Terakota.id–-Coba kita melihat sejenak alur berpikir sederhana dan dasar seperti ini. Awalnya presiden membentuk Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK). Karena yang membentuk presiden, tentu Presiden mempunyai kepentingan. Apakah presiden sebagai lembaga tinggi negara punya kepentingan? Tentu iya.
Karena presiden itu jabatan politik. Segala keputusan yang dikeluarkan tidak lepas dari perhitungan politik pula. Bahkan setiap lembaga negara yang dibentuk presiden pn tak lepas dari kepentingan politik. Para menteri pembantu presiden sebenarnya juga jabatan politik karena dipilih presiden dan ia memang punya wewenang untuk itu.
Perhitungan sederhananya tentu presiden akan memilih orang yang kira-kira tidak “bermasalah” dengan dirinya. Bayangkan saja, pemilihan panitia pemilu raya di tingkat mahasiswa saja penuh dengan kepentingan politis apalagi setingkat lembaga negara?
Dalam posisi ini kita paham, bukan? Bagaimana mungkin presiden akan memilih orang-orang yang independen meski dipercaya masyarakat umum? Presiden tentu akan memilih “orang-orangnya”. Lalu bagaimana dengan kritikan masyarakat pada Pansel? Itu urusan nanti. Presiden sebagai jabatan politis punya keinginan bagaimana kebijakan yang dijalankan tidak terganggu. Termasuk di sini terganggung dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan KPK.
Lalu, Pansel KPK bekerja. Karena dipilih presiden, ia akan bekerja dengan kepentingan yang ada pada diri presiden juga. Bisa jadi tak secara eksplisit diungkapkan, “Kamu harus bekerja dan mendukung kepentingan saya”. Tentu tidak seeksplisit begitu. Tetapi, secara manusiawi seseorang akan “menanam budi” dan “membalas budi” siapa yang yang memilih dan membiayainya. Dari sini logis bukan?
Ini tidak berkarti menuduh bahwa Pansel KPK itu tidak independen. Masalahnya, Pansel KPK itu juga kepentingan. Kepentingan apa? Kepentingan membentuk calon pimpinan KPK. Dalam hal ini kita lupakan sejenak independensi. Dalam wilayah politik independensi itu sering dikatakan omong kosong. Pansel tentu punya perhitungan tertentu dan mereka sendiri yang tahu.
Kemudian, Pansel bekerja dengan segenap kemampuannya. Jadilah beberapa orang terpilih menjadi Calon Pimpinan (Capim) KPK. Setelah melalui proses pemberkasan, wawancara dan seleksi lainnya terpilihah 10 orang Capim, misalnya. Apa yang dilakukan? Karena Pansel itu ditugaskan presiden, maka mereka harus melaporkan ke presiden juga.
Dalam posisi ini, presiden pun masih punya wewenang untuk mengurangi jumlah yang diajukan Pansel, seandainya ada individu yang tidak cocok. Namun cara begini akan berisiko dan menjadikan presiden tidak populer di masyarakat. Tetapi presiden bisa berlindung dibalik Pansel. Bahwa semua itu sudah dilakukan Pansel. Coba seandianya yang membentuk Pansel itu bukan presiden.
Lalu Pansel bekerja dan melaporkan Capim terpilih kepada presiden. Kok tiba-tiba ada Capim yang bermasalah di mata presiden. Sebelum mengirim ke DPR, presiden punya hak untuk menguranginya, meskipun popularitasnya akan menurun di mata publik. Dan itu berisiko. Tetapi karena jalurnya sudah sesuai “kehendak”, maka apa yang dilaporkan Pansel disetujui begitu rupa.
Selanjutnya, pesiden menyerahkan ke DPR untuk diseleksi. Misalnya dari 10 menjadi 5 orang. Apakah dalam proses seleksi presiden menyerahkan sepenuhnya pada DPR? Tentu saja tidak. “Orang-orang presiden” tentu akan bekerja dan berkomunikasi dengan para anggota DPR. Bukan rahasia umum bahwa setiap keputusan lembaga tinggi negara baik presiden atau DPR selalu terjadi lobi-lobi tertentu.
Loni-lobi itu tentu saja menyesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Presiden jelas sudah bekerja memilih Capim. Keputusan ada di tangan DPR untuk diseleksi. Harus diingat, bahwa keputusan yang diambil DPR itu bukan berdasar pada kepentingan masyarakat banyak, tetapi kepentingan diri dan kelompok.
Misalnya, bagaimana mungkin mereka akan memilih Capim yang pada akhirnya akan mengancam dirinya sendiri? Bagaimana mungkin anggota dewan itu akan memilih Capim yang justru akan membongkar korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan dewan? Dalam posisi ini kita paham bukan?
Memang DPR itu dipilih rakyat. Tetapi setelah menjadi anggota dewan ia akan mulai tumbuh menjadi “dirinya sendiri”. Apakah setiap keputusan politiknya meminta bantuan masyarakat untuk memberikan masukan? Padahal yang memilih masyarakat bukan? Ada yang bilang tidak mungkin karena akan memakan waktu dan biaya tinggi. Tetapi fakta itu menunjukkan bahwa anggota DPR setelah terpilih lebih banyak mementingkan dirinya sendiri. Ini manusiawi. Artinya, dialami oleh setiap manusia. Bahwa orang ingin rasa aman, meski berbuat jahat sekalipun.
