Natalini Widhiasi putri Tedja Suminar, penulis lagu Beludru Sutera Dusunku menari dan membaca puisi berkolaborasi dengan wayang wolak walik, Ki Jumaali. (Terakota.id/Fahrurroji)
Iklan terakota

Terakota.id–Puluhan siswa duduk bersimpuh, meriung mengamati Ki Jumaali Dharmakanda yang tengah memegang sebuah botol plastik bekas minuman ringan. Ki Jumaali memotong bagian tutup dan bawah botol. Lantas botol dibelah menjadi dua bagian, menggunakan gunting. Setelah itu, botol plastik dilapisi kertas dan dipanasi dengan setrika hingga membentuk lembaran plastik pipih.

Setelah pipih, plastik dibentuk berbagai karakter wayang sesuai kebutuhan. Plastik digunting sesuai pola, mulai bagian tangan, badan, kaki sampai wajah. Khusus wajah dicetak sesuai dengan karakter wajah tokoh. Sedangkan bagian lain dilapisi cat kaca berwarna-warni.  Plastik dipilih menjadi bahan baku wayang sejak lima tahun lalu.

Sebelumnya mulai 1996, Ki Jumaali menggunakan kardus dan kulit sapi atau kerbau. Untuk pementasan wayang legenda, yakni karakter wayang menggunakan tokoh legenda dari dongeng masa lalu. Namun, dalang yang juga aktif dalam konservasi lingkungan ini risau dengan banyak sampah botol plastik di tempat sampah. Sementara plastik sulit terurai secara alamiah.

“Plastik botol setelah disetrika semakin kuat beda dengan mika atau plastik lain. Kuat dan tahan lama melebihi kulit,” kata Ki Jumaali. Sementara para perajin wayang memilih kulit sebagai bahan baku wayang purwa karena awet dan tahan lama. Sementara badan wayang dijepit dengan bambu atau rotan.

Para siswa dengan cekatan meniru mengolah botol plastik menjadi sesuai dengan karakter yang diminati. Ki Jumaali memberikan kebebasan kepada para siswa untuk mencari bahan baku dan membentuk karakter wayang. Bahkan, para siswa pedalangan ini juga mencari di tempat sampah untuk belajar dampak kerusakan lingkungan atas sampah plastik.

Musik Pengiring dari Barang Bekas

Anak-anak dan orang dewasa tengah belajar dan berlatih membuat wayang berbahan botol plastik bekas dan rumput di gedung Dewan Kesenian Malang (Foto : dokumen Ki Jumaali)

Saat memainkan wayang, bekas aktivis pusat pendidikan lingkungan hidup (PPLH) ini juga menggunakan instrumen yang terbuat dari aneka barang bekas. Mengangkat kisah keseharian dan isu lingkungan. Berbeda dengan wayang purwa  yang menggunakan cerita epos Ramayana, Mahabarata atau Panji yang diiringi dengan gamelan komplit. Setiap pertunjukan dia diiringi sejumlah pemusik mulai dua orang sampai 20 orang sesuai kebutuhan.

Dalam pertunjukan , bekas Ketua Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini tak sendirian, dia selalu menggelar pertunjukan bersama  Ki Azis Franklin. Mereka duduk saling berhadapan dalam satu layar. Lampu LCD Projector menyorot layar untuk memberikan efek warna-warni cahaya.

“Wayang wolak walik tercipta secara tak sengaja. Awalnya Azis memainkan sapek untuk mengiringi pertunjukan. Azis juga dalang wayang dongeng,” kata Ki Jumaali. Lantas, kini mereka selalu berduet dalam setiap pertujukan yang dilakukan mulai dari perkampungan pinggir kali sampai hotel mewah.

Alur cerita, disesuaikan dengan kebutuhan dan tema acara yang bersumber dari legenda, dogeng dan budaya yang adi luhung. Seperti tokoh punakawan dalam wayang purwa ada tokoh semar, gareng, petruk dan bagong sementara wayang wolak walik diganti dengan bapak, ibu dan anak. Serta dilengkapi dengan karakter prajurit, ulama, dan aneka profesi. Dia menyelipkan pesan moral dan ajaran agama dalam setiap pementasan.

Beragam karakter yang dibuat dalam wayang wolak-walik, mulai tokoh yang melegenda seperti tokoh dalam mitologi, babad, Wali Sanga, Kiai Haji Hasyim Asyari, Gus Dur, hingga Presiden Joko Widodo. Ki Jumaali juga mementaskan wayang wolak walik berjudul “Naga Cacat” memperingati hari air yang diselenggarakan Perusahaan Umum Jasa Tirta 1, pengelola daerah aliran sungai brantas dan bengawan solo.

“Ada pesan isu perubahan iklim dalam pementasan itu,” kata seniman asal Wagir, Kabupaten Malang.  Ki Jumaali yang akrab disapa Lek Jum tengah menampilkan pertunjukan untuk menangkal berita hoax. Bekerjasama dengan Markas Besar Kepolisian, Ki Jumaali akan mementaskan watang wolak-walik dengan lakon “Raden Said Topeng Kembar.” Cerita bersumber dari kisah Sunan Kali Jaga ini relevan dengan kondisi saat ini.

“Raden Said merampok saudagar kaya yang kikir, untuk membantu rakyat miskin. Seperti cerita Robin Hood, tapi kisah ini lebih tua,” katanya. Dalam melakukan aksinya Raden Said mengenakan topeng, namun pada saat yang sama ada orang jahat yang mencuri menggunakan topeng yang sama. Pelaku mencuri dan memperkosa.

“Raden Said difitnah hingga diusir dari kediamannya,” kata Wakil Ketua Umum Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama. Belakangan pelaku sebenarnya tertangkap.

 

2 KOMENTAR