Kota dan Buldoser

kota-dan-buldoser
Perumahan Tamansari, Bandung digusur. Rumah warga rata dengan tanah. Papan Gang AJI (Jurnalis) di antara bangunan rumah yang ambruk. (Foto : Prima).
Iklan terakota

Terakota.idMiris menyaksikan video penggusuran brutal di Kelurahan Tamansari, Bandung. Setiap penggusuran terhadap ruang hidup manusia pastilah brutal, tak peduli berdalih berdasarkan perintah negara, perintah agama, atau bahkan atas bisikan iblis.

AS Laksana, seorang sastrawan Indonesia yang kini ikut membangun Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) sebagaimana gipsi ajaib, Melquiades, di Macondo-nya Seratus Tahun Kesunyian, pernah menulis cerpen berjudul “Buldoser” dalam buku Bidadari yang Mengembara (2013:75). Dialog dan kalimat-kalimatnya menarik. Misalnya, seperti ini :

“Tapi bukankah penggusuran itu harus ditentang, yah? Rumah kita tak boleh dirobohkan seenaknya.”

“Penggusuran memang harus ditentang. Tapi kau pikir ada cara untuk menghadang laju buldoser?”

Buldoser memang tak bisa diadang. Kata Ayah, karena ia tak punya perasaan.

Meski dengan karakter seorang Ayah yang agak naif, dalam cerpen itu AS Laksana telah berhasil menyajikan betapa penggusuran itu biadab. Ia membuat masyarakat tercerai berai dengan tetangganya, terlepas dari kampung halamannya, anak-anak amburadul sekolahnya, dan tentu saja terganggu aktifitas ekonominya. Di pengujung cerpen, AS Laksana menghadirkan ironi. Sang Ayah yang telah wafat pun seakan terkena kutukan dikejar-kejar buldoser. Karena, makamnya bakal digusur untuk pembangunan jalan alternatif.

Berdasarkan cerpen itu, kini saya punya referensi untuk menyebut setiap orang yang tidak punya perasaan sebagai buldoser. Dan satu lagi, ini ciptaan saya sendiri, setiap orang yang tidak punya perasaan itu adalah, aparat. Kalaupun ada segelintir aparat yang masih merawat perasaan, kita bisa menyebutnya sebagai oknum aparat. Dan jika ditulis dalam sebuah berita, kira-kira bunyinya akan seperti ini: “Presiden Kecewa Ada Oknum Aparat yang Membela Rakyat.” Ingat, ini hanya kira-kira lho. Tenang, para fans jangan marah.

Kota memang sedang berlari. Setiap kota seakan tengah bersaing dalam turnamen pembangunan. Kota bersolek dan berdandan untuk tampil paling maju dan kekinian. Alasan-alasan ekonomi penggerak kegairahan kota yang makin hari kian memuncak ini.

Demi Wajah Kota

Kekuatan ekonomi  menjadi  determinan  utama dalam transformasi  sebuah  kota, begitu anggit Aldo Rossi, seorang pemikir arsitektur kota, dalam  bukunya  The  Architecture of  the  City (1966). Tata ruang  kota  juga menjadi  ajang  perebutan  bagi hegemoni kapitalisme. Ruang, kata Henri Lefebvre dalam Melawan Rezim Infrastruktur (Muhammad Ridha: 2018), adalah ciptaan kelas dominan demi melayani langgengnya corak produksi kapitalis. Kota merupakan salah satu bagian dari ruang yang dimaksud. Dengan begitu, kota tidak lagi bisa dilihat sebagi wilayah yang netral dan statis. Kota menjadi entitas yang dinamis dan sarat benturan antar kepentingan. Bahkan, ruang kota adalah bagian dari komoditas itu sendiri. Ia diperebutkan, dijajakan juga dipertukarkan.

