Lokalitas Sebagai Alternatif Konservasi Sosial Ekologis

ada-kerugian-ekologis-dari-kebakaran-di-lereng-gunung-semeru
Kebakaran di lereng Gunung Semeru telah melahap padang sabana dan kawasan hutan seluas 102 hektare. (Foto : Komunitas Gimbal Alas).
Iklan terakota

Oleh: Wahyu Eka Setyawan*

Terakota.idMasalah lingkungan di Indonesia salah satunya relasional dengan kepadatan penduduk yang angkanya cukup tinggi, selain itu adanya angka industrialisasi dan ekspansi yang tergolong cepat meluas di Indonesia dan sering kali pada irisan tersebut diberikan privileged atau proporsi prioritas, karena ada anggapan tingkat kemiskinan yang tinggi, dan bicara soal paradigma tata kelola yang kurang sumber daya atau termanfaatkan.

Persoalan meluasnya populasi dan ekspansi ekonomi, salah satu dampaknya termasuk penggundulan hutan skala besar dan kebakaran hutan yang disengaja terkait yang menyebabkan kabut asap tebal di sebagian wilayah Indonesia bagian barat, Malaysia dan Singapura. Tidak hanya itu saja adanya eksploitasi sumber daya laut berlebihan dan masalah lingkungan terkait dengan urbanisasi serta pembangunan ekonomi yang cepat, termasuk polusi udara, kemacetan lalu lintas, pengelolaan sampah, layanan air dan air limbah yang tidak sesuai aturan perundang-undangan.[1]

Adanya deforestasi dan perusakan lahan gambut menjadikan Indonesia penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.[2] Ditambah dengan Perusakan habitat yang secara langsung mengancam kelangsungan hidup spesies asli dan endemik, termasuk 140 spesies mamalia yang diidentifikasi oleh World Conservation Union (IUCN) sebagai terancam, dan 15 diidentifikasi sebagai sangat terancam punah, termasuk orangutan Sumatra.[3]

Masing-masing pola adaptasi ekologis dan ekonomi ini mengalami tekanan luar biasa selama tahun 1970-an dan 1980-an bahkan hingga kini dengan meningkatnya kepadatan penduduk, erosi tanah, pengendapan dasar sungai dan polusi air dari pestisida pertanian, eskpansi tambang, ekspansi sawit, hutan tanaman industri dan pengeboran minyak lepas pantai.

Selain faktor umum yang hadir dalam pelbagai problem struktural berimbas pada konteks kultural, degradasi lingkungan di Indonesia tercatat semakin masif. Seperti adanya deforestasi yang masif hingga pada konteks kebakaran hutan yang semakin meluas. Forest Watch Indonesia mencatatkan jika 1,47 juta hektar hutan hilang setiap tahunnya, salah satunya diakibatkan oleh tingkah nakal korporasi serta lemahnya kontrol pemerintah.

Deforestasi pada umumnya terjadi karena ada ketimpangan dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan yang diberikan oleh pemerintah, khususnya pada periode 2013-2017 sebagaimana catatan dari FWI, pemberian konsesi usaha hutan sendiri telah mencapai 2,81 juta hektare atau mencapai 49 persen dari total deforestasi yang terjadi di Indonesia.[4]

Ada beberapa jenis konsesi yang menyumbang deforestasi di Indonesia, yakni berasal dari wilayah yang dalam realitasnya tumpang tindih, seperti beririsan langsung  dengan izin pemanfaatan dan penggunaan lahan, dalam catatan ini sendiri telah mencapai 0,78 juta hektare. Selain itu ada izin usaha pertambangan yang berada di posisi kedua, karena telah menyumbang deforestasi yang cukup luas yaitu 0,7 juta hektare.

Selanjutnya ada sektor perkebunan kelapa sawit yang turut menyumbang deforestasi seluas 0,58 juta hektare. FWI, menegaskan salah satu wilayah Indonesia yang mengalami deforestasi luas adalah Region Kalimantan, khususnya dalam hal izin usaha pertambangan dan perkebunan sawit. Konsesi itu mencapai setengah dari luas keseluruhan deforestasi di Indonesia yaitu sekitar 1,42 juta hektare.[5]

Kondisi tersebut menjadi salah satu hal yang cukup memprihatinkan khususnya bagaimana lingkungan hidup di Indonesia semakin memburuk, akibat dari ekspansi masif ekonomi secara makro, yang menjadi bagian dari arus ekonomi neoliberal yang rakus sumber daya, baik tanah, hutan dan air, sehingga Indonesia menjadi negara yang harus terimbas dari arus tersebut.

Sirkuit kapitalisme secara trajektori telah mengekslusi masyarakat lokal atau adat yang telah mengelola hutan sejak lama. Dan salah satu yang menyebabkan intensitas kerusakan semakin meluas adalah hilangnya pengetahuan lokal, melalui serangkain dereduksi kultural dalam konteks yang iheren dengan pendidikan yakni lokalitas.

