
Terakota.id–Seorang teman mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan adegan pembunuhan di depan matanya. Kepulangannya ke Jawa Timur dengan meninggalkan profesinya sebagai guru di Sampit adalah untuk menyembuhkan trauma yang dialaminya. Jangankan melihat darah manusia, melihat darah hewan yang disembelih saja, ia nyaris pingsan.
Tiap kali mengingat peristiwa tersebut, seketika ia lemah lunglai. Sekali pun ia tidak sendiri, banyak di antara rekan-rekannya juga mengalami hal yang sama, namun ia merasa sunyi di tengah keramaian. Hari-harinya dilalui dengan lamunan dan tatapan yang kosong.
Masyarakat Sampit, Kalimantan Tengah, baik yang beretnis Dayak maupun Madura, tak pernah melupakan peristiwa kelam 20 tahun silam. Di luar kedua etnis tersebut, mereka yang tinggal di kota itu, juga terkena imbasnya. Kerugian tidak hanya dalam bentuk harta benda, namun mereka juga mengalami penderitaan psikologis bertahun-tahun lamanya.
18 Februari 2001, setelah didahului dengan serangkaian peristiwa yang berujung saling balas dendam, dimulailah konflik terbuka di Sampit, antara etnis Dayak Membaca Tubuh Manusia Madura melalui Menjahit Kertassebagai penduduk asli Kalimantan dengan kaum pendatang, yang sejak zaman kolonial Belanda juga turut merawat dan membangun tanah ini, etnis Madura. Bentrokan ini meluas sampai ke beberapa daerah di Kalimantan, dan seperti dilaporkan oleh media masa selama bulan Februari saja diperkirakan 500-an orang dari etnis Madura terbunuh. Dari etnis Dayak juga tak sedikit yang menjadi korban dalam peristiwa ini.
Menurut catatan sejarah, etnis Madura telah mendiami pulau Kalimantan sekitar tahun 1930-an, sejak pemerintah Hindia Belanda mencanangkan program transmigrasi antar pulau, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Republik Indonesia. Pasca tragedi berdarah tersebut banyak terbit tulisan, baik dalam bentuk artikel, buku, hasil penelitian, dan juga karya sastra yang merekam peristiwa tersebut. Berdasarkan beberapa sumber didapatkan bahwa di balik meluasnya konflik Sampit tak lepas dari ulah sebagian orang yang dengan tega mengolahnya untuk kepentingan politik.
Salah satu penulis yang mengabadikan tragedi berdarah itu adalah Sirikit Syah. Aktifis kemanusiaan dan hak perempuan yang bernama asli Hernani Sirikit ini memotret tragedi berdarah tersebut dalam puisinya “Balada Maryamah dan Putra Angin”. Puisi yang ditulis tahun 2001 ini diterbitkan kembali dalam sebuah kumpulan puisi bersama puisi-puisinya yang lain yang ditulisnya dalam banyak latar etnis dan budaya yang beragam. Balada Maryamah dan Putra Angin menjadi judul yang dipilih Sirikit untuk kumpulan puisi ini. Pada bulan Juli 2020, tepat di hari ulangtahunnya yang ke-60, Sirikit Syah meluncurkan buku puisinya.
Dua etnis yang telah lama saling menjalin relasi yang harmonis dalam segala segi, termasuk di dalamnya sudah terjadi banyak pernikahan di antara mereka, dan beranak-pinak, mendadak menggelorakan saling permusuhan satu sama lainnya. Sirikit Syah menuangkannya dalam baris-baris yang indah dan menyentuh relung jiwa yang paling dalam, yang tentunya dalam perspektif feminis.
Sebagaimana konflik pada umumnya, korban yang paling menderita adalah para perempuan dan anak-anak. Maryamah yang sedang hamil harus kehilangan sang suami yang terbunuh di tangan Putra Angin, yang tak lain adalah kekasih lama Maryamah sendiri: Putra Angin dengan ikat kepala merah/dan mandau di tangan/seketika menebas kepala suaminya dan darah muncrat/ke wajah Maryamah yang terkesima./Dengan badan menggigil dan wajah pucat pasi Maryamah berlutut/di tangan kekasihnya jualah nasibnya ditutup.
Selain sebagai sastrawan, Sirikit Syah adalah seorang jurnalis senior. Puisi Sirikit juga terasa segar dan hangat. Dendam etnis yang dibungkus dengan dendam cinta abadi ini, sebagaimana realitasnya saat ini, konflik Sampit pun telah berakhir. Di perantauan tempat dia mengungsi, Maryamah meninggal dunia. Adegan mengharukan, ketika Putra Angin yang sepanjang hidupnya sangat mencintai Maryamah pada akhirnya bisa menerima anak Maryamah laksana anaknya sendiri, sekali pun anak tersebut berdarah Madura. Dengan penanya, Sirikit Syah ingin menutup kabut kelam yang menyelimuti Sampit kala itu: Tapi tangannya/mengusap kepala anak itu/“Mulai sekarang, kamu adalah anakku/yang menyentuhmu, harus berhadapan denganku”/ujarnya dengan kewibawaan seorang Kepala Suku.
