Kusumawarddhani, Putri Mahkota Majapahit Penguasa Nagari Kabalan

Ilustrasi raja kelima Majapahit Wikramawarddhana dan Kusumawarddhani. (Sumber : Dictio.id).
Iklan terakota

OLeh : M. Dwi Cahyono*

Penggal Sejarah Para Raja
Terakota.id
–Sejarah sebagai “kisah para pembesar masa lampau” menjadikan historiografi dipenuhi oleh deret pajang kisah para raja, keluarga istana dan para pembesar kerajaan. Mereka ditampilkan sebagai aktor-aktor utama di panggung Sejarah Nusantara Lama. Prasasti, susastra kuno, arca perwujudan, penddharman, dsb tak terelakkan menjadi “media rekam’ kehidupan lingkungan dalam keraton. Kisah sejarah “luar keraton”, kalaupun ada, tak sebanyak “sejarah dalam keraton”.

Prasasti sebagai maklumat resmi (charter) kerajaan jelas bersifat “istana sentris”. Begitu pula halnya dengan sebagian besar susastra kuno. Misalnya, sesuai dengan namanya, yakni “Pararaton — para-ratu-an”, didalamnya memuat banyak hal mengenai raja-raja di kerajaan Singhasari dan Majapahit. Demikian pula kakawin Nagarakretagama, yang hadir menyerupai sebuah reportase sejarah keperintahan semasa Hayam Wuruk. Adapun penddharman adalah bangunan suci, padamana arwah raja atau pejabat tinggi kerajaan dipuja dengan media puja-luar (arcana) yang berupa arca perwujudan.

Oleh karena itu, bisa dipahami bila “catatan” sejarah para elit tersedia cukup berlimpah di dalamnya. Sementara data sejarah kerakyatan musti dikais dari siratan-siratan berita dalam beragam sumber informasi masa lalu, yang nota bene terbatas jumlahnya. Maka akibatnya, historiografi Nusantara Lama cenderung hadir sebagai sejarah yang bersifat “keraton sentris”.

Tulisan ini adalah salah satu contoh tentang historiografi tentang elit sejarah, dengan mengangkat Kusumawarddhani sebagai aktor sejarahnya. Latar kesejarahan darinya adalah Era Keemasan Majapahit. Dikatakan demikian karena ia adalah: (a) putri mahkota Maharaja Hayam Wuruk, (b) stri (istri) Wikramawarddhana, yakni raja penggati Hayam Wuruk, dan (c) pernah melewatkan masa hidupnya sebagai battrara di (bhra i = bhre) negara vasal Kabalan semasa pemerintahan Hayam Wuruk.

Kendati tulisan ini banyak membicarakan tentang Kabalan sebagai nagari (negara vasal), namun telisik terhadapnya dilakulan surut ke belakang, yang akan membawa kita kepada Kabalon sebagai thani (desa) dari para udahagi (sentra perajin) logam mulia (mas) semasa Singhasari. Surut lebih ke belakang membawa pembaca kepada posisi gografis Kabalon di dalam lingkungan watak/watek Tugaran semenjak masa pemerintahan Sri Isana (Pu Sindok) di kerajaan Mataram yang berpusat di Timur Jawa (Sakarida Dwipajawa) pada abad X M.

Kabalan dari Desa Menjadi Nagari

Salah sebuah desa di sub-area timur Kota Malang adalah Desa Cemorokandang Kecamatan Kedungkandang. Pada desa yang berada di kaki Gunung Buring — dalam Peta Rupa Bumi tahun1811, tertulis nama untuknya “Gunung Malang” — tersebut terdapat sebuah Dusun bernama “Kebalon”. Nama ini acapkali disalahlokasikan dengan Kampung Kebalen. Padahal, keduanya berbeda, baik lokasi maupun latar sejarahnya.

Nama itu mengingatkan kita kepada toponimi “Kabalon” yang disebut dalam kitab gancaran (prosa) Pararaton ( akhir abad XV) dan “Kabalan” yang diberitakan dalam Kakawin Nagarakretagama (1365 M) dan beberapa prasasti yang sejaman. Keserupan nama dari ketiganya (Kabalan, Kabalon dan Kebalon) memberi kita gambaran bahwa keberadaan permukiman kono ini telah dan tengah berlangsng dalam kurunn waktu amat pajang. Dalam meniti perjalanan panjang sejarahnya, penamaannya mengalami perubahan dari : Kabalan (abad XIII) –》 Kabalon (abad XV) –》 Kebalon (kini).

