Lamun Sira Sekti, Aja Mateni

Iklan terakota

Terakota.id–Lamun sira sekti, aja mateni. Demikian pepatah jawa yang dikutip Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan diunggah ke akun media sosialnya, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram, Sabtu (20/7/2019). Pepatah Jawa itu ditampilkan dalam sebuah gambar bergerak berlatar belakang warna coklat yang menunjukkan adanya tokoh pewayangan sedang memberikan padi ke sosok petani.

Ungkapan yang dikutip Presiden Jokowi itu adalah salah satu pepatah Jawa. Lamun sira sekti, aja mateni bisa diartikan meski Anda sakti, jangan membunuh. Bila diartikan dengan makna lain bisa berarti jangan mentang-mentang punya kuasa lantas bisa bertindak semena-mena menggunakan kekuasaan itu, termasuk untuk mematikan orang lain. Kesaktian itu idealnya untuk menumpas kejahatan, bukan untuk membinasakan yang tak jahat.

Banyak ungkapan Jawa yang sangat bijak dan bisa menjadi nasihat dalam kehidupan. Tak sedikit pepatah Jawa yang cocok digunakan dalam pengaturan kehidupan politik. Apa yang dikutip Presiden Jokowi sangat relevan dengan kondisi perpolitikan tanah air saat ini. Saat dimana para penguasa sedang membagi-bagi kekuasaannya dan para pengemis kekuasaan sedang menempuh segala cara agar bisa ikut mencicipi kekuasaan itu.

Orang-Orang Sakti

Orang sakti itu bisa banyak macamnya. Makna kata sakti atau sekti juga beragam. Sakti bisa diterjemahkan sebagai hebat, berkuasa, berpengaruh, perkasa, gak tedas tapak palune pande. Orang menjadi sakti itu bisa karena banyak sebab. Ada yang sakti karena kekayaannya, sakti sebab kekuasaannya, kedudukannya, jabatannya, ilmunya, pengaruhnya, dan sejumlah sebab lain.

Orang-orang sakti memang bisa berbuat apa saja. Mereka bisa memerintah dan mengatur orang di bawah kekuasaannya. Karena kesaktiannya pula orang bisa membuat orang lain tunduk dan patuh, nurut dan manut. Orang-orang sakti tak jarang menjadikan orang-orang lemah sebagai obyek dalam unjuk aksi kesaktiannya. Si lemah biasanya tak banyak punya pilihan, mereka hanya bisa pasrah dan mengalah.

Manusia-manusia sakti itu benar-benar ada di sekitar kita. Sosok sakti tak hanya ada dalam dongeng dan cerita-cerita khayalan. Orang sakti bukanlah tokoh fiktif belaka. Namun, si sakti itu bisa berwujud para elit politik, presiden, menteri, wakil rakyat, gubernur, walikota, bupati, camat, kepala desa, ketua RW, ketua RT, pemimpin partai, kiai, ustad, profesor, para pesohor, figur publik, dan para influencer yang kini bermunculan di media sosial.

lamun-sira-sekti-aja-mateni
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas di kantor Presiden, 16 Juli 2019. (Foto : Biro Pers dan Sekretariat Presiden).

Orang sakti itu secara fisik tak harus berbadan besar, kekar, dan berotot. Si sakti juga tak mesti orang yang bisa kebal bila di tusuk belati. Orang sakti tak selalu seperti para pemain debus yang bisa membacok tubuhnya dengan parang tajam tanpa menyisakan luka. Orang sakti bisa saja orang yang kurus dan kecil. Secara fisik tak tampak sebagai sosok perkasa. Sosok sakti tak selalu serupa dengan tokoh-tokoh perkasa yang digambarkan dalam cerita-cerita silat dan film laga.

Orang-orang sakti biasanya dikelilingi oleh orang-orang hebat pula. Bahkan tak jarang si sakti bisa disetir oleh orang yang berada disekelilingnya itu. Bisa jadi justru orang-orang yang di sekeliling orang sakti itulah yang sejatinya menjadi orang yang lebih sakti. Orang-orang sakti itu juga tak jarang dapat bisikan dari orang-orang disekelilingnya. Beragam bisikan itu tak jarang jadi pertimbangan si sakti dalam beraksi.

Ojo Dumeh

Ojo dumeh atau jangan mentang-mentang. Ini juga falsafah Jawa yang bisa nyambung untuk membedah bagaimana orang yang sakti atau berkuasa itu seharusnya bertindak. Jangan mentang-mentang sakti lantas bisa semaunya sendiri. Menjalankan kekuasaan idealnya tak aji mumpung. Mumpung lagi berkuasa, kalau tak sekarang kapan lagi memanfaatkan kekuasaan itu. Kekuasaan itu sejatinya amanah, buka sarana untuk melegitimasi sikap semau gue.

Beberapa ungkapan Jawa sangat relevan dengan kepemimpinan politik. Pitutur luhur Jawa merupakan ajaran moral, kearifan, dan kebijakan yang telah teruji zaman. Yahya Muhaimin menyebut budaya dan falsafah Jawa lebih mengutamakan keharmonisan dan kedinamisan. Kondisi inilah yang menjadikan budaya Jawa bisa diterima oleh budaya non Jawa karena universalitas nilai-nilai yang dibawanya seperti terlihat dalam sejumlah falsafah luhur Jawa.

Menurut Aristides Katopo, tak dapat dimungkiri bahwa budaya Jawa banyak memengaruhi pembentukan budaya politik nasional. Bukan sekedar kekuasaan negeri ini yang dikendalikan oleh etnis Jawa, namun struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa. Hal ini terjadi karena secara kuantitas etnis Jawa jumlahnya sangat besar. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat etnis lain bisa menyesuaikan diri dengan budaya Jawa.

Munculnya beberapa falsafah Jawa yang dinarasikan Presiden Jokowi selama ini bisa diterima oleh banyak kalangan yang berbeda etnis. Namun, yang lebih utama adalah bukan sekedar bagaimana falsafah-falsafah luhur itu tak hanya jadi narasi hampa. Jangan pula mentang-mentang sang presiden dari etnis Jawa lantas menihilkan falsafah bijak dari etnis dan budaya lain. Itu ojo dumeh namanya.

Sosok pemimpin yang sejatinya dirindukan rakyat adalah mereka yang bisa seperti padi. Padi itu makin tua, makin merunduk. Makin berkuasa seseorang idealnya makin merendah dan bijaksana. Maka siapapun yang sedang punya kuasa dan kesaktian janganlah ojo dumeh. Jangan mentang-mentang punya kuasa lantas digunakan untuk mematikan yang lain (lamun sira sekti, aja mateni).

Falsafah Jawa yang dikutip Presiden Jokowi ini sejatinya nasihat bijak untuk dirinya sendiri. Karena seorang presiden adalah orang yang sakti karena kekuasaannya. Seperti halnya para pengotbah di masjid, beliau selalu mengajak kebajikan kepada para jamaahnya yang sekaligus mengajak dirinya sendiri terlebih dahulu. Semoga falsafah luhur lamun sira sekti, aja mateni itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. (*)

*). Penulis Adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.