Usai konflik, masing-masing kembali pada jati diri sebagai manusia, makhluk paling mulia di muka bumi ini yang selalu menjunjung tinggi hukum cinta, sebagaimana diungkapkan oleh Mahatma Gandhi dalam All Men are The Brothers (1958) bahwa bukanlah pantang kekerasan bila kita hanya mencintai orang yang mencintai diri kita. Sikap pantang kekerasan yang sejati ialah jika kita mencintai orang yang membenci kita. Saya sadar bahwa sungguh sulit untuk menerapkan sedemikian rupa hukum cinta yang mulia ini. Namun bukankah memang selalu sulit melakukan sesuatu yang baik dan mulia?
Tak diketahui dengan pasti sejak kapan manusia membunuh manusia lainnya. Dalam Tanakh, kitab suci Yahudi, yang dalam konteks Kristiani disebut dengan Perjanjian Lama, konflik antar manusia usianya setua sejarah manusia itu sendiri. Kisah Kain dan Habel adalah cerita pertama tentang pembunuhan manusia oleh manusia lainnya (Kejadian 4). Kisah ini juga diabadikan dalam kitab suci Quran.
Tanakh juga mencatat bahwa konflik Israel-Palestina merupakan konflik etnis terlama di dunia. Terlepas dari pendapat sebagian sejarawan kitab suci yang meragukan bahwa bangsa Filistin dalam Tanakh adalah Arab-Palestina sekarang, namun yang menarik adalah perang di antara keduanya sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Orang Israel maju berperang melawan orang Filistin dan berkemah dekat Eben-Haezer, sedang orang Filistin berkemah di Afek. Orang Filistin mengatur barisannya berhadapan dengan orang Israel. Ketika pertempuran menghebat, terpukullah kalah orang Israel oleh orang Filistin, yang menewaskan kira-kira empat ribu orang di medan pertempuran itu (1 Samuel 4:1-2).
Menurut Andew E. Hill dan John H. Waltan, dalam A Survey of the Old Testament (1991), peristiwa-peristiwa dalam kitab Samel terjadi pada bagian pertengahan akhir dari abad ke-11 dan bagian awal abad ke-10 sebelum Masehi. Jika dihitung hingga kini, maka konflik itu sudah berlangsung lebih dari 3.000 tahun. Jika menengok ke belakang, konflik tersebut sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh agama, sekali pun saat ini sentimen keagamaan turut mewarnainya.
Peristiwa Sampit adalah salah satu konflik yang berbau etnis yang terjadi di tanah air, yang kemudian dibumbui dengan aroma agama untuk kepentingan politik adu domba. Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari banyak etnis dan keyakinan, sampai hari ini masih terus dihadapkan pada masalah konflik, tidak hanya konflik antara penduduk asli dan pendatang, namun demikian konflik itu juga terjadi antar etnis yang telah mendiami teritorial yang sama dalam masa ribuan tahun.
Banyak karya sastra yang juga turut mengabadikan peristiwa konflik tersebut. Selain Kalimantan, Papua, sebagai pulau terbesar di Indonesia yang didiami oleh beragam suku juga masih dihadapkan pada masalah konflik, tidak hanya konflik dengan pendatang dari luar Papua, namun juga konflik antar suku di pulau itu.
Dorothea Rosa Herliany melukiskan konflik etnis di Papua dengan membuka dan menutupnya dengan keyakinan masyarakat Aitubu tentang matahari, bulan, bintang, dan manusia: Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak lelaki dan bulan adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah. Matahari datang siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah mata burung, mata kuskus, mata kodok. Sedangkan cahayanya cemerlang, itu mata manusia (Isinga, hlm. 1 dan 209).
Novel yang diberi judul Isinga ini diterbitkan kali pertama pada Januari 2015 oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Dorothea bercerita tentang konflik antar kelompok di Papua dalam balutan cinta abadi antara Meage dan Irewa. Ketika membaca Isinga, kita tidak hanya diajak untuk menyusuri bukit, lembah, hunian, dan pedalaman hutan di Papua, namun Dorothea tak lupa memerkenalkan banyak kosa kata dari bahasa daerah setempat, sebagai bagian dari kekayaan budaya kita yang banyak orang sudah tidak bangga lagi terhadapnya.