Kembali ke soal pemilihan Capim. Kita lihat latar belakang masing-masing lembaga tinggi negara seperti presiden dan DPR. Coba kita bertanya, siapa yang mengusulkan presiden dan darimana asal anggota DPR? Presiden diusulkan dan dipilih untuk menjadi kandidat dari koalisi partai politik (Parpol). Sementara itu, anggota DPR jelas murni berasal dari Parpol. Jadi, asal pendukung presiden dengan DPR sama bukan? Semua berasal dari koalisi Parpol.
Jika sudah sama begini apa yang akan mereka lakukan? Sangat mungkin terjadi kerjasama yang baik antara presiden dengan DPR. Kenapa bisa? “Sumbernya” kan sama? Semua berasal dan memenuhi kepentigan Parpol. Lalu siapa yang mengendalikan Parpol? Tentu pengurus Parpol, termasuk ketua Parpol tentunya. Karena anggota DPR itu juga sebagian besar pengurus Parpol.
Dari sini logika kepentingan apa yang melingkupi presiden dengan DPR bisa dipahami bukan? Yang jelas sumber kekuasaan dan kepentingan antara DPR dan presiden sama. Kalau sudah begini apa yang terjadi? Apakah dimungkinkan kerjasama antara kepentingan presiden dengan DPR? Atau bahkan “main mata” diantara keduanya? Tak ada yang mustahil dalam politik.
Surpres yang Surprise
Kita lalu bertanya, bagaimana memahami revisi UU KPK? Apakah ada kepentingan dibaliknya? Mengapa pada akhirnya presiden berkirim surat mendukung revisi UU KPK? Mengapa keberatan masyarakat tidak didengar presiden dan DPR? Jika kita memakai logika di atas sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu dikemukakan. Bahwa kerjasama antara presiden dengan DPR sudah terjalin itu sebuah keniscayaan.
Sebenarnya, setiap era juga membutuhkan kerjasama antara presiden dan DPR. Tentu saja presiden tidak ingin kebijakan yang dijalankan itu “dirongrong” DPR. Begitu juga sebaliknya, revisi UU yang diajukan DPR dan melalui pembicaraan dengan presiden berjalan mulus.
Jika kepentingan antara DPR dengan presiden tidak bertemu, maka akan terjadi jalan kompromi. Jalan kompromi itu tentu menyangkut kepentingan. Saya dapat apa, kamu dapat apa. Jalan kompromi ini bisa dengan “tawar-menawar”, dengan tawaran, dengan “upeti”, saling mengancam, saling mengungkap keburukan, saling memboikot secara politik. Ini sudah lumrah.
Maka dalam hal ini bukan lagi kepentingan rakyat banyak tetapi kepentingan mereka yang terlibat dalam peseteruan tersebut. Tidak jarang dalam perseteruan ini memunculkan kepentingan pihak ketiga. Misalnya saat kampanye, presiden didukung oleh konsorsium lembaga keuangan X atau penguasa kaliber Y. Maka saat DPR mau merevisi UU yang akan memberikan ruang gerak X atau Y di atas, maka presiden yang berhutang budi tentu tidak akan tinggal diam. Komentar ini bukan soal suka dan tidak suka pada presiden , tetapi ini gejala yang bisa terjadi pada setiap kandidat.
Sekarang bagaimana jika latar belakang koalisi yang mendukung presiden dengan DPR sama? Jawabannya sudah jelas bukan? Jika demikian adanya, maka demokrasi akan berjalan timpang. Demokrasi hanya berjalan dengan baik — dan ini membutuhkan waktu lama — jika ada keseimbangan dalam politik. Tawar menawar politik itu sebenarnya niscaya dalam politik. Hanya kepentingan pragmatis saja yang akan menolak kehidupan demokratis karena tidak menguntungkan diri dan kelompoknya.
Apakah Parpol itu memperjuangkan demokrasi? Nanti dulu. Parpol itu pragmatis juga. Benar bahwa keberadaannya menjadi salah satu ciri pelaksanaan demokrasi tetapi soal perilakunya jangan buru-buru menyimpulkan demokratis. Parpol itu kepentingan. Kepentingan apa? Kepentingan kekuasan. Kalau kekuasaan sudah digenggam, protes masyarakat pun akan dianggap angin lalu.
Dalam posisi ini kita juga paham logika berpikir Parpol, bukan? Apakah kita juga semakin paham bagaimana pola berpikir presiden dan DPR? Juga lembaga politik negara lainnya? Maka, tidak usah terlalu serius ikut-ikutan dukung-mendukung kekuasaan politik. Yang untung mereka, masyarakat tetap buntung. Jadi, nikmati “pertandingan politik” dengan gembira.
Namun, jangan lupa tugas kita tetap menyeru dalam kebaikan. Meskipun kita hanya menyeru layaknya seorang muadzin di masjid-masjid. Perkara ada orang yang akhir nya tergugah pada seruan itu atau tidak yang penting telah berusaha. Menyeru juga tidak mudah, ia akan dibenci oleh pendung fanatik yang didukung. Bagaimana seruan pendukung presiden terpilih pada revisi UU KPK jika memang sudah dianggap penuh dengan kepentingan? Hanya pendukung rasional yang akan tetap kritis. Pendukung yang menjadi fanatik dan diakar emosi buzzer akan diam.
Saatnya menjelang sholat, jangan lupa salah satu “menyeru” dengan adzan. Dengan cara begitu, tugas separoh kita sudah selesai.