
Terakota.id—Sebuah konser musik digelar di Gelanggang Olah Raga (GOR) Pulosari Malang pada medio 1977. Konser tunggal seorang musisi bernama Leo Imam Sukarno atau yang akrab dikenal Leo Kristi. Konser digelar setahun setelah meluncurkan album Nyanyian Malam. Sebelum pementasan, Leo Kristi meminta panitia menyediakan sebuah piano akustik dan angklung.
“Seharian berburu piano akustik, ternyata saat konser tak dimainkan. Hanya jadi hiasan,” kata Ketua Museum Musik Indonesia (MMI), Hengki Herwanto dalam Resonansia Karya Leo Kristi di Wisma Kalimetro, 1 Juni 2017. Hengki saat itu menjadi promotor konser sekaligus jurnalis majalah aktuil, sebuah majalah musik berbasis di Jakarta.
MMI, katanya, menyimpan sebagian besar album dari 12 album karya Leo Kristi. Menurutnya, Leo Kristi menebar cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lagu karya Leo Kristi, katanya, mengandung keberagaman. “Setiap lagu ada potongan lagu-lagu nasional. Lintas agama, mengandung unsur etnik mulai Sabang sampai Merauke,” ujarnya.
Sambutan Ketua MMI ini membuka acara Resonansia Karya Leo Kristi, mengenang musisi yang meninggal 21 Mei 2017 sekaligus memperingati hari lahir Pancasila. Acara dimulai dengan mengheningkan cipta, diiringi dengan instrumen gugur tahun. Dilanjutkan pemutaran film dokumenter Leo Kristi dalam perjalanan menyelesaikan album Hitam Putih Orche.
Dilanjutkan Refleksi menghadirkan budayawan sekaligus guru besar sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, Djoko Saryono dan sastrawan dan akademisi Universitas Brawijaya Malang, Yusri Fajar. Refleksi dipandu Kristanto Budiprabowo dari Gusdurian Jawa Timur. Profesor Djoko mengaku ketemu, bergaul dan mengamati Leo Kristi secara intensif saat mengerjakan buku puitika biografi Leo Kristi.
Leo Kristi Sosok yang Humanis

Djoko menyusun buku puisi biografi itu berefleksi terhadap sosok Leo Kristi. Dari pergulatan mulai pagi sampai malam, Djoko memperhatikan Leo Kristi merupakan seorang yang humanis. Dia mengobrol dalam suasana humanis yang tidak selesai di kebudayaan tapi spiritual. “Jauh melangit ke atas. Ciri humanitas langka,” katanya.
Leo, katanya, menjelajah jauh sebagai bukti sosok humanis. Menghadang tank-tank saat perang Teluk, katanya, bukan karena gagah-gagahan tetapi karena kemanusiaan yang harus dibela. Leo mengendong anaknya dengan penuh kasih, dengan ikut berkelana. “Leo Kristi seorang yang universal,” ujarnya.
Dia menceritakan pada peristiwa pergolakan 1965, Leo Kristi tak menampakkan diri. Bukan karena takut, katanya, tetapi menjaga jarak. Dia merasakan kemanusiaannya terluka, karena teman-temannya berada di kedua kelompok yang saling bunuh.
Pada 1970-an, Leo Kristi sebagai petualang dan pecinta alam menggelar pertemuan pecinta alam di Ranu Pani, lereng Gunung Semeru. Saat itu, Leo Kristi telah berinteraksi dengan Suku Tengger, yang saat itu menjadi suku yang terisolasi dan tak banyak berinteraksi dengan masyarakat luar.
Leo, katanya, melihat alam sudah puitik dan musikal. Dia lantas menangkap dan mengartikulasikan dalam lirik dan musik. Kekaguman terhadap alam terpancar dalam setiap karyanya. “Leo menulis lirik lebih dulu, itu puisi. Dia banyak lagu tanpa lirik. Puluhan. Sebagian lagu dibawa mati,” ujarnya.
Menurut Djoko, Leo Kristi mengamati setiap gejala alam dengan jeli. Mulai sedih hingga gembira. Dia juga seorang pencatat dan penikmat yang baik. Menyuling, disarikan, diperas sehingga keluar karya seni, Leo juga melukis. Djoko menemukan keserasian Leo Kristi dalam tiga hal, musik, puisi dan lukis.
“Leo Kristi juga berkelana, menulis lagu seperti etnografer bekerja. Pengamatan diungkapkan dalam nada dan melodi. Ada melodi dan diksi.”
Menghadirkan Puitika yang Lugas

Sastrawan dan pengajar sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang Yusri Fajar mengaku lirik lagu Leo Kristi memiliki nilai kesasatraan yang kuat. Dia telah melacak dan meneliti. Sejumlah peneliti sastra juga telah mengangkat lirik Leo Kristi. Seperti yang dilakukan mahasiswa sastra Universitas Indonesia.
Menurutnya sejak 2012 pecinta sastra mendiskusikan mengenai lirik lagu dalam karya sastra. Musisi Bob Dylan mendapat Nobel Sastra. Menurut komite sastra Bob Dylan telah melahirkan karya ekspresi yang puitik. Sementara sebagian dosen sastra menganggap lirik lagu bukan puisi. Seperti seorang dosen di Universitas Airlangga Surabaya menyebut puisi dan lirik berbeda. Menjadi perdebatan.
“Lirik lagu Leo sangat puitik yang melebihi penyair Indonesia,” kata Yusri menirukan komentar dalam statusnya di media sosial atas karya Leo Kristi. Lirik Leo Kristi memiliki kekuatan puitik, struktur dan isinya. Yusri mengaku terkesan dengan lirik Leo Kristi sebagai pencipta lagu menghadirkan puitika yang lugas.
“Leo tak terbebani struktur Rima yang kaku. Mengalir begitu saja. Dia tak menimbang diksi. Mengalir saja. Aspek kebahasaan bunyi yang menarik, dia keluar dari itu,” ujarnya. Lirik lagunya memiliki kekuatan puitik, sebuah karya sastra yang menyampaikan pesan implisit, metafora, dan personifikasi.
Seperti lirik lagu berjudul catur paramita menghadirkan metafora dengan kompetensi yang memadai, bahasa majas sehingga menjadi lirik lagu yang kuat. Dari aspek isi, abstraksi lirik yang dibaca terdapat berbagai baris bait yang memilik spiritual, dan religius. “Lagu nyanyian malam. Relasi hamba dengan Tuhannya.”
Setiap lirik Leo Kristi memiliki kekuatan kritik sosial yang tajam. Meski tak meledak-ledak seperti lirik lagu berjudul salam dari desa. Leo Kristi cemas dengan penguasaan lahan pertanian yang dikuasi segelintir orang, sementara petani tak punya kuasa.
Sejumlah seniman dan musisi juga turut merespon karya Leo Kristi dengan menggelar pertunjukan. Seniman Swandayani dan Natalini Widhiasi (Lini), putri penulis lagu Bludru Sentera Dusunku, Tedja Suminar berkolaborasi dengan Wayang Wolak Walik, Jumaali. Mereka berkolaborasi, dengan musik, puisi, gerak tari dan wayang.

Jalan, baca dan makan
[…] Lirik Leo Kristi, Puitika yang Lugas […]