
Oleh: M Alfan Alfian*
Terakota.id– “Karena Bapak sudah banyak beli buku, kami kasih bonus pijat gratis di kursi sebelah,” kata kasir toko buku itu.
Buku-buku baru selalu menyembul. Menarik minat. Padahal zaman sudah bergerak ke nirkertas. Sebuah suratkabar nasional terkemuka, hari-hari ini sudah begitu tipisnya.
“Yang mana?” tanyaku.
Kasir itu menunjukkan jarinya ke seorang laki-laki, tak jauh dari situ. Rupanya dia penunggu stan kursi pijat.
“Lumayan Pak, bapak bisa pijat selama sepuluh menit,” kata kasir.
“Terimakasih Mbak!”
Cukup berat tentengan saya. Buku-buku meringis siap dibaca. Dari HAMKA sampai Haruki Murakami. Dari NH Dini hingga Faisal Oddang. Dari Jared Diamond hingga Joseph Stiglitz. Dari A Fuadi hingga Emha. Dari Simuh hingga Ki Ageng Suryomentaram.
Aku menunjukkan kupon pijat gratis ke lelaki penunggu kursi pijat itu. Aku beruntung karena kondisinya sedang sepi. Setelah melepas sepatu, kedua kakiku masuk ke mesin pemijat.
“Segini cukup Pak?” kata lelaki penunggu kursi pijat itu. Maksudnya, kekuatannya, apakah sudah pas.
“Oke,” kataku.
Lalu aku bersandar, dan kursi pemijat bergerak otomatis.
“Bagaimana Pak? Enak? Nyaman?” tanya lelaki penunggu kursi pijat.
“Ya, pasti enak, pasti nyaman,” aku menyahut.
“Harganya terjangkau Pak, iseng-iseng buat pelepas lelah kalau di rumah,” dia mulai berpromosi.
“Bukannya apa,” kataku, “Aku hanya berpikir, kalau saja kubeli kursi pemijat ini, tukang pijit sebelah akan kehilangan pekerjaan. Istriku juga akan menganggur saja nanti!”
“Ah, bapak bisa aja! Masak istri disamakan tukang pijat?”
“Kan mijatnya lain! Lagi pula, di dunia ini rasanya hanya dia yang kuandalkan sebagai tukang kerok! Kalau masuk angin, orang Jawa sepertiku, cocoknya ya hanya kerokan!”
“Bapak orang Jawa?”
“Orang Jawa itu punya referensi hidup prihatin, tirakat! Bahkan, dalam batas tertentu, ada yang berpendapat laku prihatin itu harus dijalani dengan tidak boleh tidur di kasur!”
“Lalu tidurnya di mana, Pak?”
“Ya di lantai beralas tikar!”
“Kok bisa?”
“Barangkali itu simbol menolak hal-hal yang nyaman. Sebagai bentuk menolak hal-hal yang memanjakan diri, memanjakan tubuh! Menolak hal-hal yang berbau kemewahan apalagi!”
“Jadi …”
“Iya, jadi, jangankan pijat, tidur di kasur saja harus dihindari …”
“Hmmm tragis amat!”
“Ya, tak semuanya begitu. Tapi pesannya ialah, agar kita hidup itu yang prasaja, sederhana, tak bergaya mewah dan berlebihan. Begitu ya begitu, tapi jangan begitu. Hidup hanya sekadar mampir minum …”
“Tak paham pula awak Pak! Jadi …”
“Jadi, intinya pijat di kursi pijat ini termasuk kategori memanjakan tubuh. Kita bisa terlena dengan alam materi. Manusia memang diberi beban, ya tubuhnya ini. Capek atau tidak itu biasa dalam hidup, dalam bekerja. Semua juga capek. Binatang juga capek …”
“Tapi, kan binatang beda dengan manusia Pak?”
“Ya, kalau binatang capek, kan tak mengenal pijat!”
“Ah, Bapak, masak manusia dibandingkan dengan binatang dalam hal perpijatan. Kalau binatang suka pijat nih Pak, mungkin kami cepat-cepat pindah ke Ragunan, ke Bonbin …”
“Dalam beberapa hal, kita manusia mirip dengan binatang. Tapi, manusia itu makhluk yang diberi akal dan hatinurani. Pernah dengar nggak ujaran Buya HAMKA, itu yang buku-bukunya ada di sebelah, dia berujar begini, “Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga kerja!”
“Jadi …”
“Jadi begini, kursi pijat ini bagian dari hidup kita yang sebentar lagi tergusur robot, mesin. Dulu orang tak pernah kebayang dipijit sama mesin. Sekarang, dan sebentar lagi orang akan tergilas mesin. Para tukang pijat mestinya protes ketika mesin-mesin pijat merajalela …”
“Jadi …”
“Jadi, kelak banyak yang hanya bisa meratapi nasib, karena tergusur robot. Bahkan pembantu rumah tangga pun …”
“Tapi, manusia kan tetap manusia Pak. Manusia tak bisa bercinta dengan robot …”
“Apa? Bercinta? Bisa saja kamu … Bahkan bercinta pun kelak diambilalih plastik. Robot buatan, simulasi, dan kita banyak bergumul pada dunia yang absurd dan egois …”
“Bayangan suram ya Pak?”
“Hehehe …”
“Jadi …”
“Jadi, coba lihat buku di depan sana, yang menumpuk itu. Dari judulnya, buku itu bertolak belakang dengan yang di sebelahnya. Yang satu bicara filsafat antimateri, satunya lagi pelajaran mengejar materi …”
“Terus kita ada di mana Pak? Mana yang lebih penting?”
“Dua-duanya punya alasan masing-masing! Punya konteksnya sendiri-sendiri! Di mana sebaiknya kita memosisikan?”
“Di mana Pak?”
“Bagaimana kalau di tengah-tengahnya?”
“Maksudnya?”
“Kita tak antimateri. Kita butuh materi untuk menjalani hidup. Anak butuh bayaran sekolah. Keluarga butuh piknik. Tapi, jangan memosisikan materi sebagai segalanya. Yang rohani, coba lihat di belakang kita banyak buku agama, penting dan mendasar. Jadi, harus seimbang jasmani dan rohani! Material dan spiritual!”
“Ah Bapak kayak Pak Harto saja!”
“Kok Pak Harto? Mungkin sampeyan ingat jargon Orde Baru ya?”
“Ya, soalnya dulu kan sering ada petuah itu Pak, keseimbangan jasmani dan rohani!”
“Kita, dalam hidup ini memang harus pandai-pandai mencari keseimbangan!”
“Ah, Bapak mau omomg politik ya?”
“Kok politik?”
“Kan, ada yang ramai-ramai supaya pemerintah diimbangi oposisi Pak?”
“Wah hebat betul Sampeyan, membawa lari soal keseimbangan ini ke politik! Padahal, dalam benak, yang kubayangkan jungkat-jungkit …”
Krop, krop, krop! Mesin pijat berhenti. Waktunya selesai. Aku pun harus meninggalkan tempat.
*Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS.

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS