Lokal Menembus Global: Penerjemahan Karya Sastra Jawa oleh BBJT

Ilustrasi: mengshanxue.blogspot.com
Iklan terakota

Terakota.id–Jean-Baudrillard (1929-2007), filsuf posmodernisme asal Prancis, menyatakan bahwa dunia dewasa ini adalah sebuah dunia hiperrealis. Dalam dunia hiperrealis, penanda dianggap memiliki kedudukan yang sangat penting dan bahkan menggantikan petanda.

Sekadar menyegarkan ingatan kita, istilah ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ pertama kali diperkenalkan oleh pemikir strukturalis dan ahli bahasa berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam ilmu bahasa, yang merupakan dunia simbolis, segala sesuatu dipahami sebagai tanda. Tanda itu tersusun dari (1) penanda, yaitu bunyi atau citra visual dari sesuatu dan (2) petanda, yang adalah konsep ideal atau abstrak tentang sesuatu itu.

Demikianlah, ketika saya mengatakan ‘mawar’ sembari memberikan sekuntum bunga tersebut kepada seorang gadis, misalnya, bunyi ‘mawar’ dan citra visual dari ‘mawar’ sebagai bunga berwarna merah marun yang harum baunya adalah penanda. Sedangkan, konsep mawar yang kita miliki di benak kita serta konsep ‘sayang’ yang saya simbolkan lewat pemberian sekuntum mawar pada seorang gadis, itulah petanda.

Para pemikir strukturalis seperti de Saussure melihat bahwa relasi antara penanda dan petanda bersifat arbitrari atau semena-mena. Dengan kata lain, kenapa ‘mawar’ dengan bunyi dan citra visual seperti itu mengandung konsep ‘sayang’ tidak didasarkan pada bukti-bukti yang objektif. Hubungan antara bunyi dan visual ‘mawar’ dan rasa sayang tidak hadir secara alamiah atau dari sono-nya.  Itu adalah hasil dari konsensus atau kesepakatan bersama pengguna bahasa saja.

Dunia modern (atau posmodern) dewasa ini Baudrillard lihat sebagai dunia yang tidak lagi mengenal adanya konsep ideal atau petanda. Dalam dunia tersebut, penanda menjadi satu-satunya realitas atau, setidak-tidaknya, realitas yang lebih penting. Tiadanya konsep ideal abstrak itu menjadikan penanda berperan sebagai standar penilaian yang utama. Penanda bahkan, sampai level tertentu, menjadi lebih penting daripada realitas, sehingga timbullah istilah hiperrealitas itu. Hiperrealitas berarti lebih dari realitas.

Di dunia semacam ini, akan mudah untuk melihat bahwa mereka yang menguasai penanda adalah yang menjadi penentu. Dan penguasa penanda, dalam pandangan Baudrillard, tidak jauh-jauh dari pemilik modal, wacana dominan, dan mereka yang memiliki akses atau privilese kepada pengetahuan. Mereka inilah yang menentukan penanda-penanda mana yang harus dibeli dan dimiliki oleh orang agar menjadi cool, hebat, dan ‘lebih baik’ daripada orang lain. Penanda-penanda yang menang menjadi lebih penting atau lebih menentukan daripada realitas, dan di sanalah letak dari hiperrealitas tersebut.

 

Penerjemahan Karya Sastra Lokal sebagai Usaha Mendobrak Hiperrealitas

Dalam dunia yang semakin mengglobal dewasa ini, berkat kemajuan dan fasilitasi yang luar biasa oleh teknologi transportasi massal dan teknologi informasi (digital), kita dapat dengan mudah menyaksikan adanya suatu arus besar penanda yang mencoba berebut kedudukan sebagai hiperrealitas dalam kehidupan. Produk-produk buatan produsen tertentu atau wacana yang digulirkan oleh pemilik kapital berusaha mengooptasi kesadaran kita, sejak dari bangun tidur sampai berangkat tidur lagi.

Iklan yang setiap hari dengan sukarela atau terpaksa kita tonton, display yang kita lihat manakala kita masuk ke mal atau sekadar minimarket modern, gagasan yang dengan mentah-mentah kita lahap dari berbagai media massa dan media sosial, semuanya itu adalah contoh dari penanda yang ingin menjadi penanda hiperrealis. Apa yang mereka tawarkan disampaikan kepada kita dan dikemas dengan sedemikian menarik dan menggoda sampai kita merasa berdosa dan bersalah kalau kita tidak ‘mengonsumsinya’.

Dalam tataran sastra dan budaya, operasi yang kurang-lebih sama juga terjadi. Kita membaca dan lebih familiar dengan sastra-sastra dari luar negeri atau dari daerah lain daripada dari lokalitas kita. Salah satunya adalah karena masifnya upaya dari pendukung (dan pemangku kepentingan) dari sastra dan budaya tersebut. Siapa yang tidak ‘tergoda’ dan larut dalam arus besar hallyu atau demam budaya pop asal Korea, atau siapa yang tidak menyukai film-film superkeren dan penuh dengan efek visual dan audio yang menawan a la Marvel Universe dari Hollywood?