Sejauh telah diketemukan sumber data tentangnya, gambaran mengenai Kabalon sebagai suatu desa kuno (thani) didapati dalam kitab Pararaton. Susastra yang paro pertamanya berjudul “Katuturanira Ken Angrok” ini memberitakan Kabalon sebagai suatu permukiman yang basis perekonian “bi-ekonomik”, yakni agraris dan kerajinan. Kala itu para perajin (undagi) emas di Kabalon terbilang piawi dalam membuat barang-barang kerajin emas, sehingga diibarat oleh Pararaton sebagai “yang seakan-akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang emas dengan sempurna-sempurnanya (pangawaking dharmmakancanasiddhi)“. Mereka adalah pera perajin emas yang terhandal di kawasan timur Gunung Kawi.

Oleh karena itu, bisa difahami bila kepala lingkungan tetua (tuha) dari Turyantapada — kini bernama “Turen” di Malang Selatan — bernama Pu Palot jauh-jauh memesan barang kerajinan emas dari pade mas handal di Kabalon. Lantaran itu pula, Pu Palot menyarankan kepada “anak asuhnya”, yakni, Ken Angrok, agar setamat mempelajar ketrampilan dasar merajin emas padanya selanjutnya mematangkan keahliannya kepada hyang buyut, yakni perajin emas di Kabalon. Selain itu Pararaton menyebut Kabalon sebagai permukiman para pertapa, yang diistilahi dengan “tempat orang-orang yang menepi (panapen)“. Sebagian warga Kabalon adalah para pertapa, guru hyang dan punta. Tergambar bahwa pada masa akhir pemerintahan kerjaan Kadiri atau jelang hadirnya Kerajaan Tumapel (akhir abad XII sd awal abad XIII) kondisi Kabalon masih relatif sepi.

Lokasi Kabalon terbilang stategis, karena berada pada daerah aliran sungai (DAS) Amprong yang subur untuk pertanian dan sekaligus dekat dengan pusat watak Tugaran. Nama “Tugaran” kini masih dikenal , namun sedikit berubah penyebutan menjadi “Tegaron”, yakni nama suatu dusun di Desa Lesanpuro. Watak Tugaran mulai hadir pada masa pemerintahan Pu Sindok (Sri Isana) pada era kerajaan Mataram, yaitu satu diantara tiga buah watak di kawasan timur Gunung Kawi — selain watak Hujung dan Kanuruhan. Kala itu, Kabalon menjadi semacam daerah penyangga (hinterland) bagi pusat watak Tugaran. Produk kerajinan emas di Kabalon dipasokkan guna memenuhi kebutuhan akan aksesoris dari logam mulia terhadap warga kota kaya di pusat pemerintahan watak Tugaran.

Paparan diatas memberi cukup gambaran bahwa sub-area timur Kota Malang yang berada di lereng dan lembah Gunung Malang (Buring) telah sejak abad X M berkembang menjadi areal perkotaan dengan sistem sosio-budaya yang teratur dan terbilng maju pada jamannya. Kondisinya itulah yang menjadi faktor internal untuk memilih Kabalon sebagai pusat pemerintahan (kadatwan) dari kerajaan vasal (nagari) Majapahit era pemerintahan Hayam Wuruk. Ada dua vasal Majapahit di kawasan timur Gunung Kawi (baca “Malangraya”), yaitu: (1) Nagari Kabalan, dan (2) Nagari Tumapel.

Demikianlah, pada medio abad XIV itu, Kabalon yang semula hanya merupakan desa pertanian dan sekaligus desa perajin berkembang signifikan menjadi pusat nagari, dengan sebutan “Nagari Kabalan”. Puncuk pimpinan di nagari ini, yang berpangkat “bhattara”, karenanya dinamai dengan “Bhattara i Kabalan” atau disebut lebih singkat dengan ” Bhre Kabalan (Bhre = bhra+i)”. Adapun pucuk pimpinan di Nagaro Tumapel disebut “Bhattara i Tumapel” atau diakronimkam menjadi “Bhre Tumapel”.

