Kota Piring, Simbol Kedaulatan Suku Melayu

Reruntuhan benteng istana kota piring, Tanjungpinang. (Foto : Kemendikbud).
Iklan terakota

Oleh : Petra Wahyu Utama*

Terakota.id–Bintan, pulau terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Posisinya strategis berseberangan dengan Singapura dan Johor Baru. Kawasan ini sempat diperebutkan bangsa Eropa meliputi Portugis, Belanda dan Inggris lantaran berada di kawasan perairan yang strategis. Menjadi jalur perdagangan dan lalu lintas kapal lintas benua. Bintan beribu kota Tanjungpinang. Ada sebuah kelurahan istimewa di Tajungpinang, bernama Kelurahan Kota Piring.

Di Kota Piring terdapat Istana yang dulu sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Melayu Johor-Pahang-Riau-Lingga. Kota Piring menjadi pusat pemerintahan tak lepas dari kontestasi antara masyarakat Melayu dengan orang Eropa dan internal para Zuriat atau bangsawan Melayu sendiri. Kini, statusnya dalam lingkup Kelurahan.

Catatn sejatrah menyebut di Pulau Bintan berdiri Kerajaan Bentan. Jauh sebelum Kerajaan Melayu, Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura ada. Masyarakat Kerajaan Bentan serumpun dengan masyarakat melayu di Malaysia dan Singapura. Sebutan Pulau Bentan diambil dari kata “Gunung Berintan.” Lambat laun berubah menjadi Gunung Bentan. Kini dikenal dengan kata Bintan (Aswandi Syahri, 2006: 5).

Bintan kemudian menjadi menjadi bawahan Kerajaan Malaka pada 1396-1511. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, penguasa kerajaan bernama Sultan Ahmad melarikan diri.  Selanjutnya memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Malaka ke Pulau Bintan. Namun terjadi intrik di dalam tubuh kerajaan. Menyebabkan Sultan Ahmad terbumuh. Setelah Sultan Ahmad dimakamkan di Bukit Batu. Posisi Sultan Ahmad digantikan Sultan Mahmud.

Pada 1526, Bintan digempur Portugis dipimpin Pedro Maskarenhaas. Sultan Mahmud dan Laksamana Hang Nadim berperang habis-habisan.  Namun gagal menyelamatkan Bintan dari tangan Portugis. Belanda dan Inggris pesaing dagang Portugis tak tinggal diam, setelah Portugis menguasai perairan Semenanjung Malaka.

Belanda didukung Johor dan Aceh merebut Malaka dari tangan Portugis, 14 Januari 1614. Selepas itu, keturunan Sultan Mahmud pada 1677 membentuk persekutuan kerajaan Melayu. Meliputi Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga, berpusat di Daik. Awal persekutuan dipimpin Sultan Ibrahim Syah (1677-1685). Lantas digantikan anaknya, Sultan Mahmud Syah (1685-1699).

Pergantian raja, menimbulkan konflik internal. Terjadi pertikaian. Hulubalang bernama Laksamana Megat Sri Rama membunuh Sultan Mahmud Syah. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan Bendahara Tun Abdul Jalil. Kemudian memindahkan kembali pusat pemerintahan ke Johor (Hikmat Ishak, 2001: 52).

Pada 1718, Raja Kecil dari Siak menentang pemerintahan Sultan Johor dipimpin Tun Abdul Jalil. Dia mengaku keturunan Sultan Mahmud Syah. Tun Abdul Jalil berusaha menggulingkan kekuasaan. Upaya merebut kekuasaan didukung beberapa zuriat Melayu yakni Melayu Minangkabau, dan Suku Laut.

Raja Kecil melancarkan serangan ke Johor, Tun Abdul Jalil terbunuh. Putra Tun Abdul Jalil bernama Sulaiman Badrul Alam Syah menaruh dendam atas terbunuhnya ayahnya. Dia meminta bantuan Opu Bugis Lima Bersaudara terdiri dari Daeng Parani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Menambung, dan Daeng Kemasi menyerang Raja Kecil.

