Ilustrasi : Thinglink.com
Iklan terakota

Terakota.id–Sebanyak 223 orang muda mendeklarasikan manifesto Manifesto Orang Muda Indonesia untuk Perubahan Iklim dalam Youth Virtual Conference #UntukmuBumiku pada 6 Juni 2021. Deklarasi merupakan acara puncak diskusi di ruang virtual selama sepekan yang digerakkan para inspirator dan peserta semangat untuk mengatasi perubahan iklim.

Acara yang digawangi Tempo Media Group diikuti peserta berusia 17 sampai 24 tahun, terdiri atas pelajar SMA hingga mahasiswa. Para peserta mengajak dalam keseharian mulai dari diri sendiri, tidak memakai plastik sekali pakai, mengadaptasi spirit jagawana yang setia dan tangguh menjaga hutan. Serta berani mengambil sikap dan tindakan sekecil apa pun, demi kepentingan masyarakat dan bumi.

Berikut penggalan Manifesto Orang Muda Indonesia untuk Perubahan Iklim, “kami adalah bagian dari solusi terhadap tantangan perubahan iklim. Kami adalah bagian dari solusi ketimpangan sosial ekonomi yang melebar. Dengarkan kami. Berjalan bersama kami. Duduklah bersama kami. Bertukar pikiran dengan kami, bersama daya kreativitas kami, dengan musik, film, menulis, dengan passion kita sendiri dan memperkaya dengan berjejaring dengan berbagai kalangan.”

Sebanyak lima inspirator yang memiliki rekam jejak dalam menjaga bumi agar lestari. Salah satu inspirator, Rara Sekar memandang manifesto menjadi pondasi penting untuk bergerak lebih cepat lagi dalam merespon kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam yang terus dilanggengkan sistem ekonomi. “Semoga menjadi penyemangat anak muda untuk bersolidaritas, berkolektif, dan bekerja sama mencapai keadilan iklim,” katanya dalam siaran pers yang diterima Terakota.id.

Rara Sekar

Musisi, Antropolog Budaya, Aktivis Lingkungan Hidup

Foto : Tempo

Sejak 2016 Rara aktif menyuarakan isu lingkungan dan mempraktikkan berbagai kegiatan ramah lingkungan, terutama berkebun. Berkebun bagi Rara membuka pintu kepedulian yang lebih besar terhadap lingkungan. “Merawat tanah berarti merawat lingkungan, sekaligus merawat ekosistem yang tumbuh dan tergantung pada tanah, termasuk manusia,” kata Rara.

Rara juga kampanye mengolah sampah organik menjadi kompos dan menggunakan  langsung di dua kebun keluarga. Musisi yang sempat menjadi bagian dari grup musik Banda Neira ini memandang, manusia yang tinggal di kota seperti dirinya sendiri sudah tercerabut dari hubungan dengan alam. Sehingga, aksi menanam sesederhana apa pun, dapat menjadi salah satu cara untuk mengembalikan lagi hubungan yang sudah rapuh dengan alam.

“Bisa menanam di pot, memanfaatkan rooftop, dan bisa juga mengerjakan secara kolektif bersama tetangga,” ujarnya.

Sebagai musisi, Rara juga rajin menciptakan lagu yang terinspirasi dari pengalamannya berkebun. Antara lain lagu berjudul Kebun Terakhir. Sedangkan dalam album terbarunya, Kenduri, baru dirilis 7 Juni 2021. “Nanti akan ada rangkaian karya yang menjadi karya komplementer dari album musik yang berbasis penelitianku terhadap petani muda di Jawa,” katanya.

Rara bersama suaminya, Ben bergerak di bidang pendidikan kritis. Mereka memperluas pengetahuan agar bukan hanya menjadi pengetahuan pinggiran, melainkan juga pengetahuan arus utama. Khususnya tentang isu lingkungan yang berkelindan dengan isu pembangunan dan isu sosial. Rara kini menjadi mentor di Arkademy, sebuah kolektif fotografi yang berfokus pada pendidikan fotografi kritis dengan pendekatan interdisipliner.

Du Anyam

Pelaku Green Business Lewat Produk Anyaman

Perempuan perajin anyaman daun lontar di NTT. (Foto : Du Anyam).

Du Anyam berdiri sejak 2014, berhasil memberdayakan 1.200 perempuan di 50 desa di seluruh wilayah Indonesia, terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua. Du Anyam juga melebarkan sayap hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Para perempuan membuat produk anyaman dan kerajinan tangan berkualitas tinggi dari tanaman lontar.

Menjalankan konsep green business melalui wirausaha sosial, Du Anyam berkembang menjadi penyedia suvenir bagi lebih dari 500 perusahaan lokal dan internasional. Ditunjuk sebagai merchandise resmi Asian Games 2018. Green business berarti bisnis yang mengakomodasi daya dukung lingkungan, tidak mengambil sumber daya alam lebih dari kemampuan regenerasinya.

“Sejauh ini belum pernah mengalami kekurangan bahan baku, karena pohon lontar tumbuh alami. Kami melakukan pemetaan ketersediaan daun lontar di desa dampingan kami melalui masyarakat penyedia bahan baku. Juga kampanye untuk tidak memotong tunas tanaman lontar yang tumbuh liar, sehingga anakan lontar bisa beregenerasi,” kata Project Manager Du Anyam Davit Manalu.