Pembangunan dan penataan ruang perkotaan telah tunduk pada kepentingan ekonomi. Kota dicipta ulang agar mampu merangsang proses produksi terus berjalan sekaligus mampu menampung kelebihan produk yang terus dihasilkan. Di situlah menurut Harvey (2012: 6) pertautan “batin” antara kapitalisme dengan urbanisasi bertemu.

Wajah pembangunan kota yang kapitalistik secara telanjang dapat dilihat dalam bentuk privatisasi ruang-ruang perkotaan, komersialisasi penggunaan kota, pembangunan infrastruktur demi bisnis dan investasi, mendominasinya kawasan-kawasan industri dan perdagangan, pembangunan perumahan-perumahan, hunian dan apartemen mewah, perkantoran-perkantoran megah, dan situs bisinis lainnya.

Pembangunan kota yang dimenangkan oleh kalangan berkapital kuat ini pada akhirnya akan menyingkirkan warga kota yang lemah dan rentan. Mereka kehilangan hak atas kotanya:  Hak untuk berpartisipasi dalam membangun dan menemukan kembali kota; hak untuk hidup berdampingan secara kondusif dan bermartabat; serta hak untuk diperlakukan setara di hadapan pemerintah kota.

Padahal, menurut Harvey dalam Rebel Cities (2012:4), hak atas kota bukan hanya terkait akses terhadap sumberdaya kota, melainkan juga ruang berpartisipasi dalam membangun dan menemukan kembali bentuk kota yang sesuai dengan keinginan warga kota. Namun, yang terjadi justru warga kota yang dianggap menghambat proses pembangunan dipaksa mengalah. Konflik tak terelakkan. Kota-kota besar membangun dengan menggusur. Sebagaimana yang baru saja terjadi di Tamansari Bandung.

Banyak kampung digusur karena dianggap tak selaras dengan wajah kota yang indah, gemerlap dan modern. Dianggap tak mendatangkan keuntungan ekonomi, kampung diratakan dan diganti dengan sesuatu yang menjanjikan secara ekonomi: hunian mewah, apartemen, pusat perbelanjaan, atau area industri. Lapak-lapak pekerja informal juga disingkirkan atas nama penataan. Kota emoh memeluk mereka. Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dianggap mencoreng wajah kota dengan kekumuhan.

Mereka yang Terpinggirkan

Arah pembangunan perkotaan yang kapitalistik juga telah menciptakan pasar tanah yang mengobrak-abrik ruang hidup warga yang harmoni. Ruang terbuka hijau menyempit. Tanah-tanah mengerucut menjadi hak milik segelintir kalangan penguasa modal. Harga tanah melambung dan lambat laun mengeksklusi warga lokal berpenghasilan minim. Mereka terpaksa “mengungsi” ke wilayah-wilayah pinggiran. Bahkan, kebanyakan mereka tak lagi mampu mempertahankan atau membeli tanah sebagai tempat meneduhi keluarga.

Jadilah kota ruang kontestasi yang mirip hutan belantara. Siapa yang kuat, dia yang memenangkan pertarungan. Satu sisi, kota tetap menjadi tujuan disemaikannya harapan mayoritas warga korban ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Dari desa dan pinggiran, mereka mengalir dan membanjiri kota tanpa bisa dibendung. Kota pun makin sesak.

Sedang di sisi lain, pembangunan perkotaan berjalan melayani kaum kaya. Akibatnya, pertentangan antar kelas makin terasa di kota. Di titik inilah warga kota yang menengah ke bawah menjadi tertuduh biang kerok segala persoalan yang terjadi di kota. Mereka dianggap biang macet, pelaku utama kriminalitas dan pelacuran, penyebab kekumuhan, dan tudingan-tudingan minor lainnya.

Tentu saja, pembangunan kota yang kapitalistik ini tidak sekadar menggusur dalam artian fisik dan geografis. Tapi, juga mengubah dan menggerus aspek lain yang sosio-kultural dan historis sifatnya. Karena telah menjadi ruang kontestasi, sikap individualis dan saling curiga semakin subur mengiringi pertumbuhan kota.

