tampuk kekuasaan dan menjalankan roda semesta? Dan jadilah mereka ‘He who remains’ yang baru, menjadi variannya saja? Mereka kembali ke titik di mana mereka berawal.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.