Aktivitas masyarakat menyangrai kopi di Trenggalak. (dok pribadi)
Iklan terakota

Oleh : Cokro Wibowo Sumarsono*

Kepulan asap rokok mengiringi tiap cangkir kopi yang berjajar di atas deretan meja kayu coklat mengkilap. Menandakan bahwa para penikmat kopi di warung tersebut adalah para ahli hisap kretek. Rokok racikan yang terus disudutkan oleh industrialisasi rokok putih. Dengan ditemani oleh kopi yang tersaji dalam sebuah cangkir brundhul tanpa pegangan, mengaduk dan membersihkan ampas kopi yang mengambang merupakan suatu kenikmatan tersendiri, yang biasa dirasakan oleh kawula alit di sela-sela kesibukannya mencari nafkah.

Tetes demi tetes peluh yang membasahi kaos oblong akibat hawa panas yang menebar keluar dari tungku api kayu bakar mengiringi lepasnya penat dari sekujur tubuh. Menambah semangat obrolan para pelanggan yang betah berjam-jam duduk di atas lincak meskipun seruputan terakhir kopinya telah habis. Warung kopi berusia puluhan tahun ini menjelma menjadi sebuah legenda. Menjadi wahana pelepas penat, pusat informasi lokal dan jadi warung jujugan para perantau yang pulang ke kampung halaman. Pun, menjadi tempat bertemu para sahabat kecil yang telah berpisah lama. Titik temu semua lapisan masyarakat mulai dari para pengageng pangreh praja, priyayi dan wong cilik. Semua sepakat melepas atribut status sosialnya ketika menginjakkan kaki untuk ngopi di warung ini.

Obrolan demi obrolan mengalir tak terputus. Mulai dari soal sandang pangan, harga barang di pasar, perkembangan sosial kemasyarakatan hingga angka-angka per-togel-an. Situasi aktual di desa-desa sekitar juga tak luput dari perhatian. Mbah Kuwot, warung kopi di pojok perempatan Kelurahan Sumbergedong tersebut memiliki ribuan penggemar militan. Alumninya menyebar ke mana-mana, selalu merindukan suasana warung kopi yang penuh keakraban, murah meriah serta menyatu dengan tungku penggorengan.

Sejarah mencatat bahwa di warung ini pernah menjadi markas besar simpul gerakan massa lokal yang menginginkan perubahan akibat hegemoni penguasa Orde Baru pada era 1990 an. Menjadi titik kumpul guna membahas perkembangan politik nasional yang cepat berubah pada masa itu. Warung kopi legendaris tersebut kini dikelola secara bergilir oleh generasi ketiga kerabat dekat Mbah Kuwot. Tetap bertahan meskipun warung-warung kopi dan kafe-kafe lainnya bermunculan. Tetap setia menyajikan kopi giling di tengah maraknya industri kopi gunting (kopi sachet) di pasaran.

Seorang pelanggan bisa beberapa kali ngopi di warung ini dalam seharinya. Pagi hari sebagai pembuka mata sebelum berangkat kerja, siang hari sebagai pelepas penat sepulang kerja dan malam hari sebagai wahana refleksi antar kawan, setelah hajat selametan di lingkungan sekitar. Bau khas kopi yang keluar dari tungku penggorengan bercampur dengan peluh keringat para pelanggan yang disertai dengan kepulan asap kretek membentuk suasana damai tenang yang sejenak telah melupakan pelanggan dari banyak tekanan, melupakan jalan-jalan yang penuh lubang, tagihan para penarik hutang serta banjir bandang yang baru saja menerjang.

Cokro Wibowo Sumarsono, pimpinan Padepokan Glugu Tinatar (dok pribadi)

Tempat ini bukan sekedar warung kopi, namun juga sebuah wahana diskusi yang penuh sumber inspirasi. Tercatat apik dalam lembaran sejarah ingatan warga yang penuh dengan romansa perjuangan. Rapuhnya ikatan silaturahmi akibat makin maraknya media sosial tidak berlaku di warung kopi ini, semua bicara dengan berhadapan, saling tegur sapa dan melempar tawa, tidak jam demi jam bicara dengan gadget seperti orang gila.

Perkembangan aktual level kabupaten dapat dibaca dari warung kopi ini. Karena di tiap cangkir kopi ada denyut kehidupan yang sebenarnya. Bukan denyut kehidupan yang selalu bergantung pada sistem penunjukan langsung maupun sistem lelang guna menghabiskan anggaran lembar demi lembar.

Salam kopi giling, bukan kopi gunting.

Jerukgulung, Bendungan-Trenggalek

*Penulis merupakan Ketua Umum GARDA SANDI (Gerakan Pemuda Desa Mandiri) dan Pimpinan Padepokan Glugu Tinatar.