
Terakota.id–Anda mungkin menonton dan menikmati pembukaan Asian Games 2018. Video karya Wisnutama seolah menegangkan, Presiden Joko Widodo mengendarai sepeda motor terlihat atraktif dan handal. Joko Widodo yang karib disapa Jokowi menggeber sepeda motor Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) demi melawan kemacetan.
Video itu memantik reaksi. Bagi simpatisan, pengagum, ataupun tim sukses Jokowi, video itu sangat keren. “Adegan ekstrem yang heroik banget,” kata seorang pengagum. “Jokowi itu gagah,” celoteh fansnya. “Jokowi itu sangat milenial, cocok jadi pemimpin anak muda,” ujar pendukungnya yang lain. “Idenya gila, pasti bikin kubu sebelah makin kejang-kejang,” kata seseorang yang tak penting namanya.
Sebaliknya, video itu memantik kritik, cemoohan, dan hujatan dari lawan politiknya. Intinya, Jokowi adalah seorang Presiden yang berkubang politik pencitraan. Apapun adegan dalam video itu tak lain hanya pencitraan belaka. Seorang politisi menuntut Jokowi agar jujur, terbuka, dan tidak membohongi publik. Soal apa? Soal stuntman atau pemeran pengganti saat adegan ekstrem mengendarai motor. Bahwa, bukan Jokowi yang meliuk-liukkan lincah masuk gang mengendarai sepeda motor.
Kedua kubu saling serang, saling nyinyir, dan saling hujat. Fenomena keseharian yang makin akrab menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres). Surplus perdebatan, namun defisit kedalaman. Imbasnya, publik disuguhi sesuatu yang tak berfaedah, perdebatan yang receh. Kalaupun ada, mereka yang ingin merawat kewarasan nalar dengan mengajukan pandangan maupun kritik, segera saja dicap bagian dari salah satu kubu. Kan konyol itu namanya.
Ihwal Stuntman Jokowi pun menjadi viral dalam beberapa hari. Menyedot perhatian jutaan orang untuk membincangkannya atau sekadar memberi perhatian. Seolah persoalan stuntman sama pentingnya dengan kedaulatan Negara dan marwah seorang Presiden. Namun, kembali pada hukum viral di media sosial. Jokowi sempat bertahan sementara, videonya viral.
Padahal, berbarengan dengan ramainya perbincangan stuntman Jokowi, ada satu peristiwa yang lebih penting dalam artian kita sebagai warga negara. Bukan sebagai bagian dari penonton (pasif) di muka panggung pertunjukan.
Izinkan saya menyandingkan kedua kata ini. Anggap saja kedua kata ini mirip. Antara “Stuntman” dan “Satumin.” Setidaknya, sama-sama diawali huruf “S” dan diakhiri huruf “N.” Sayangnya, keduanya mempunyai nasib yang bertolak belakang di tengah rimba raya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Stuntman dikomentari elit partai, ramai diberitkan, mengisi obrolan di grup aplikasi perpesanan, berulangkali muncul di beranda facebook, di-tweet oleh Jokowi, dan sebagainya. Sedang Satumin, tak lain hanya nama asing bagi penduduk media sosial. Ia sepi pemberitaan. Ia sulit ditemukan di mesin pencarian. Dan pastinya, ia tidak muncul di laman media sosial Jokowi maupun lawan politiknya.
Begitulah abad informasi-teknologi berjalan hari ini. Suatu hal dianggap teramat penting hanya karena ia gempita dibicarakan di ruang-ruang virtual. Saban hari, realitas-realitas artifisial direproduksi, diolah, dimainkan, dan dijejalkan melalui panggung media sosial. Tidak peduli seberapa berguna dan dibutuhkannya informasi, konten, atau pesan yang diproduksi itu oleh publik.
Bentuk-bentuk tindakan di dunia nyata dikondisikan dan direkayasa agar menjadi menu siap saji yang disorotkan melalui imperium virtual. Viral-viral baru pun muncul setiap hari. Dengan mudah ia hadir di ruang kerja, ruang keluarga, warung kopi, meja redaksi, ruang kelas, dan sebagainya. Ia melintas batas. Tak peduli desa maupun kota. Tak memperhatikan usia. Siapapun, seakan diarahkan untuk mengonsumsinya.