Ganeologis dan Posisi Peran Birokratis
Menurut Nagarakretagama (pupuh 7.4) untuk kali pertama Bhre Kabalan dijabat oleh Dyah Kusumawarddhani. Siapakah dia? Dalam “politik-kekeluargaan” masa lampau pada sistem pemerintahan kerajaan, jabatan-jabatan tinggi dan stategis dalam birokrasi pemerintahan diberikan kepada anggota keluarga besar (extended family) Sang Raja.

Jabatan demikian antara lain adalah penguasa negara vasal (nagari). Dengan demikian penòyadangan jabatan Bhattara di Nagari Kabalan oleh Dyah Kusumawarddhani dilatari oleh latar ganeologis dirinya sebagai anggota keluarga kerajaan Majapahit, yang kala itu diperintah oleh Hayam Wuruk. Jika benar demikian, bsgaimana hubungan ganeologis antara dirinya dengan Hayam Wuruk?

Kusumawarddhani adalah putri tertua dari Maharaja Hayam Wuruk dalam perkawinannya dengan Indudewi — Pararaton menyebut Indudewi dengan “Padhukasori”. Kata “sori” mengingatkan kita pada tokoh ceria dalam Lakon Panji, yaitu Sori dan Tekes, sebagai gambaran dari Panji yang bertopi tekes dan istrinya (sori). Dalam posisi ganeologis yang demikian, ia adalah putri mahkota, yang secara ganeo-politis berhak atas tahta Majapahit sebagai pengganti Hayam Wuruk. Dengan demikian cukup alasan bahwa ketika masa penerintahan ayahnya (Hayam Wuruk) ia diposisikan sebagai penguasa vasal di Nagari Kabalan, atau semacam rajamuda (yuvaraja, rajakumari) di kemarajaan Majapahit pada era keemasan (golden periode).

Bilamana Nagari Kabalan mulai dibentuk? Pada sumber-sumber data tekstual terdahulu pra-pemerintahan Hayam Wuruk) tidak diperoleh informasi tentang keberadaan Nagari Kabalan. Oleh karena itu, diprakirakan Nagari Kabalan baru dibentuk semasa pemerintahan Hayam Wuruk, sebagai pemekaran administrasi pemerintahan di wilayah Timur Gunung Kawi dari yang semula hanya sebuah nagari, yakni Nagari Tumapel, menjadi dua nagari (Tumapel dan Kabalan).

Bisa jadi pembentukkannya adalah pasca kunjungan Hayam Wuruk dan rombongan ke kawasan Timur Gunung Kawi dalam rangkaian lawatan (tour de’ inspecition) pada 1359 Masehi ke Nagari Lamajang (kuni “Lumajang”) beserta daerah-daerah lain di DTK (Daerah Tapal Kuda). Dalam lawatan ke daerah-daerah kekuasaan Majapahit itu — Kakawin Nagarakretagama mengistilahi paparan tentang kegiatan itu dengan “desawarnana”, lebih dari sepekan Hayam Wuruk berada di kawasan Timur Gunung Kawi.

Berdasarkan pengamatannya langsung ketika “turba (turun ke bawah)” di kawasan yang kini dinamai “Malangraya”, perkembangan signifikan di kawasan ini patut untuk dipertimbangkan dengan melakukan pemekaran administrasi pemerintahan daerahnya, dari satu menjadi dua nagari, yakni Tumapel dan Kabalan. Jika benar demilian, berarti pendirian Nagari Kabalan beserta penempatan Putri Mahkota (Kusumawarddhani) sebagai Bhattara di Kabalan terjadi tidak lama setelah tahun 1359 Masehi, atau pada awal tahun 1360-an. Pada paro pertama abad XV, menurut keterangan dalam prasasti Waringinpitu (1447 M), Kabalan adalah satu diantata 12 nagari yang berada dibawah kekuasaan (vasal) Majapahit selain Tumapel, Dhaha, Jagaraga, Kahuripan, Tanjungpura, Pajang, Kembangjenar, Wengker, Kaling (Kalinggapura), Singhapura dan Matahun.