Rimba Terakhir yang Terancam oleh Kapital

Dalam hal ini secara nasional Walhi memiliki program khusus sebagai kampanye agar kita sadar, betapa pentingnya menjaga kelestarian, dalam hal ini kelola hutan berbasiskan wilayah kelola rakyat dan lokalitas. Program tersebut berbingkai serangkaian event yang bertajum “Rimba Terakhir,” sebagai upaya untuk menunjukan bahwa lokalitas dan penguasaan ekonomi rakyat berbasis lingkungan menjadi salah satu aspek penting dalam mempertahankan lingkungan.

Rimba terakhir sendiri digelar di beberapa wilayah, seperti di Meratus Kalimantan Selatan yang tengah terancam oleh pertambangan batubara dan perkebunan sawit. Perlu dicatat, terakhir Walhi menang gugatan di MA terkait pencabutan izin konsesi tambang batubara di Meratus. Ada juga wilayah Mentawai di Sumatra Barat dan di Jawa Timur sendiri ada Sendi, Mojokerto.

Setiap wilayah tersebut mempunyai lokalitas sendiri dalam memaknai kelola hutan, lebih-lebih memiliki perspektif yang tidak antroposentris. Namun seringkali itu tidak dilihat oleh pemerintah yang hanya mementingkan investasi yang sifatnya makro, daripada hal-hal mikro namun sangat esensialis, yakni bertumpu pada konstruksi keberlajutan yang berkesinambungan.

Area tambang Freeport tampak dari udara (Foto : Eksplorasi.id).

Itu dapat dilihat betapa masyarakat adat terekslusi perlahan dari wilayah kelolanya, ada masyarakat Sendi, Jawa Timur yang terkungkung oleh dominasi kelola hutan Perhutani, di mana korporasi tersebut turut menjadi aktor dalam kerusakan hutan, tetapi dalam faktanya sebagaimana catatan riset dari Wahyu Eka (2018) ada alih fungsi yang cukup intensif dalam wilayah hutan yang dikelola Perhutani. Belum lagi berbicara terkait faktor intimidasi dan represi kepada masyarakat karena dituduh merambah hutan.[6]

Tidak hanya itu saja, di Kalimantan Selatan yakni di wilayah Meratus. Keberadaan masyarakat juga kaum adat yakni dayak Meratus terancam oleh tambang batubara dan ekspansi sawit. Di mana masyarakat sekitar dan khususnya dayak Meratus hidup dari hasil bumi, pertanian dan pemanfaatan hasil hutan. Namun keberadaan mereka terancam oleh kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi secara brutal ke korporasi, tanpa melihat bahwa ada masyarakat yang sebenarnya sudah sejahtera dengan hasil hutannya, tanpa merusak hutan.

Selain itu tambang batubara sebagai penyumbang deforestasi juga menyebabkan rusaknya sumber mata air di sekitar Meratus, karena wilayah ini merupakan kawasan reservoir yang menjadi tumpuan mata air, yang lebih penting menghidupi ribuan lebih warga yang hidup di sekitar Meratus.[7]

Sementara di Mentawai, sekitar 51% atau sebesar 246.011,41 hektar hutan produksi di Kepulauan Mentawai telah menjadi IUPHHK-HA dan diproyeksikan menjadi IUPHHK-HT. Artinya kaum adat Mentawai akan menghadapi perampasan ruang yang masif di wilayah kelolanya. Di wilayah Pulau Siberut, aneka konsesi diobral, deforestasi semakin meluas, sehingga menjadi preseden buruk terkait komitmen menyelamatkan dan mempertahankan ruang hidup.

Masih dianggap lalunya kaum adat, menjadi problem struktural yang sistematis, di mana kuasa negara bersama korporasi secara perlahan menyingkirkan manusia dan alam.[8] Sehingga ini menjadi satu keresahan bersama, betapa kaum adat yang sedari awal memiliki lokalitas kelola wilayah, hingga berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi hijau direduksi dengan arus determinasi kapital yang rakus ruang. Sehingga ruang-ruang sakral berubah menjadi ruang produksi, sehingga ada penghancuran masif di sektor sosial, ekonomi dan lingkungan yang terbingkai dalam paradigma sosial ekologis.[9]

Pada hal inilah, kita bisa melihat bahwa ada hal yang lebih sistemik disikapi, daripada terjebak dalam pseudo konservasionis. Yakni penyelamatan ruang hidup, di mana mengakui lokalitas masyarakat dan wilayah kelolanya daripada hanya gimmick hijau yang sebenarnya tak lebih dari jebakan arus kapital. Karena tanpa melihat secara politis, konteks konservasi akan terasa hambar tanpa bermakna. Jelas yang dibutuhkan di sini adalah merekognisi lokalitas dan melindungi spektrum ekologis melalui kebijakan yang berbasis pada realitas dan suara akar rumput.