Di banyak tempat, baik di dalam dan di luar negeri masih banyak etnis yang harus memertahankan identitas budayanya, termasuk bahasanya melalui perjuangan panjang. Bagi masyarakat Bangladesh, misalnya, pada 21 Februari 1952 adalah hari kelabu. Sejumlah orang meninggal dan ratusan lainnya terluka ketika polisi melepaskan tembakan kepada para demonstran yang istiqomah memerjuangkan bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa nasional Pakistan selain bahasa Urdu. Kala itu negara ini masih menjadi bagian dari Pakistan. Untuk mengenang perjuangan mereka, dan penghargaan atas keragaman bahasa, sejak tahun 2000, tiap tanggal 13 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day).
Meage dalam Isinga adalah idealisme Dorothea tentang arti penting keberanian: Keberanian adalah yang paling penting dari semua kebajikan. Dengan keberanian manusia bisa belajar tentang kebajikan lainnya secara terus menerus (Isinga, hlm. 179). Perjuangan dan keberanian Meage lebih dari sekadar apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Banglades dalam memertahankan bahasanya. Idealisme Dorothea juga dititipkan pada Irewa. Sebagai tokoh perempuan tangguh, Irewa telah melewati pelbagai penindasan kaum lelaki, namun ia bertahan. Sekali pun tanpa menentang adat, namun pada akhirnya ia bisa membebaskan kebodohan kaumnya dan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
Isinga dalam novel Dorothea berarti perempuan atau ibu. Sebagai perempuan, Irewa dikorbankan sebagai yonime, yakni sebagai alat untuk perdamaian antar suku yang sedang konflik. Ia harus menikah dengan Malom, orang Hobone. Irewa pernah menolak lamarannya, namun Malom menculiknya. Dalam tradisi setempat, perempuan dapat menolak lamaran laki-laki, namun siapa pun tak dapat menolak keputusan adat. Sekali pun cinta Irewa hanya untuk Meage, namun Irewa tak bisa menolak keputusan adat yang harus mengorbankan dirinya demi perdamaian: Perempuan menjaga keseimbangan manusia dengan manusia lain. Manusia dengan alam. Manusia dengan roh nenek moyang (Isinga, hlm. 91).
Sebagai karya yang sebagian besar berlatar waktu era Orde Baru, Dorothea juga menggambarkan kekejaman militer dan polisi terhadap penduduk setempat. Masyarakat Papua tidak hanya menghadapi perang saudara dengan sesama penghuni pulau ini saja, namun harus berhadapan dengan penguasa: Karena itu, siapa saja yang dicurigai, langsung ditangkap. Ada yang disiksa sampai mati (Isinga, hlm. 167).
Di era pemerintahan yang otoriter dan hanya memiliki tiga kontentan dalam pemilihan umum, rakyat Indonesia saat itu selalu dibayangi dengan ketakutan untuk bersuara berbeda dengan suara resmi pemerintah. Tiap kali pemilu selalu bisa ditebak kontestan mana yang akan keluar sebagai pemenangnya. Pemilu adalah sekadar pemanis buatan dan bumbu penyedap rasa bagi terlaksananya demokrasi abal-abal.
Sebagaimana terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia, tidak memilih partai penguasa akan menjadi masalah yang sangat serius. Militer sebagai bagian dari elemen yang melanggengkan kekuasaan adalah garda paling depan menyukseskan kemenangan partai penguasa: Ternyata setelah hasil pilihan dilihat petugas pemerintah, tidak semua mencoblos pohon. Memang gambar pohon sudah yang paling banyak. Tapi ada gambar lain yang juga dicoblos. Ini membuat tentara marah. Itu dianggap berani melawan (Isinga, hlm. 107).
Kini Papua tak lagi seperti dulu. Datangnya manusia dan budaya lain tak selamanya berakibat buruk bagi peradaban lokal. Beberapa di antaranya justru akan semakin memperkaya khazanah peradaban. Sebagai pemuda yang dibesarkan dan diasuh oleh Pendeta Ruben dan Bapa Leon, seorang dokter asal Jerman, Meage memiliki pandangan lain tentang hidup: Manusia tak boleh membunuh manusia lain. Hidup adalah hak, manusia harus dijaga dan dipertahankan. Kalau sakit, dirawat agar sembuh. Kalau memang mati, biarlah itu karena alam. Bukan karena manusia lain (Isinga, hlm. 38).
Akhirnya, kita perlu mencatat prinsip hidup mereka, orang-orang pedalaman ini: Akahi paekehi yae ewelende, wali onomi honomi eungekende. Jika semua orang kau anggap saudaramu, hidupmu akan aman dan damai (Isinga, hlm. 158). Bukankah itu tak kalah indah dan menarik dibandingkan kata-kata bijak Mahatma Gandhi? Selamat menggali kebijaksanaan sekali pun Anda harus menuruni lembah-lembah di pulau Papua.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)