Peta wilayah kekuasaan Majapahit. (Sumber : Historia.id)

Sesesuai dengan keserupaan nama : Kabalon-Kabalan-Kebalon, cukup alasan untuk melokasikan kadatwan Nagari Kabalan di Dusun Kebalon dan sekitarnya, pada kaki Gunung Buring sub-area timur Kota Malang. Sayang sekali, hingga sejauh ini di Dusun Kebalon maupun Desa Cemorokandang belum berhasil dijumpai tinggalan arkroligis yang signifikan, yang memberi cukup bukti bahwa bahwa di sini dalam kurun waktu panjang pernah terdapat desa permukiman para petani, perajin dan pertapa yang kemudian menjadi kadatwan Nagari Kabalan.

Temuan yang berhasil didapati baru berupa Lingga — atau bisa jadi adalah “batu sima”, warga sekitar hanya menyebutnya dengan “tugu” — di tanah tegal belakang rumah warga Dusun Kebalon. Separuh ke bawah artefak ini masih terpendam tanah, sehingga belum dapat diketahui bentuk benda atau bangunan padamana benda ini ditancapkan atau diletakan dipermukaannya.

Selain itu, masih di wilayah Desa Cemorokandang, terdapat temuan berupa dua buah lumpang batu (stone mortar), umpak, dan beberapa balok batu andesit pada tepi alitan Kali Amrong, yang pada lokasi ini Kali Amrong yang mangalir utara-selatan bertemu dengan anak sungainya yang beral dari arah timur. Tak jauh darinya, yaitu pada suatu tanah di halaman samping rumah warga dijumpai tidak sedikit fargmen gerabah dan keramik. Demikan pula pada sekitar mulut jalan beraspal kecil (Jl. Untung Surapati) menuju situs didapati sebuah lumpang batu (kini dijadikan “vas bunga”) di depan rumah Riyanto warga RT 05 RW 04, yang temukan ketika (tahun 2009) menggali saptick tank pada kedalaman sekitar 3 meter.

Jejak budaya masa lalu lain di Desa Cemorokandang berupa toponimi “sentono”, yang oleh warga setempat digunakan untuk menamui bentang lahan berbangun bundar dengan permukaan tanah lebih tinggi dari muka tanah sekitarnya (sitinggil = sitlli inggil). Diantara rimbun beberapa pohon klampok berbatang amat besar (D = 4,21 m) dan tinggi terdapat makam yang sayang tidak diketahui jatidiri tokoh yang dimakamkannya. Secara etimoligis, kara “sentono” berasal dari “astana (istana)”, sehingga mengundang tanya: apakah buka btidak mungkin dilokasi inilah konon istana (kadatwan) Nagari Kabalan terletak, mengingat lazimnya kedaton ditempatkan di siti inggil.

Kendati temuan arkeologis yang didapat di Kebalon dan sekitarnya belum seberapa banyak — lantaran belum pernah dilakukan ekskavasi arkeologis dan survei permukaan secara seksama, namun jejak arkeoligis dan toponimi “Kebalon” ataupun “Sentono” cukup memberi bukti bahwa tempat ini konon pernah dijadikan ajang kegiatan sosial-budaya masa lampau, yang sangat boleh jadi terkait dengan Thani Kabalon ataupun Nagari Kabalan. Kedepan diharap dapat diketemukan jejak-jejak budaya masa lalu di tempat ini, sehingga misteri sejarah Kabalon/Kabalan kian tersiangkapkan.

Jatidiri Bhre Kabalan Kusumawarddhani
Tak banyak data masa lalu yang secara langsung atau tidak langsung mengungkap jatidiri Kudumawarddhani. Walau demikian, sumber data tekstual, yakni prasasti dan susastra, memberi sedikit gambaran tentang fisiografis, kepribadian dan kepiawian seninya. Selain itu diperoleh informasi mengenai latar perkawinannya.

Suami Kusumawarddhani adalah Wikramawarddhana, yang berdasarkan daerah kekuasaan (apanage)-nya, maka disebut juga dengan “Bhre Mataram”. Tokoh yang juga dikenal dengan sebutan “Bhre Hyang Wkasingsuka ini adalah putra Bhre Pajang. Perkawinan antara Bhre Kabalan (Kusumawarddhani) dengan Bhre Mataram (Wikramawarddhana) adalah pernikahan di lingkungan kerabat raja, atau bisa juga dinyatakan sebagai bentuk perkawinan politik. Keduanya berada di dalam lingkungan keluarga luas, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan raja-raja Majapahit.