Terjadipeperangan antara Pasukan Sulaiman yang bergabung dengan angkatan perang Bugis melawan pasukan Raja Kecil di Bintan dan Siak. Raja Kecil kalah dalam pertempuran itu. Lantas Sulaiman diangkat dan dinobatkan sebagai Sultan Johor. Kemudian pusat Kerajaan Johor dipindahkan kembali ke Bintan (Ismail Hussein, 1979: 59). Lantas dibangun istana Kota Piring berfungsi sebagai pusat pemerintahan.

Istana di Kota Piring

Kota Piring menjadi simbol kedualatan Kesultanan (Melayu) Johor-Pahang-Riau-Lingga. Penetapan Kota Piring sebagai pusat pemerintahan tak lepas dari peran Laksamana Malam Dewa seorang juru mudi kapal kebesaran bangsa Melayu, Lancang Kuning. Dia menemukan tempat di bagian hulu Sei (Sungai) Carang yang tepat sebagai pusat pemerintahan.

Sejak 4 Oktober 1722, Sultan Sulaiman memerintah di tempat ini. Kemudian digantikan putranya bernama Sultan Jalil Muazam Syah (1760 -1761). Kemudian berlanjut ke cucunya Sultan Abdul Jalil Syah atau yang dikenal dengan Sultan Mahmud Syah III (1761-1812).

Saat itu seorang Bugis diberi gelar Yang Dipertuan (Yamtuan) menjadi bagian penting dari susunan pemerintahan. Mereka teguh mempertahankan kedaulatan dari campur tangan orang Belanda (Tenas Effendi, 1984:9). Yamtuan Raja Haji menjadi sosok yang disegani karena tegas terhadap orang Eropa.

Di lain sisi, Belanda berseteru dengan Inggris untuk menguatkan hegemoni di Semenanjung Malaka. Belanda melibatkan masyarakat Melayu dalam ranah kontestasinya. Puncak perseteruan terjadi ketika Belanda kemudian secara sepihak menyita kapal Betsymilik Inggris. Dituduh melanggar perjanjian karena tidak menyerahkan sebagian muatan kepada Johor. Kapal Betsydinahkodai Kapten Robert Geddes membawa 1,154 peti candu, ditawan dan dirampas isinya Residen Belanda Gerrid Pangal atas perintah Gubenur Melaka, Pieter Geradus de Bruijn.

Belanda merampas kapal Betsydan barang sitaan tak melibatkan Yamtuan Muda Raja Haji sebagai otoritas lokal Kesultanan Johor. Raja Haji kemudian mendatangi Belanda untuk berunding. Namun perundingan mengalami kebuntuan, gagal. Belanda tersinggung atas sikap Raja Haji yang dianggap berpihak kepada Inggris.

Belanda menyerang Kota Piring pada 6 Januari 1784, namun gagal. Lantaran Raja Haji memiliki pertahanan yang kuat di Pulau Bayan, Tanjung Buntung, Teluk Keriting dan di Bukit Kursi Pulau Penyengat (Buyong Adil, 1971: 133).

Raja Haji kemudian menyusun kekuatan untuk menyerang balik pasukan Belanda. Keberanian ini memicu sultan-sultan dan Zuriat (bangsawan) Melayu lain seperti Selangor turut serta dalam pertempuran. Saling serang antara kedua pihak terjadi diperairan Bintan hingga Malaka. Perang ini dikenal dengan Perang Sosoh.

Kapal Lancang Kuning berperan besar dalam peperangan. Menghadapi terjangan meriam dari kapal Belanda. Perang berakhir ketika Raja Haji tertembak di dada hingga gugur di medan laga pada 18 Juni 1784. Sebagai bentuk penghormatan untuk perjuangan Raja Haji, masyarakat Melayu memberikan gelar Filsabillilah (Rendra Setyadiharja, 2016: 69).

Lukisan Raja Haji Fisabilillah (Sumber: BPCB Kota Tanjungpinang)

Kematian Raja Haji memicu pergolakan masyarakat Melayu di berbagai tempat, melawan Belanda dan Inggris. Untuk menghindari kerugian perang dan jatuhnya banyak korban, Inggris dan Belanda mengadakan kesepakatan pada 1824. Kesepakatan tersebut dikenal dengan sebutan Traktat London. Berisi pembagian kawasan koloni sesuai dengan pengaruhnya masing-masing.