Perumahan Tamansari, Bandung digusur. Rumah warga rata dengan tanah. Papan Gang AJI (Jurnalis) di antara bangunan rumah yang ambruk. (Foto : Geril).

Ketetanggaan yang saling kenal, sapa dan gotong royong kian hari kian luntur. Identitas kebudayaan dan nilai historis kampung-kampung yang menghidupi kota makin ambyar. Ia tergantikan dengan dimensi-dimensi baru yang selaras dengan arah pembangunan kota.

Pembangunan kota yang diiringi luka, darah, peluh, juga air mata ini, dalam sastra juga dapat kita baca dalam Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Ditulis Raudal Tanjung Banua dan terbit Oktober 2018. Dalam salah satu cerpen, (Hidup) Matinya Sebuah Kota, ia mengatakan, “dalam kota yang berlari, terus berlari, kusaksikan orang-orang lokal, orang-orang gusuran, pemilik kota yang sejati, malah terabaikan, seperti bagian kota tua dibiarkan terlantar, menunggu ambruk atau runtuh, mungkin akan menimpa memori kepalamu. Betapa sedih dan mengancam!” (hal. 174).

Karya Raudal ini menarik. Ia melakukan eksperimentasi dengan meletakan kota-kota sebagai subjek cerita dan bukan sekadar latar cerita. Konflik dibangun selaras dengan konflik-konflik yang sedang dihadapi kota-kota yang dikisahkan. Kota di dalam kumpulan cerpen ini, ibarat makhluk hidup. Hal ini bisa dilihat dari cara penamaan Raudal atas kota-kota dalam ceritanya. Ada Kota Ikan, Kota Hikayat, Kota Perantauan, Kota Rawa, Kota Gaib, dan sebagainya. Mereka ditempatkan Raudal sebagai sesuatu yang hidup, bergeliat, punya karakter, bahkan terluka, tercabik dan mati.

Lantas, apa yang bisa menjadi obat dari kota yang sekarat?

Dalam pengantarnya di buku Meniti Arus Lokal-Global: Jejaring Budaya Kampung, Melani Budianta (2018: 9) mengatakan, bahwa kampung dapat menjadi solusi dari penyakit kota. Ia menyarikan pesan-pesan kunci dituliskan di dalam buku oleh para pembakti kampung yang tergabung di Jaringan Kampung Nusantara (Japung). Alam, keragaman seni-budaya, modal sosial, pengetahuan lokal, dan nilai-nilai historis, dapat digali, dikelola, dihidupkan dan disumbangkan sebagai jawaban atas penyakit perkotaan.

Sumberdaya kampung ini dapat menjadi alat transformasi, medium resistensi, atau bahkan menyodorkan alternatif. Namun, ketika salah mengelola, sumberdaya kampung tersebut akan terdampar sebatas komoditas. Misalnya, mandek sebagai destinasi wisata semata.

Kampung ialah entitas nyata di dalam tubuh kota. Ia pengiring setiap sejarah pasang surut sebuah kota. Kota tanpa kampung ibarat malam dingin tanpa kekasih. Hampa. Karenanya, kampung kota yang telah merasakan guncangan, kontraksi, bahkan terluka akibat proses pembangunan perkotaan berhak tampil menyuarakan kegelisahan, kegalauan, keterasingan, dan kepedihannya.

Dengan begitu, kota berlari tak gampang meninggalkan atau menabrak kampung. Mabuk pembangunan tak lantas leluasa menggilas, merobohkan, dan menggusur kampung. Biarkan kota dan kampung mengarungi waktu semesra dua sejoli tengah kasmaran: Lengket tak mau terpisah dan mencoba saling memahami. Jangan hancurkan hubungan kota-kampung seperti pemerintah Bandung menggusur Tamansari.