Perkawinan-politik keduanya dibicarakan pula di dalam Prasasti Waringin Pitu, yang disurat atas perintah dari raja Wikrammawarddhana. Sumber data epigrafis bertarikh Saka 1369 (22 Nopember 1447) ini melukiskan fisiografis Kusumawarddhani sebagai “putri yang rupawan, bibirnya kemerahan bagai manik-manik, tubuhnya semampai, menimbulkan kepuasan bagi yang memandangnya”. Serupa itu, Nagarakretagama (pupuh 7.4) menyatakannya sebagai “seorang wanita yang sangat cantik, amat rupawan, jelita mata, lengkung lampai [alisnya]”.

Sebagai seorang permaisuri, Kusumawarddhani yang memiliki nama kelahiran (garbhopatinama) Mahamisi atau Dhyah Savitri ini oleh Kakawin Nagarakretagama (pupuh 7.4) dinyatakan sebagai “sorang istri yang bhakti kepada suami, pandai bercumbu dan merayu”. Baktinya terhadap suami antara lain tergambar dalam suksesi pemerintahan di Majapahit sepeninggal raja Hayam Wuruk.

Sebenarnya, ditilik dari garis ayah, Kusumawarddhani berhak atas tahta Majapahit, lantaran posisinya sebagai putri mahkota. Pada Masa Hindu-Buddha tak ada kata “tabu” bagi perempuan untuk memegang tampuk pimpinan sebagai raja (rajya) di pemerintahan pusat. Ratu Simha di kerajaan “Ho Ling”, Sanggramawijaya di kerajaan Mataram — meski sesaat, Triibhuwanatunggadewi dan Suhita di Majapahit adalah contoh faktual mengenai itu.

Namun demikian, demi bhaktinya kepada suami, ia menghibahkan tahta kepada Wikramawarddhana, dan lebih memilih untuk “berperan di balik layar”. Ia menjejaki Pramodawarddhani (putri mahkota Samaratungga) yang menghibahkan tahta Mataram kepada suaminya (Rakai Pikatan), Dhyah Kbi (putri mahkota Raja Wawa) kepada Pu Sindok/Isana, para putri Kretanegara kepada Raden Wijaya, ataupun penyerahan tahta kerajaan dari Gunapriyadharmapadni/ Mahendradatta kepada adiknya (Dhammawangsa Tguh) — lantaran ia lebih memilih untuk menyertai suami (Udayana) menjadi raja di Balidwipamandala. Bhakti dan kesedian untuk berbagi menjadi dasar pertimbangannya untuk tidak mengambil posisi sebagai raja pasca kemangkatan ayahandanya.

Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, yakni Ken Dedes dan Gayatri/Rajapadni, kitab Nagarakretagama juga menggambarkannya sebagai wanita yang cantik. Secara fisiografis, kecantikan dua leluhurnya itu tergambar pada arca perwujudannya, yang berwujud Panjnaparamita. Berbeda dengannya, belum didapati arca yang dapat diidentifikasikan sebagai penggambaran fisiogragis Kusumawarddhani. Terkait itu, menurut hemat kami, arca besar dan artistik dari Situs Jebuk di Tulungagung (kini koleksi Museum Nasional) yang menggambarkan Dewa-Dewi dengan gestur mesra dapat diidentifikasikan sebagai arca pasangan Kusumawarddhani dan Wikramawarddhana. Hal ini mengingat bahwa dalam kakawin Nagarakretagama Kusumawarddhani dicitrakan sebagai istri yang pandai bercumbu-rayu.

Selain itu Kusumawarddhani dikabarkan sebagai “seorang penari yang piawi, sekaligus pengidung yang bersuara merdu”. Tidak mengerankan apabila ia mahir di dalam berkesenian, karena “darah seni mengalir ke dalam dirinya”. Ayahnya, yakni Hayam Wuruk, oleh Pararaton maupun Nagarakretagama dikabarkan sebagai handal dalam berseni-drama — tak terkecuali dalam menainkan peran travesti, memainkan wayang (mendalang), dan sudah barang tentu manari serta bermusik.

