
Terakota.id—Lagu berjudul Hari Lebaran karya Ismail Marzuki kerap dilantunkan dan dibagikan di media sosial saat perayaan Idulfitri. Lagu ini juga banyak didaurulang oleh sejumlah musisi tanah air. Seniman Malaysia, P. Ramlee pada 1977 menyanyikannya dan menyesuaikan lirik dengan bahasa Melayu yang diciptakan 1950-an.
Seperti dilansir Historia, peneliti dan pengamat musik Michael Haryo Bagus Raditya menjelaskan lagu Hari Lebaran memadukan unsur jazz dan Melayu. “Lagu itu bisa masuk tiga nuansa sekaligus, yakni religi, kritik, dan hiburan. Tiga tarikan ini yang membuat lagu tersebut ‘terjaga’,” kata Michae.
Lagu ini awalnya dinyanyikan Didi dengan iringan orkes Lima Seirama, direkam di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1952. Ninok Leksono dalam buku Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman, menulis Ismail menciptakan lagu bergaya sketsa. Dalam perspektif sejarah bisa memberi gambaran tentang apa yang pernah terjadi pada masa itu.
“Satu poin pada lirik lagu ini relevan dengan masa kini adalah ‘korupsi jangan kerjain.’ Ismail tampak punya obsesi khusus pada pemberantasan korupsi, yang di masa itu pun rupanya sudah ada dan ia pandang sebagai praktik jahat yang harus dibasmi,” tulis Ninok dalam Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman.
Sindiran perilaku korupsi itu Ismail sematkan di baris terakhir lagunya:
“Lan taun hidup prihatin.
Kondangan boleh kurangin.
Korupsi jangan kerjain.”
Masalah korupsi pada awal 1950-an, disinggung Firman Basuki dalam bukunya Jakarta 1950-an. Dia menulis, para pejabat diberitakan suratkabar melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan hingga permulaan 1958.
“Pada 1950-an, sogok-menyogok dan suap-menyuap sudah ada di Jakarta. Juga. terkenal para pokrol (pengacara) yang berkeliaran di kantor pengadilan, menjual jasanya untuk membantu mengurus perkara,” tulis Firman dalam Jakarta 1950-an.
Selain perihal korupsi, Ismail pun menyindir sejumlah perilaku masyarakat yang berlebihan menyambut hari kemenangan. Sang komposer menyindir perilaku hura-hura orang desa dan kota:
“Dari segala penjuru mengalir ke kota.
Rakyat desa berpakaian gres serba indah.
Setahun sekali naik trem listrik pere.
Hilir mudik jalan kaki pincang hingga sore.
Akibatnya tenteng selop sepatu teropeh.
Kakinya pada lecet babak belur berabe.”
“Cara orang kota berlebaran lain lagi.
Kesempatan ini dipakai buat berjudi.
Sehari semalam maen ceki mabuk brendy.
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri.
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate.
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri.”
Ismail Marzuki menyindir soal orang desa dan kota. Terjadi kesenjangan sosial yang lebar di Jakarta pada 1950-an. Istilah ada orang gedongan dan orang kampung. Orang gedongan mereka yang berdomisili di rumah peninggalan Belanda, seperti di Menteng, Gondangdia, Gambir, Petojo, Salemba, Matraman, Jatinegara, dan Kebayoran Baru.
Sedangkan yang disebut orang kampung adalah mereka yang tinggal di perkampungan, yaitu permukiman yang pembangunannya tidak direncanakan. Rumah tinggal mereka sangat sederhana, terbuat dari gedek, bambu, atau papan.
Beberapa kampung sekitar Menteng, yakni kampung Kali Pasir, kampung sekitar Gang Ampiun, kampung Salemba, kampung Utan Kayu, kampung Menteng Atas, kampung Pedurenan, kampung Setiabudi, dan lain-lain. Ismail menangkap perilaku dan situasi kota kelahirannya saat lebaran.
Namun Michael tak bisa memastikan mengapa lirik lagu yang sarat sindiran sosial dihilangkan ketika diaransemen ulang para musisi. Terutama semasa Orde Baru. “Kemungkinan untuk kebutuhan lagu Idulfitri, jadi lirik tadi kurang pas jika disematkan,’ katanya.

Jalan, baca dan makan
artikel semestinya seperti berikut, artikel itu harus dtulis sesuai asli nya, apa yang ada, mudah-mudahan artkel ini dapat alami perkembangan supaya pembaca lainnya turut dapat mengerti yang sebenarmya, bila ada artikel yang sama baiknya ini, tolong kasih tahu saya