Krisis Komunikasi saat Pendemi Covid-19

krisis-komunikasi-saat-pendemi-covid-19
Para pembicara diskusi buku dan berbagi kisah krisis komunikasi saat pandemi Covid-19.
Iklan terakota

Terakota.idIlmuwan memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan di Swedia selama masa pandemi Covid-19.  Para politikus dan birokrasi mengikuti arahan para ilmuwan. Jika tak mengikuti akan berdampak buruk terhadap citra politikus tersebut. Sehingga, kebijakan yang diambil banyak dipengaruhi masukkan para ilmuwan.

“Pemerintah Swedia sejak Februari 2020 tak menganggap virus ini ringan. Mereka memberi peringatan terbuka jika virus ini akan membuat hidup menjadi berbeda,” kata Artika Rachmi Farmita, mahasiswi pasca sarjana di KTH Royal Institute of Technology Swedia mengutip keterangan pemerintah setempat.

Penjelasan Artika disampaikan dalam diskusi dan bedah buku berjudul Krisis Komunikasi dalam Pandami Covid-19 secara daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu 13 Juni 2020. Artika berbagi kisah beberapa perbedaan antara di Swedia dan Indonesia dalam menyikapi pendemi.

Bahkan, pemerintah Swedia menyadari sejak awal jika virus ini berpotensi merenggut nyawa ribuan orang. Sangat kontras, katanya, dengan Pemerintah Indonesia yang menganggap corona tak berbahaya. Di Swedia, lembaga independen seperti Public Health Agency turut melakukan riset tentang virus corona jenis baru.

Sementara di Amerika Serikat, Heru Pamungkas mengisahkan kondisi Amerika Serikat sangat unik. Meskipun diterapkan lockdown atau karantina wilayah namun kehidupan warga Amerika Serikat berlangsung normal seperti tak ada virus. “Pemerintah menerapkan karantina wilayah pada Maret. Faktanya masyarakat justru leluasa berpesta, konser musik, hingga bertamasya di pantai,” kata jurnalis lepas di 40/29 news.

Sehingga Amerika Serikat mencatat kasus tertinggi di dunia. Kini, jumlah orang terinveksi terus menurun. Sementara pemerintah Amerika Serikat, mengucurkan bantuan social sebesar Rp 20 juta per bulan kepada warganya.  Lantas, warga tak berdiam diri di rumah uang tersebut digunakan untuk belanja dan berwisata.

Kedua penulis buku, Arianto dan Rohmania Chandra Sari menyampaikan kumpulan tulisan itu berangkat dari webinar akademisi Ilmu Komunikasi dari berbagai perguruan tinggi yang diselenggarakan Asosiasi Pendidikan Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (APIK PTMA).

Chandra menyumbang tulisan dengan topik ulasan Alasan Religiusitas dan Komunikasi Efektif Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Covid-19. Chandra berpendapat tokoh agama memiliki peran penting turut serta mengedukasi masyarakat.

“Data Pew Research Center pada 2018, sebanyak 83 persen populasi di Indonesia berpendapat bahwa agama memiliki peran besar saat ini, dibanding 20 tahun lalu,” ujarnya. Sangat disayangkan jika tokoh agama tidak memberikan informasi mengenai pendemo covid-19 secara tepat.

krisis-komunikasi-saat-pendemi-covid-19
Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Nasional Reisa Broto Asmoro saat konferensi pers. (Foto : https://covid19.go.id)

Sedangkan Oni Dwi Arianto mengungkapkan fenomena banjir informasi saat ini. Ia menulis sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah dari peristiwa komunikasi di awal pandemi. “Mengapa pemerintah tidak menggunakan bahasa yang mudah dipahami? Banyak istilah asing yang disampaikan,” kata Oni.

Antara lain lockdown, suspect, physical distancing, social distancing dan sebagainya. Terjadi krisis komunikasi. Sehingga muncul banyak meme dan karikatur lucu yang menyindir pemerintah.

Sementara dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang Bambang Dwi Prasetya menjelaskan kondisi krisis komunikasi di Indonesia akibat kurang sigap memperhatikan early warning system atau sistem peringatan dini. Belum menyadarkan jika ada potensi krisis akibat virus. Pemerintah justru menanggapi dengan enteng seolah-olah virus bukan persoalan serius.

“Krisis ada tiga fase. Yakni pra krisis, krisis dan pasca krisis. Pemerintah terkesan belum siap pada fase pra krisis. Akibatnya saat masuk awal fase krisis, pemerintah kelimpungan. Terlihat kebijakan pemerintah pusat dan daerah tak sama,” katanya.

Harapannya, kata Bambang, ke depan pemerintah bisa membuat kebijakan yang seragam dalam satuan pesan. Pemerintah daerah juga harus mengikuti semua arahan pemerintah pusat sehingga masyarakat tidak bingung. Sebab,  pemerintah daerah merupakan ujung tombak informasi kepada masyarakat terkait Covid-19.