Terakota.id—Jurnalis Kompas Ichwan Susanto mengaku puas saat menjadi koordinator liputan delapan titik terumbu karang. Setelah karya jurnalistik yang disajikan membawa dampak pada kebijakan lingkungan. Menghadirkan jurnalisme lingkungan di media massa.
“Lingkungan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari eternit saat bangun tidur. Isu yang sangat dekat, pembaca perlu mengetahui sebab lingkungan menyangkut kehidupan di masa depan,” ujar Ichwan Susanto dalam refleksi virtual bertajuk Envirotalk SIEJ : Bersama Jurnalis Pulihkan Bumi pada Rabu, 21 April 2021.
Diskusi yang diselenggarakan Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) dilangsungkan untuk memperingati Hari Bumi. Isu lingkungan, katanya, beragam mulai sampah, pencemaran, limbah, lahan, proyek besar yang berhubungan dengan lingkungan, hingga konflik masyarakat.
Ichwan menambahkan isu lingkungan menarik untuk diberitakan dan memiliki porsi di media massa. Ichwan Susanto menambahkan terdapat syarat khusus bagi jurnalis untuk meliput isu lingkungan. Jurnalis lingkungan wajib turun lapangan untuk menjajaki langsung kondisi sebenarnya di lokasi.
“Perlu dilakukan verifikasi, bukan hanya mencomot data di internet. Verifikasi dilakukan berlapis, tak cukup sekali dua kali,” ujarnya. Ichwan menambahkan data yang disajikan bisa jadi hanya angka-angka palsu, sehingga perlu dilakukan verifikasi pada beberapa pihak yang terlibat.
Diskusi bertema “Bagaimana jurnalis meliput isu lingkungan untuk mencegah dan mengurangi dampak krisis iklim?” juga menghadirkan Febrianti (Southeast Asia RJF Grantee), Christopel Paino (jurnalis Mongabay Indonesia), dan Jacko Agun (jurnalis lepas).
Febrianti penerima Southeast Asia RJF Grantee mengangkat pemberitaan mengenai hutan di Pulau Siberut, Mentawai. Liputan ini merupakan proyek Menyelamatkan Pulau Siberut pada 2020 yang didanai rainforestjournalismfund.org.
Menghadirkan sejumlah artikel berita antara lain Suatu Hari di Simatalu, Rumah Terakhir Perimata Mentawai, Macetnya Pembangkit Energi Betung, Sejarah Geologis Pulau Siberut, Terancamnya Pulau Siberut Galapagos Asia. Dalam karya jurnalistiknya, Febrianti mencoba mengulik upaya menyelamatkan hutan Pulau Siberu dari ancaman konsesi hutan.
Dampak terhadap indigenous people (masyarakat adat) Mentawai ditampilkan dalam pemberitaan, seperti akses listrik warga terbatas hanya siang hari. Diberitakan pula ancaman terhadap endemisme penghuni Siberut seperti menipisnya tempat tinggal primata Mentawai, bilou, simakobu, dan joja.
Kisah dari Tanah Papua
Sementara jurnalis Mongabay Indonesia membagikan kisahnya selama melakukan liputan jurnalisme lingkungan di wilayah Papua dan Papua Barat. Papua menjadi wilayah yang tertutup bagi jurnalis dari luar daerah.
“Isu politik di Papua lebih gencar, bahasan mengenai lingkungan bersinggungan dengan banyak isu lainnya. Media akhirnya menjadi tumpuan untuk menginformasikan pada masyarakat,” ujarnya.
Kondisi lainnya, masyarakat lokal memiliki keterbatasan dalam menuliskan isu lingkungan yang terjadi pada mereka jika hendak mencipta jurnalisme warga.
Christopel Paino mendekati warga Papua dalam kurun waktu bertahap, tak hanya sehari. Ia mengikuti kegiatan sehari-hari warga lokal. Bergabung dalam obrolan warga. Melalui obrolan ringan inilah ia melakukan verifikasi data dari sudut pandang warga lokal.
Isu lingkungan menurutnya berhubungan erat dengan kearifan lokal. Di tanah Papua, alam disimbolkan sebagai sosok perempuan, dianggap sebagai ibu, mama. “Di Papua banyak masyarakat adat yang memiliki totem, benda atau binatang yang dipuja, dianggap suci. Satu marga di Merauke memiliki totem kasuari,” ujar Christopel Paino.
Dengan kearifan lokal totem inilah, pada akhirnya habitat kasuari terselamatkan. Sebab secara adat hewan ini tak diperbolehkan ditangkap, diburu maupun dibunuh. Marga lain yang pernah disambangi Christopel Paino memiliki totem lain, cendrawasih dan penyu belimbing.
Christopel Paino menyayangkan praktik pengetahuan lokal yang mendukung kelestarian lingkungan ini kini mulai luntur. Proyek ekstraksi mineral yang datang ke tanah Papua menjadi penyebabnya. Selain itu, pengetahuan budidaya umbi-umbian warga Merauke, Wamena, Timo juga terkikis. Padahal budidaya umbi merupakan komoditas utama mereka, selain beternak babi.
“Warga Merauke, Wamena, Timo punya sekitar 80 jenis umbi. Setelah diidentifikasi ulang tersisa tinggal 30 jenis,” ujar Christopel Paino.
Kondisi yang lebih miris lagi, Christopel Paino tak menemukan makanan khas lokal ketika menumpang tinggal di perumahan warga di wilayah Papua. “Sekarang kebanyakan mereka tak makan sagu atau hewan perburuan. Kini mereka makan nasi dan mie instan,” kata Christopel Paino.
Sebuah paradoks, warga yang tinggal di daerah dengan sumber daya alam kaya, namun tak memiliki akses untuk mengonsumsinya. Sebelumnya, nenek moyang warga lokal menilai hutan sebagai bank, swalayan sekaligus rumah sakit.
Christopel Paino menilai isu pertanian seperti ini jarang diliput media. Hilangnya varietas tanaman lokal, kondisi lahan pertanian lokal hingga perihal perizinan perkebunan.
Sepeda Ramah Lingkungan
Sementara jurnalis lepas Jacko Agun memaparkan bersepeda menjadi upaya ramah terhadap lingkungan. Emisi karbon sepeda motor bisa hemat hingga 2.160 kilogram CO2 per tahun, sementara mobil penumpang 3.888 kilogram CO2 per tahun.
“Manfaat lain bersepeda menghemat 360 liter bensin per tahun bagi pengendara motor dan 1.440 liter bensin per tahun bagi pengemudi mobil,” katanya. Dengan patokan harga bensin pertalite sekitar Rp 7 ribu, katanya, dalam setahun bisa menghemat biaya BBM per tahun hingga Rp 2.754.000 untuk kendaraan motor dan Rp 11.016.000 untuk mobil.