Rekognisi Lokalitas untuk Kelestarian

Sebenarnya, pemerintah tak terlalu risau jikalau ingin menyelamatkan atau berkomitmen dalam interseksi konservasi. Pertama, adalah merekognisi keberadaan masyarakat, khususnya kaum adat, di mana mereka punya lokalitas dalam kelola wilayahnya, khususnya dalam pendidikan yang telah diterapkan sejak dini. Ini dapat dilihat baik dari adat Mentawai, Dayak Meratus maupun masyarakat Sendi. Mereka menghargai alam dengan memanfaatkannya secara bijak, merawatnya dan memiliki aturan-aturan yang bersifat keberlanjutan. Hal ini dapat dilihat dalam kesehariannya, ada konteks kehidupan yang dijaga dan dilestarikan.

Pengakuan ini secara legitimatif akan memberikan ruang untuk pengelolaan wilayah sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini, tanpa harus resah wilayah kelolanya dirampas dan diteritorialisasikan secara kaku dalam bentuk kawasan lindung. Sehingga keberlanjutan lingkungan sejalan dengan subsistensi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun dalam paradigma ini tentu akan ada kontradiksi dengan mainstream ekonomi yang ada, di mana ekonomi hanya dimaknai dari segi konsumsi, produksi dan akumulasi. Tanpa memikirkan ke depan bagaimana? Dan akan menjadi apa?

Seperti adat Mentawai yang memanfaatkan hutan untuk makan sehari-hari, mengambil hasil hutan seperti sagu untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya, memanfaatkan kayu dan ranting untuk bahan bakar, lalu digunakan untuk membuat kapal guna melaut. Semuanya diambil tanpa melakukannya dalam bingkai akumulatif, atau dijual luas memenuhi permintaan pasar. Semuanya digunakan secara bijak, berkelanjutan dan tentunya sesuai kebutuhan.

Begitu juga dayak Meratus yang memafaatkan hutan untuk hidup, dengan metode berladang berpindah mereka memanfaatkan transisi musim tanam hutan, sehingga keberlanjutan hutan bisa dijamin. Tidak seperti korporasi tambang atau sawit yang ia membabat hutan menggantinya dengan tanaman monokultur yang merusak keanekaragamaan, hingga keberlanjutan keberadaan sumber air. Tentu ini menjadi nilai tersendiri yang harus direkognisi, sebagai perspektif alternatif yang linier dengan konservasi.

Tidak hanya itu masyarakat Sendi yang memegang teguh nilai-nilai filosofis Jawa, juga memiliki nilai-nilai yang konservasi. Di mana mereka melakukan kelola hutan dengan tetap menjaga tegakkan hutan, menanam kayu yang sesuai fungsi di setiap ruang. Di mana tidak sekedar menanam seperti Perhutani, di mana banyak kawasan dekat mata air ditanami pinus dan karet, sehingga mengancam kelestarian mata air, selain itu rawan longor karena akarnya tidak dalam.

Mereka menanam tanaman yang disesuaikan dengan corak wilayah, misal tanaman yang kokoh akar dalam untuk lereng curam, selain itu menanam bambu di wilayah dekat mata air dan tanaman yang bagus untuk konservasi seperti mahoni, trembesi, beringin hingga jambu air dan alas. Selain itu juga ada durian, kopi hingga damar yang dapat menjaga tanah, selain memiliki nilai ekonomis untuk masyarakat.

saatnya-mengganti-narasi
Presiden Joko Widodo meninjau meninjau lokasi kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Kota Pekanbaru, (Foto : Biro Pers Sekretariat Presiden).

Inilah mengapa pentingnya dalam unsur konservasi harus membaca dalam konteks ekologi politik hingga lokalitas yang memiliki nilai baik. Tentu ini penting mengapa banyak wilayah yang masih eksis hutannya rata-rata dikelola oleh masyarakat yang masih memegang teguh nilai lokalitas dan khususnya masyarakat adat. Inilah mengapa penting kembali ke nilai-nilai yang bersumber pada pengetahuan lokal. Serta betapa mendesaknya merekognisi wilayah kelola rakyat sebagai alternatif konservasi yang berbasis sosial ekologis.

[1] Jason R. Miller. 30 January 1997. Deforestation in Indonesia and the Orangutan Population. TED Case Studies.

[2] Higgins, Andrew. 19 November 2009. A climate threat, rising from the soil. The Washington Post.

[3] Massicot, Paul. Animal Info – Indonesia. Animal Information on Endangered Mammals.

[4] Forest Watch Indonesia. 11 Oktober 2019. Lembar Fakta: Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia

[5] Forest Watch Indonesia. 2019. Lembar Fakta: Angka Deforestasi Sebagai “Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia

[6] Eka. S. Wahyu. 2018. Kejahatan Perhutani di Empat Wilayah Jawa Timur. Riset Hutan Walhi Jatim

[7] Independensi.com. 27 November 2019. Meratus dan Ancaman Bencana Ekologi di Kalimantan.

[8] Walhi. 13 November 2017. Tolak Hutan Tanaman Industri di Hutan Siberut

[9] Harvey, D., 2005. The new imperialism. OUP Oxford.

*Manajer Kampanye Walhi Jatim