Produk-produk budaya tersebut dengan deras dan powerful membanjiri ruang audio visual kita dan pada akhirnya juga dunia imajinasi dan kesadaran kita. Kita seakan hanya menjadi objek pasif dan konsumen dari produk-produk tersebut. Realitas keseharian kita tidak jarang kita ukur dan kita nilai dengan berpatokan pada penanda-penanda budaya tersebut, menjadikan produk-produk tersebut sebagai hiperrealitas kita.

Namun, sungguhkah kita hanya dapat menjadi objek pasif dan konsumen yang rakus dari hiperrealitas yang ‘mematikan’ kesadaran dan kreativitas kita tersebut? Apakah sudah tidak ada ruang untuk menyeruak dan menyampaikan kepada dunia bahwa kita sejatinya eksis dan kita pun memiliki sesuatu yang cool dan keren dan lebih-lebih bermakna atau bernilai untuk kita tawarkan kepada dunia? Dengan kata lain, benarkah bahwa agensi kita telah dimatikan?

Semangat untuk mencelikkan mata dunia (dan di dalamnya, tentu saja, memberitahu pembaca dari Indonesia di luar mereka yang paham dengan bahasa Jawa) bahwa masyarakat Jawa Timur memiliki khasanah sastra yang kayalah yang memotivasi Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) untuk menerjemahkan dan juga menerbitkan karya-karya sastra yang dihasilkan para penulis kondang di Jawa Timur. Demikianlah yang dapat ditarik dari sambutan Kepala Balai Bahasa Jawa Timur, Dr. Asrif, M.Hum ketika membuka penelaahan terjemahan karya sastra penulis Jawa Timur pada 11 Oktober 2021.

“Kita perlu memperkenalkan karya sastra para penulis Jawa Timur yang menulis dalam bahasa Jawa kepada para pembaca, tidak hanya pembaca di Indonesia, tetapi juga kepada para pembaca internasional,” demikianlah kurang-lebih yang disampaikan Pak Asrif dalam kesempatan tersebut. Keinginan ini patut diapresiasi tidak hanya sebagai sebuah upaya politis, tetapi lebih-lebih sebagai upaya kultural dan sosial untuk memajang karya sastra dari Jawa Timur di rak buku pembaca yang lebih luas.

Ibaratnya kita masuk dan berada di sebuah minimarket yang memajang beragam produk, tetapi sejauh ini produk kita sendiri tidak pernah ada atau dipajang di rak-raknya. Kita puas hanya dengan menjadi pembeli. Kita tentu tidak terlalu senang dengan hal itu. Kita lantas berketetapan bahwa sekarang adalah saatnya kita mempunyai produk yang memiliki kualitas prima sekaligus unik sehingga layak dipajang di rak minimarket tersebut, sejajar dengan produk-produk lain dari produsen yang sudah mapan. Kita ingin menawarkan alternatif terhadap penanda yang selama ini dominan. Kita memiliki kualitas tersebut.

Dengan demikian, kita, selain menjadi konsumen produk dari produsen lain (itu tetap kita lakukan karena fungsinya), kita menjadi produsen yang memiiki keunikan dalam produk yang kita tawarkan.

Karya-karya sastra yang diterjemahkan oleh para penerjemah yang diseleksi Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT) terdiri dari novel, kumpulan cerita pendek, dan geguritan (puisi) dalam bahasa Jawa dan umumnya pernah terbit di berbagai majalah berbahasa Jawa. Misalnya Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan Djoko Lodang. Demi menjamin kualitasnya, penerjemah dipilih melalui seleksi yang sangat ketat. Dari ratusan pelamar, hanya dipilih sekitar 15 penerjemah. Hasil terjemahan pun masih ditelaah oleh pakar dan praktisi penerjemahan guna memastikan kualitasnya yang prima dan kandungan sastrawinya yang cukup utuh.

Apabila nanti hasil terjemahan karya-karya sastra tersebut akhirnya terbit dan dipajang serta dibaca oleh sidang pembaca yang lebih luas, hal tersebut tidak dimaksudkan atau diharapkan untuk menjadi sebuah penanda yang dominan (dan bahkan menafikan petandanya). Hal itu kiranya lebih menjadi penanda bahwa masyarakat Jawa memiliki kekayaan sastrawi dan budaya yang layak diperhitungkan dan layak dipelajari. Juga bahwa sastra Jawa menawarkan alternatif cara pandang atau perspektif terhadap kehidupan dan realitas.

Penerjemahan karya-karya sastra lokal, termasuk karya-karya sastra Jawa sebagaimana diprakarsai oleh BBJT yang memiliki slogan ‘Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing’, akan menjadi semacam usaha tandingan dari arus besar globalisasi serta masuk dan bercokol kuatnya budaya-budaya impor di arena kultural kita. Kita tidak hadir untuk balik menguasai, tetapi kita hadir untuk menunjukkan bahwa kita ada, kita unik, kita menawarkan kualitas dan makna.