Dalam penentuan wilayah, disepakati bahwa seluruh kawasan di bawah wilayah Singapura merupakan pengaruh Belanda. Sedangkan wilayah yang terletak di atas Singapura berada di bawah pengaruh Inggris. Munculnya perjanjian ini, menandai berakhirnya Kota Piring sebagai pusat pemerintahan.

Merawat Kawasan Cagar Budaya

Setelah melihat sejarah Kota Piring, tentu kita bekas pusat pemerintahan dengan istana indah. Penuh dengan berbagai benda peninggalan sejarah. Namun kondisi di Kota Piring berbanding terbalik dengan bayangan. Sebuah reruntuhan tembok benteng istana tersisa, dipenuhi noda dan lumut. Benteng dinding istana terlihat kusam tak terawat.

Jika melihat lebih detail, bangunan istana terdiri dari tiga tingkat. Berdiri dengan dasar semen bercampur tanah liat bertahtakan pinggan atau piring perpaduan warna hijau dan putih dengan gambar pohon kayu Shongthai dan burung. Piring itu diperkirakan peninggalan Dinasti Ming (1350-1668 Masehi).

Tingkat kedua bertahta tembaga berukirkan ragam warna. Diperkirakan berasal dari Manila, Filipina. Sedangkan, tingkat ketiga berdinding  kaca putih dari Belanda (Yussof, 1992:336). Ketiga tingkat bangunan tampak tak terawat.  Tak ada petunjuk yang mencerminkan simbol kejayaan masyarakat Melayu Bintan saat kegemilangan.

Pemerintah Kota Tanjungpinang menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya. Seorang warga dipekerjakan sebagai juru pelihara Situs Istana Kota Piring. Namun, tak cukup, buktinya sebagian benteng istana sebagian sudah ambruk. Sedangkan sejumlah rumah warga menempel di dinding benteng.

Benteng Istana Kota Piring dipenuhi tanaman liar. Tak terurus dan kumuh. (Foto : Kemendikbud)

Banyak keramik peningalan kerajaan yang pecah dan tidak utuh. Padahal kawasan ini juga selain situs istana juga bertebaran makam pembesar atau bangsawab Melayu. Meliputi makam Daeng Marewa, Daeng Celak, Makam Tun Abbas (Tun bendahara Johor). Juga makam keluarga dan pengikut. Serta pemandian yang disebut Pemandian Putri.

Pemerintah Kota Tanjungpinang harus segera merekonstruksi kembali kawasan dengan melibatkan para ahli. Mulai ahli sejarah, arkeologi, arsitektur, dan tata lingkungan. Serta pihak lain yang berkompeten sebagai pelestari cagar budaya.

Jika Pemerintah Kota Tanjungpinang kewalahan bisa menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuannya untuk mempertahankan warisan dari ancaman kepunahan. Jika perlu, warga setempat direlokasi dari kawasan. Serta dilakukan ekskavasi lanjutan untuk menguak artefak yang tersembunyi dan terpendam di dalam tanah.

Daftar Pustaka

Buyong, Adil, 1971. Sejarah Johor. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ishak, Hikmat, 2001. Warisan Riau: Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris. Pekanbaru: Yayasan Warisan Riau

Hashim, Muhammad Yussof. 1992. Hikayat Siak: Dirawikan oleh Tengku Said. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa & Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Hussein, Ismail, 1979. The Study of Traitional Malay Literature with a Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Setyadiharja, Rendra, 2016  Toponimi Daerah Kota Tanjungpinang. Badan Perpustakaan, Arsip dan Museum Kota Tanjungpinang.

Syahri, Aswandi, 2006. Cogan: Regalia Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang. Provinsi Kepulauan Riau: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya.

* Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro

Artikel ini merupakan salah satu karya Terasiana bertema desa dan kampung bersejarahyang diselenggarakan Terakota.id. Masih ada kesempatan mengirim karya. Silahkan mengirimkan karya melalui surat elektronik ke : redaksi@terakota.id, dengan subjek Terasiana_judul tulisan.

1 KOMENTAR