Realitas-realitas virtual ini kemudian mengooptasi realitas keseharian itu sendiri. Ia menggeser kenyataan yang ada di sekitar kita. Ia menggerakkan dunia nyata. Apa-apa yang populer, viral, atau mendominasi diskursus di dunia maya, kemudian mendominasi kesadaran publik. Tanpa sadar publik mencecapnya lalu meresponnya dengan beragam reaksi.
Sama halnya dengan stuntman dan Satumin. Stuntman viral, populer dan diperbincangkan. Satumin tidak. Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan, siapa itu Satumin? Kenapa ia tidak dikomentari elit partai seperti halnya soal stuntman?
Baiklah, Satumin merupakan Petani asal Banyuwangi. Ia tidak sedang bermain peran atau menggunakan jasa stutman. Ia seperti halnya petani kebanyakan. Menjalani hidup demi mempertahankan hidup di tengah iklim dunia yang penuh resiko dan persaingan. Atas izin perhutani, ia menanami hutan produksi milik Perhutani sejak 1995.
Di atas lahan itu, Satumin menggantungkan hidup dengan bertani macam-macam tanaman secara bergantian. Mulai jahe, lombok, sampai buah-buahan. Ia punya andil menghijaukan lahan perhutani yang gundul. Satumin diperbolehkan memanen buahnya, tapi tidak boleh merusak pohonnya. Di sela-sela tanamannya. Ia juga menanam tumbuhan berbatang keras. Seperti mahoni dan jengkol.
Pada Januari 2018 Satumin ditangkap polisi hutan. Ia dituduh merusak hutan lindung, dituduh menanam tanpa seizin Menteri Kehutanan. Selain itu, ia juga dianggap bersalah karena tidak menanam jenis tanaman keras.
Upaya mediasi yang coba ditempuh ditolak oleh pihak Perhutani. Satumin akhirnya ditahan hingga hari ini. Penangguhan penahanan yang diusahakan oleh LBH Surabya juga belum dikabulkan. Padahal, Satumin merupakan tulang punggung keluarga. Anaknya yang masih berusia 4,5 tahun jatuh sakit dan butuh sosok ayah di sampingnya. Dalam kasus Satumin, kalimat: “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”, ada benarnya.
Pada tahun 2016, Publish What Your Pay (PWYP) Indonesia menyebut ada 6,3 juta hektare kawasan hutan lindung dan konservasi yang ternyata dijadikan area pertambangan. Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah, menyebut bahwa hal ini akibat kongkalikong antara pejabat dengan pengusaha dan juga tumpang tindihnya kebijakan.
Tidak jauh dari Satumin, kawasan hutan lindung seluas 9.743,28 ha yang terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran Banyuwangi, diusulkan berubah fungsi menjadi Hutan Produksi Tetap (HPT). Bupati Abdullah Azwar Anas mengusulkannya pada 2012. Berdasarkan usulan ini, Menteri Kehutanan, saat itu Zulkifli Hasan mengabulkan sekitar 1.942 ha. Hutan lindung pun berubah menjadi HPT yang kemudian dikonsesikan kepada pertambangan emas milik PT. BSI.
Wajah kesedihan Satumin di balik jeruji penjara, adalah wajah ketimpangan penguasaan hutan dan lahan. Sebagaimana dilansir detikNews, April 2018, Menteri LHK merilis data ketimpangan penguasaan hutan. Menurut data itu, sampai 2017 pelepasan hutan untuk pihak swasta (perusahaan) mencapai luas 6.689.996 hektare. Sedangkan pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat, hanya seluas 926.072 hektare saja. Artinya, 2017 sebanyak 95,76 persen kawasan hutan dikuasai perusahaan swasta dan masyarakat hanya mendapat 4,14 persen saja.
Sayangnya, Satumin bukanlah pengusaha berkantong tebal yang kuasa melakukan apa saja di negeri ini. Ia hanyalah salah satu dari ratusan ribu petani di kawasan hutan yang aksesnya terhadap hutan amat terbatas. Ia tidak mengubah fungsi hutan lindung itu menjadi tambang. Satumin sekadar bertani untuk menyambung hidupnya. Tanpa lahan yang cukup, tak mungkin seorang Satumin dapat bertani untuk menghidupi keluarga. Itu saja ia masih harus mendekam di penjara.
Tapi mengapa ia tidak viral dan beroleh perhatian yang layak?

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] atau bahkan maskulinitas beracun. Dua contohnya yang berkaitan dengan pilpres adalah ketika Pak Jokowi mengatakan “menabok PKI” dan Pak Prabowo mengatakan “laki-laki minum kopi.” Semoga kita […]