Penulis : Helmi Naufal*
Terakota.id—Seorang perempuan sepuh berambut putih berkebaya, berjalan tertatih. Tangannya menggenggam tongkat di ujungnya bendera merah putih berkibar. Kemudian ia berjalan menjauh. Sedangkan lima pemuda berjalan tegap, masing-masing membawa bendera dengan warna senada dengan kaos yang dikenakan.
Mereka datang dari lima penjuru berbeda. Tetiba mereka saling serang. Tongkat berujung bendera itu, saling beradu. Mereka bertikai, tak disadari di ujung seorang perempuan sepuh kembali melintas.
“Ibu…..aku anakmu,” kata seorang pemuda. “Bukan, aku anaknya. Aku yang merawatnya. Itu ibuku,” kata seorang pemudi langsung menyahut. Mereka kembali bertikai, berebut pengakuan sebagai anak dari perempuan renta yang meninggalkan mereka.
“Mau jadi apa kalian jika bertengkar. Ini sungguh keterlaluan,” ujar perempuan tua sembari berlalu menjauhi para pemuda itu. Tiba-tiba tubuh perempuan tua itu terjatuh, bersamaan dengan tongkat dan bendera merah putih. Kelima pemuda itu mendekat dan berusaha menolong. Mengangkat tubuh tua itu.
Samar-samar terdengar suara seorang lelaki membacakan sumpah pemuda. Mendengar isi sumpah pemuda, kelima pemuda langsung melepas bendera yang senada dengan kaos yang dikenakan. Lantas mereka kembali mengangkat perempuan tua berkebaya dan mengangkat bendera merah putih.
Perempuan itu berjalan tegap sembari membawa bendera, para pemuda mengiringi di belakang. Sembari tangan kanan dengan posisi hormat kepada bendera. Bendera merah putih itu lantas diserahkan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, I Made Rian Diana Kartika
Adegan ini merupakan bagian penampilan teater Keong SMA Negeri 7 Malang dan Teater IDEoT dalam Dua Drama Mini Kata di gedung DPRD Kota Malang, Selasa 11 November 2020. Berjudul Bendera Rubuh karya Moehammad Sinwan alias Lekboss. Sinwan menjelaskan jika perempuan sepuh itu merupakan simbol Ibu Pertiwi.
Sedangkan kelima pemuda yang membawa bendera dengan warna berbeda itu merupakan representasi anak negeri. Melekat ciri-ciri primordialisme, yang mementingkan kelompok dan daerahnya sendiri. “Bendera Rubuh adalah kesaksian,” kata Lekboss.
Pementasan Dua Drama Mini Kata ini berlangsung selama satu setengah jam. Sebelumnya, diawali drama Ndek Ndek Sur. Melalui Ndek Ndek Sur, Lekboss menyampaikan pesan tentang keadilan sosial. Menurutnya, keadilan sosial itu luas.
“Kadang ada orang yang ingin menang sendiri, kadang merampas hak orang lain, kadang orang di-bully (Dirundung) karena orang itu dianggap bodoh,” katanya. Semua keadilan sosial, kata Lekboss, tercermin dalam naskah drama Ndek Ndek Sur. Lekboss secara khusus menyorotti fenomena perundungan yang marak terjadi di Indonesia belakangan ini.
Penonton khusyuk, menyimak pertunjukan sampai akhir. Mereka duduk meriung, mengelilingi panggung utama. Kursi penonton ditata berjarak mengikuti protokol kesehatan. Sebab, pemenntasan berlangsung di tengah pandemi Covid-19.
Usai pementasan, Ketua DPRD Kota Malang, I Made Rian Diana Kartika mengapresiasi penampilan teater di gedung wakil rakyat tersebut. Made menyatakan ruang di DPRD terbuka untuk masyarakat Kota Malang. “Ruangan lantai satu ini silakan dipergunakan untuk kegiatan kemasyarakatan. Silakan kegiatan seni, budaya, dan komunitas diperbolehkan di sini,” katanya.
Made mengaku ditelanjangi, dikritik dengan penampilan teater tersebut. Drama Ndek Ndek Sur dan Bendera Rubuh sarat dengan pesan moral yang kuat. Disampaikan dengan tegas dan lugas. “Saya malu, saya ditelanjangi. Ini perupakan kali pertama saya menonton teater. Luar biasa,” ujarnya.
Drama Ndek Ndek Sur, katanya, menyampaikan pesan agar seorang pemimpin dalam memberikan pesan harus jelas. Selain itu, harus memiliki komitmen demi kesejahteraan rakyat. “Pemimpin itu akan selalu berupaya melakukan yang terbaik. Tak akan merugikan rakyatnya,” katanya.
Made juga akan mengundang Teater IDEoT untuk tampil dalam rapat paripurna DPRD Kota Malang. Melalui teater, katanya, mereka bisa menyentil dan mengingatkan anggota dewan dan para pejabat Pemerintah Kota Malang yang hadir dalam rapat paripurna. “Saya undang Teater IDEoT suatu saat untuk tampil di rapat paripurna,” ujarnya.
Kedua naskah drama ini, bagi Lekboss merupakan sebuah kesaksian. Seperti lagu Kesaksian yang liriknya ditulis Willybrordus Surendra Broto Rendra yang dikenal dengan WS Rendra. WS Rendra menulis lirik lagu untuk kelompok Kantata Takwa.
Lirik lagu berjudul Kesaksian diciptakan bersama-sama Iwan Fals, Yockie Suryoprayogo, Sawung Jabo, dan WS rendra sebagai penulis lirik. Lagu ini seolah menjadi instrumen kreatif untuk mengajak orang-orang bersuara terhadap penguasa yang zalim.
Sama seperti lagu Kesaksian, melalui kedua naskah drama ini Lekboss hendak berbicara mengenai isu yang banyak berkembang sekarang. Khususnya mengenai nilai nasionalisme dan keadilan sosial. Sesuai dengan semangat Hari Pahlawan dan Hari Sumpah Pemuda.
Kesaksian
Aku mendengar suara
Jerit makhluk terluka
Luka, luka
Hidupnya
Luka
Orang memanah rembulan
Burung sirna sarangnya
Sirna, sirna
Hidup redup
Alam semesta
Luka
Banyak orang
Hilang nafkahnya
Aku bernyanyi
Menjadi saksi
Banyak orang
Dirampas haknya
Aku bernyanyi
Menjadi saksi
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga
*Reporter magang, tengah menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya
Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
[…] Kritik dan Pesan Nasionalisme di Gedung Dewan […]