Dalam produksi, proses pewarnaan dan pengelolaan limbah pewarnaan dikerjakan sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Limbah ditangani dan dibuang di tempat yang tersedia. Du Anyam tidak menggunakan bahan kimia untuk pengawetan, melainkan menggunakan teknik penjemuran dan diredam air garam.

Komunitas Du Anyam di Kalimantan Selatan membuat buku cerita mengenai tanaman purun dan pentingnya menanam ulang purun serta menjaga lahan gambut. Juga turut berkampanye pelestarian lontar di desa dampingan di Flores Timur. Serta menanam ulang pohon lontar. “Saat ini kami sedang melakukan riset dan pemetaan pohon lontar di Flores Timur, dan mulai membangun kerja sama dengan beberapa organisasi yang dapat membantu kegiatan ini,” kata Davit.

Gede Robi ‘Navicula’

Petani, Musisi, Produser Film

Foto : Tempo

Navicula dikenal sebagai band grunge asal Bali yang yang menyuarakan isu sosial dan lingkungan. Ada lagu Di Rimba dan Orang Utan. Vokalis,  Robi mengaku prihatin terhadap masalah lingkungan. Saat kuliah, ia aktif menjadi sukarelawan di sejumlah organisasi sosial dan perjalanan sebagai sukarelawan merupakan proses belajar baginya.

Film dokumenter Pulau Plastik,  yang dibintangi dan digagasnya, tayang di bioskop komersial. Film mengisahkan keprihatinan akan isu mikroplastik di lautan lepas. “Saya percaya, media populer bisa lebih mudah menjangkau anak muda. Bercermin dari pengalaman saya pribadi, saya sangat terpengaruh oleh apa yang saya dengar (musik) dan saya tonton (film). Saya yakin, ada orang-orang di luar sana yang sama seperti saya,” katanya.

Robi menjadi petani kopi karena lahir dari keluarga petani dan pemilik lahan. Ia meneruskan dan melestarikan budaya bertani karena menurutnya kini menjadi suatu ‘kemewahan’. Namun ia tak berusaha membujuk publik untuk ikut menjadi petani. “Saya lebih tertarik untuk memberi contoh kepada orang-orang sekitar. Be simple, be sample. Kenapa organik? Karena, selaras alam. Selaras alam adalah meniru cara alam bekerja secara alami,’ katanya.

Hasilnya, kata Robi, bukan hnaya bagus untuk diri pribadi dan keluarga, tapi untuk semua. Termasuk ekosistem dan masa depan. Ia percaya, jika orang lain akan ikut mewujudkannya hal serupa.  Robi, yang sempat mengajar pertanian organik di beberapa sekolah.

Robi yang sempat mewakili Indonesia dalam forum Asia 21 Young Leader ini akan melanjutkan dan mengembangkan hal yang sudah pernah ia kerjakan sebelumnya. Yakni seputar memberdayakan media seni musik dan film, edukasi, dan memelihara kebun di kampung untuk ruang kreasi, pendidikan keluarga, sekaligus benteng pertahanan dan kedaulatan.

Kynan Tegar

Filmmaker dan fotografer

Foto : Tempo

Pemuda adat sekaligus siswa homeschooling berusia 16 tahun menjadi pembicara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Pemuda PBB pada September 2019. Di depan ratusan orang muda yang peduli tentang masyarakat adat, Kynan berkisah tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Iban yang tinggal di Sungai Utik, Kalimantan Barat.

Film dokumenter pertamanya yang berjudul Maali Umai juga diputar pada acara Bali International Indigenous Festival 2019. Melalui film dokumenter, Kynan memperlihatkan tradisi dan ritual yang diwariskan leluhurnya dalam menjaga alam. “Tanah ini adalah ibu kami, hutan ini adalah bapak kami, sungai ini adalah darah kami. Kalau ada orang mencemari sungai, artinya ia juga mencemari darah kami,” kata Kynan.

Ia mengaku kekaguman nilai kehidupan luhur yang dipertahankan masyarakat adat. Meski berburu rusa dan babi hutan sebagai bahan makanan, mengambil kayu dari hutan, dan mendapatkan air bersih dari sungai tetapi mereka mengambil secukupnya. Tidak berlebihan, agar ekosistem tetap terjaga. Kini, masyarakat adat juga harus menjaga kampung dari penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk kelapa sawit.

Kynan, kini tergabung dalam If Not Us Then Who, suatu lembaga donasi di Amerika Serikat yang mendukung kampanye kepedulian global tentang peran masyarakat adat dalam melindungi bumi.

 Alfira ‘Abex’ Naftaly

Eco Traveler dan Travel Blogger

Foto : Tempo

Kecintaan Abex terhadap lingkungan ditunjukkannya dengan menjelajah alam dan mendaki gunung. Mendaki gunung tertinggi di Indonesia, juga bertualang menjelajahi Himalaya dan sebagainya. Kala berpetuang, ia melihat dampak besar aktivitas traveling terhadap lingkungan, salah satunya masalah sampah. Untuk itu, Abex mengajak semua pihak turut menjaga bumi selagi traveling.

“Jika ingin membuat perubahan besar, mulailah dari satu langkah perubahan kecil. Pikirkan dampaknya bagi kehidupan anak-cucu kita,” kata Abex.