Ilustrasi : Shutterstock/ Rani Restu Irianti
Iklan terakota

Terakota.idBerlebaran tak bisa dilepaskan dengan ketupat. Saat merayakan Idulfitri ketupat menjadi menu utama di meja makan. Sedangkan di Jawa, ketupat disajikan sepekan setelah lebaran. Masyarakat Jawa mengenal riyaya atau hari raya lebaran dan riyaya kupat atau ketupat sepekan setelah lebaran.

Sajian ketupat saat lebaran menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Pegiat budaya dan pemuka agama Muhammad Sholehhuddin menjelaskan ketupat merupakan tradisi makanan di Jawa. Sunan Kalijaga yang pertama memperkenalkan ketupat. Ketupat menjadi simbol yang mudah dipahami masyarakat Jawa.

“Terutama bagi masyarakat yang semula memeluk agama Hindu dan Budha dan kemudian memeluk agama Islam,” katanya. Dalam filosofi Jawa ketupat menjadi sajian pelengkap untuk memetren atau petrenan. Selain ketupat juga tersaji lepet dan apem.

Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari ngaku lepat yang artinya mengakui kesalahan. Sedangkan lepet artinnya salah luput, sehingga jangan sampai orang lain melihat kesalahan kita.

Ketupat berbahan dasar beras  dibungkus dengan anyaman daun kelapa yang muda atau janur. Janur maknanya “sejatine nur” atau cahaya sejati. Ada dua bentuk utama ketupat yaitu  bersudut tujuh dan jajaran genjang bersudut enam. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat dipilih janur yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.

Ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pasisir. Sejarawan Belanda H. J. de Graaf, dalam Malay Annal of Semarang and Chrebon menyebut ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Saat Raden Fatah berkuasa. Secara antropologis, kata De Graaf, ketupat berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran.

*Reporter magang Terakota.id dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang