
Oleh: Nurudin*
“Disamping tidak bisa menahan diri, bangsa ini dilandasi suasana saling curiga satu sama lain. Pemerintah mencurigai setiap orang yang mengkritik sebagai perongrong. Yang mengkritik kadang melakukannya secara membabi buta. Para pengikut tetap mudah terprovokasi dan melihat permasalahan dengan kacamata kuda; hitam-putih, benar-salah, halal-haram. Apakah keinginan Menkopulhukam membentuk tim bantuan hukum untuk memantau semua ucapan, pemikiran dan tindakan orang atau tokoh yang dianggap melanggar hukum sebagai tindakan yang dilandasi kecurigaan pula?”
Terakota.id— Dulu saya punya tetangga desa, namanya Fuad Muhammad Syafruddih (Udin) yang tinggal di Samalo, Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta (12 km dari kota Yogyakarta). Kebetulan Udin ini wartawan koran Bernas. Dia terkenal kritis dalam setiap penulisan berita. Ini setidaknya yang saya tahu. Ia juga kebetulan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai yang menjadi anak tiri (seperti halnya PDI) pemerintah Orde Baru (Orba).
Sebagai seorang aktivis dan wartawan ia terkenal kritis. Ia kritis saat ada “ketidakwajaran” dalam Pemilihan Bupati Bantul (1996). Ia juga kritis pada proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) pemerintah dan kasus-kasus lain yang membelit Bupati Sri Roso Sudarmo (Calon Petahana). IDT ideal untuk membantu masyaralat miskin di pedesaan. Namun proyek itu sarat muatan politis, bahkan disalahgunakan.
Lihat misalnya liputan dengan judul, “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak Invisible Hand”, “Isak Tanagis Warnai Pengosongan Parangtritis”, juga “Di Desa Karangtegah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”. Berita ini sangat tendensius sekali pada era Orba.
Tentu saja, sikap kritis ini meresahkan aparat pemerintah dan keamanan. Maka, pada 13 Agustus 1996 ia dianiaya sampai kepalanya berdarah. Udin sempat menjalani operasi di RS Bethesda Yogyakarya. Namun karena sakitnya parah, maka ia meninggal pada 16 Agustus 1996.
Aparat diduga sebagai pelaku pembunuhan. Namun, mereka tidak kurang akal. Aparat keamanan lalu mencari seseorang yang bisa dijadikan “tumbal” atau yang bisa direkayasa sebagai pembunuh Udin. Lewat suatu rangkaian rekayasa atas Dwi Sumaji (Iwik), polisi menjebak sopir perusahaan iklan itu di Parangtritis. Iwik pernah dipaksa minum berbotol-botol (5 Agustus 1997) dan ditawari uang agar ia mengaku sebagai pembunuh Udin. Karena Iwik tidak terbukti bersalah, akhirnya divonis bebas. Ia pun mengaku dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik. Edy Wuryanto (Kanit Serse) waktu itu dinyatakan bersalah, meskipun ia bisa jadi bukan otak utama dibalik pembunuhan itu.

Saya memang tidak seperti Udin. Tetapi saya juga pernah berususan dengan aparat keamanan. Ceritanya, saat saya menjadi reproter majalah fakultas di UNS Solo, redaktur membuat cover bergambar logo segilima dengan lingkar putih (Golput). Ada laporan investigasi, juga wawancara dengan Arief Budiman dan Andreas Harsono. Sontak, majalah kami menjadi incaran aparat keamanaan. Dan awak media itu sempat dipanggil aparat kampus juga.
Saat menjadi Pemimpin Umum (PU) majalah Visi itu, saya juga pernah mengadakan diskusi. Dalam diskusi itu diawasi intel yang mondar mandir di luar. Memang temanya agak sedikit ngeri-ngeri sedap, yakni tentang politik belah bambu pemerintah Orba.
Pengadilan penuh rekayasa, pembungkaman sikap kritis khas ciri Orba. Tak boleh ada yang berbeda. Waktu itu, jika seseorang sudah dituduh “anti Pancasila”, “ekstremis, “subversif”, “inkonstitusional”, “antek PKI”, “penyebar insinuasi” dan semacamnya, maka akan dijadikan “pesakitan”.
Butuh Partner
Pemerintah, di manapun dan kapanpun punya kecenderungan “gerah” dengan segala gerakan yang mengkritik, merongrong atau ada usaha memecah pengaruh kekuasaannya. Pemerintah menganggap bahwa kekuasaan itu miliknya (mengumpul, konstan dan jadi satu), maka mereka yang di luar dan berusaha tidak sejalan akan ditekan sedemikian rupa.
Apakah di Amerika juga seperti ini? Coba seandainya Donald Trump dirongrong kekuasaannya. Ia tentu akan bertindak. Penguasa negeri Paman Sam itu tentu akan menganggap bahwa rongrongan memperburuk citra kepemimpinannya. Apakah Donal Trump rela meninggalkan jejak kekuasaan yang carut-marut? Manusia normal tentu tidak akan mau.
Bagaimana dengan pentingnya gerakan oposisi di negara demokrasi? Gerakan oposisi biasanya hanya indah dibicarakan dalam buku-buku teks. Seseorang yang pernah berteriak pentingnya oposisi jika ia sudah berkuasa tentu akan risau.
Seorang aktivis garis keras pun jika akhirnya berkuasa atau ikut dalam gerbong kekuasaan bisa tidak kritis lagi. Ia tentu akan “menghamba” pada pemilik kekuasaan. Apalagi ia menggantungkan “kehidupannya” pada penguasa tersebut. Jadi ini lumrah bukan?
Bukan berarti bahwa para aktivis itu harus dimaklumi, tetapi kalau sudah “membebek” apa yang dilakukan pemerintah tentu ia sudah melukai sejarah dirinya. Tapi pilihan ini tentu hak asasi msing-masing pribadi. Masalahnya, kita tidak usah terlalu berteriak keras saat tidak berkuasa, namun saat berkuasa akhirnya akan menjadi “kucing yang kedinginan”.
Tentu kenyataan di atas tidak memandang sebelah mata beberapa penguasa yang memang pernah menjadi pejuang kemudian bisa mengantarkan masyarakatnya ke arah kemajuan. Para pemimpin model ini tidak banyak. Tetapi umumnya, setiap penguasa punya kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan. Saya jadi ingat pendapat Lord Acton, “Power tend to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”.
Karena itu, maka pemerintah dimanapun dan kapanpun butuh partner. Partner di sini bisa kalangan akademisi, opisisi, mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat umum dan lain-lain. Kalau yang mendukung kekuasaan sudah jelas, yakni mereka yang berada di gerbong pemerintah.
Untuk mencapai kemajuan maka partner pemerintah itu penting. Kalangan akademis tentu bertindak sesuai kemampuan. Ia bukan politisi atau “pegawai pemerintah”. Misalnya memberikan masukan dengan data-data tertentu atau mengkritisi kebijakan. Tugasnya emang tidak boleh berdiri “di atas angin” saja. Tentu mereka bekerja sesuai kapasitasnya. Yang bisa bicara biarlah memanfaatkan kecakapannya berbicara, yang bisa menulis tentu menyadarkan dengan tulisannya. Tak elok jika segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pemerintah terus dianggap “musuh” dan harus disingkirkan.
Serba Curiga
Opisisi juga tetap perlu dipelihara. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan akan bisa berjalan baik tanpa oposisi sebagai penyeimbang? Tugas oposisi memang mengkritisi. Kalau oposisi tidak boleh mengkritisi itu namanya bukan oposisi. Aneh jika oposisi harus mendukung segala kebijakan pemerintah. Oposisi mengkritisi pemerintah, sementara pemerintah berusaha menunjukkan dengan bukti. Tentu saja, oposisi tidak hanya “asbun” (asal bunyi) atau hanya menyebarkan kebencian.
Nah, saat ini lebih rumit karena segala sesuatu dikaitkan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan kubu politik. Yang tidak suka dan berusaha mengkritisi kebijakan pemerintah dianggap haters atau dituduh menjadi antek kubu yang lain. Ruwet jika sudah begini. Serba curiga. Intinya yang tidak suka dengan kebijakan pemerintah dianggap merongrongnya. Kesalahan, bahkan kecurangan Pemilu itu tentu ada, tetapi jangan menolak tuduhan secara membabi buta. Juga, tak perlu menuduh Pemilu curang secara membabi buta.

Jika demikian yang terjadi, sikap serba curigapun akhirnya muncul. Akhirnya akan berkembang kubu yang mendukung pemerintah dianggap baik, yang mengritik itu jahat. Sebuah pembagian atau tuduhan yang tidak adil, bukan?
Maka, semua orang punya tugas masing-masing. Kalau semua sudah dilandasi kecurigaan apapun yang dilakukan tentu tidak baik. Kalangan pemerintah akan curiga bahwa yang mengkritik itu merongrong pemerintahan yang sah. Sementara, kalangan oposisi akan menganggap semua kerja yang dilakukan pemerintah akan dicurigai dengan label-label negatif.
Apakah keinginan Menkopulhukam Wiranto membentuk tim bantuan hukum untuk memantau semua ucapan, pemikiran dan tindakan orang atau tokoh yang melanggar hukum sebagai tindakan yang dilandasi kecurigaan? Maka kritiklah dia, kau akan ditangkap.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/Instagram: nurudinwriter
[…] nilai-nilai kemanusiaan, multikultural, solidaritas dan kebahagiaan kolektif antar elemen kampus kampung. Ruang ini tentunya juga menjadi ruang yg memuliakan kreatifitas masyarakatnya, ruang yg […]
[…] nilai-nilai kemanusiaan, multikultural, solidaritas dan kebahagiaan kolektif antar elemen kampus kampung. Ruang ini tentunya juga menjadi ruang yg memuliakan kreatifitas masyarakatnya, ruang yg […]