Dalam posisinya sebagai penguasa kerjaan vasal, wanita yang memegang jabatan bhattara di nagari Kabalan di satu pihak dan sebagai seniwati pada pihak lain, dapat dibayangkan bahwa selama masa pemerintahannya di wilayah Timur Gunung Kawi, biidang seni-budaya mendapat porsi perhatian yang kuat. Kala itu, Kusumawarddhani adalah seorang “maecenas seni” di kawasan yang kini disebut “Malangraya”.

Keberadaan Nagari Kabalan tidak hanya berhenti pada masa pemerintahan Kusumawarrddhani, namun berlanjut hingga setidaknya akhir abad XV. Hal itu terbukti dari pemberitaan prasasti Pamintihan (1473 M), yang disurat atas perintah raja Dhyah Suraprabhawa. Dalam prasasti yang dikeluarkan 26 tahun pasca prasasti Waringin Pitu (1447 M) ini, Kabalan disebut berada dalam perbatasan (tpi siring) dengan desa Pamintihan. Lokasi Kabalan berada di utara-timur Pamintihan, yang kini menjadi dusun bernama “Kebalon” di Kelurahan Cemorokandang. Selain itu, Pamintihan juga berbatasan dengan Tugaran, yang kini menjadi dusun bernama “Tegaron” di Desa Lesanpuro.

Menilik posisinya itu, boleh jadi letak Pamintihan pada areal yang kini dinamai “Kelurahan Madyopuro” — termasuk di dalamnya Kampung Ngadipuro, dan bisa jadi meluas hingga ke Desa Sekarpuro. Berbeda dengan toponimi “Kabalan/Kebalon” yang kini berubah penyebutan sedikit menjadi “Kebalon” dan toponimi “Tugaran” yang kini berubah sedikit menjadi “Tegaron”, untuk toponimi “Pamintihan” kini tidak lagi didapati jejak toponimisnya.

Kendati demikian, bukan berarti tak terdapat jejak masa lalu di Madyopuro. Selain makam kuno, yakni makam Kiageng Gribig (Gribik “yunior” dari Era Kasultanan Mataram) dan makam Gribik “senior” di Gang Sate dari Masa Kewalian, pada desa ini masih didapati delapan buah punden yang sayang sekali belum pernah diteliti dengan seksama. Namun yang urgen, diantaranya terdapat artefak berupa Lingga — atau boleh jadi “batu sima”. Jika benar demikian, ada indikator bahwa pada Masa Hindu-Buddha areal ini pernah menyadang status sebagai desa perdikan (swatantra, sima), yang konon bernama “Pamintihan”. Desa sima Pamintihan yang dilokasikan di Madyopuro berada pada posisi tengah (madyo), yang diapit oleh Kabalan disebelah utara-timurnya dan Tugaran disebelah selatannya.

Mencermati perjananan panjang (lima abad, X-XV M) tentang Kabalan, Tugaran dan Pamintihan sebagaimana terpapar diatas, tegambar bahwa kawasan di lereng dan lembah sisi barat dari Gunung Malang (kini “Gunung Buring”) yang dialiri oleh Kali Amprong konon pernah tumbuh berkembang pusat pemerintahan setingkat watak/watek dengan nama “Tugaran” yang dipimpin oleh Rakai Tugaran dan setingkat nagari bernama “Kabalan” yang dipimpin oleh Bhre Kabalan. Salah seorang bhattara di Kabalan tersebut adalah Kusumawarddhani. Baik Kabalan ataupun Tugaran kini menciut, hanya tinggal berupa dusun, yang namanya kian dilupa orang, terlebih lagi kesejarahannya.

Demikianlah ulasan singkat mengenai citradiri dari Kusumawarddhani beserta kesejarahan Nagari Kabalan. Tersirat dindalam telaah ini “peran seorang wanita Jawa” pada masa keemasan (golden periode) Majapahit di kawasan Timur Gunung Kawi (baca “Malangraya”).

Smoga membuahkan makna dan memberi guna. 
Salam budaya, 
“Nuswantarajayati”Ar

Tulungagung-Malang,
10-12 Maret 2016

*Arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.