
Terakota.id–Indonesia akhirnya memutuskan menggunakan vaksin Sinovac yang berasal dari China untuk mencegah perluasan penularan virus Covid-19. Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin. Dalam perspektif komunikasi publik, langkah yang dilakukan oleh presiden sangat baik. Keraguan publik kepada pemerintah mengenai vaksin Sinovac dijawab dengan suntikan vaksin kepada presiden.
Sayangnya tidak lama setelah presiden mendapatkan suntikan vaksin, Politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ribka Tjibtaning menolak program vaksinasi corona. Penolakannya terhadap vaksi corona memantik kontroversi yang sebelumnya sempat mereda. Anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini bahkan menyatakan akan memilih membayar denda ketimbang disuntik vaksin corona.
Di era media digital, statemen kontroversial seperti dengan segera bergema. Apalagi pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh tokoh publik. Krisis yang terjadi akibat Covid-19 tidak seperti krisis kesehatan yang terjadi di masa sebelumnya. Ini terutama karena akses yang bersifat kolektif dari publik terhadap teknologi komunikasi dan informasi.
Berbeda dengan flu Spanyol yang terjadi di tahun 1918, krisis Covid-19 adalah pandemi pertama di masa media sosial. Pandemi flu Spanyol terberitakan oleh jurnalis yang bekerja di institusi media, sedangkan pandemi Covid-19 bukan hanya dikabarkan oleh jurnalis, namun juga orang biasa. Orang biasa yang dimaksudkan di sini adalah non jurnalis yang memproduksi pesan yang ditujukan kepada publik secara luas melalui media sosial.
Media sosial telah menerabas batas dalam proses produksi pesan yang bersifat massif. Di masa teknologi masih belum digital, institusi media sangat kuat. Di masa ini, publik mengandalkan pesan yang diproduksi institusi media, yang di dalamnya melibatkan kerja profesional para jurnalis dan redaksi.
Berbeda dengan di masa media sosial, yang secara mendasar sangat bersifat digital, siapapun bisa menjadi penyebar pesan bagi publik. Aktivitas jurnalisme warga dengan beragam formatnya marak dilakukan, meskipun fatalnya acapkali tidak didasari dengan kompetensi jurnalisme yang layak. Salah satu yang menonjol mengundang kontroversi publik adalah kasus wawancara yang dilakukan musisi Erian Aji Prihartanto, yang populer dengan nama selebritis Anji, dengan Hadi Pranoto yang mengaku menemukan obat Covid-19.
Tanpa proses verifikasi, Anji memproduksi konten wawancara di Youtube yang berisi wawancaranya dengan Hadi Pranoto. Lebih fatal lagi, ketiadaan kompetensi jurnalistik, menjadikan Anji terpesona dengan Hadi Pranoto dengan ikut menyebutnya sebagai profesor. Kontroversi yang terjadi di bulan Agustus 2020 ini menjadi salah satu bukti yang menunjukan bahwa lingkungan informasi kita telah jenuh.
Dalam lingkungan komunikasi yang jenuh, publik menjadi kewalahan. Bahkan media massa arus utama pun merasakan dampaknya. Komunikasi publik yang buruk oleh pemerintah terutama di masa Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menambah kepanikan publik. Buruknya komunikasi publik oleh kementrian ini di masa Terawan Agus Putranto terjadi sejak awal pandemi Covid-19, dengan salah satu pernyataannya yang menyebut virus Corona belum masuk ke Indonesia di bulan Februari 2020 saat menolak permodelan dari Universitas Harvard.
Mengkomunikasikan Vaksin
Kontroversi komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR seharusnya harus segera dihentikan, terutama dalam proses vaksinasi. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah agar komunikasi publik tentang vaksin Covid-19 bisa berlangsung dengan baik.
Pertama, komunikasi publik seharusnya diorientasikan untuk melayani publik dengan informasi terkait kebijakan pemerintah yang sudah, sedang, dan akan dilakukan. Berbagai saluran komunikasi, baik melalui media konvensional maupun digital, harus digunakan oleh pemerintah. Interaksi dalam komunikasi publik menjadi penting untuk dilakukan di era digital.
Mukhlis Amin dan Yayat D. Hadiyat dalam artikel penelitiannya yang berjudul Penilaian Keberhasilan Komunikasi Publik Oleh Humas Pemerintah Melalui Sistem Informasi Penanganan Covid-19 Di Kota Makassar yang dimuat di Jurnal Pikom (Penelitian Komunikasi dan Pembangunan) Vol. 21 No.2 Desember 2020 menyebutkan agar komunikasi publik yang dilakukan melalui sistem informasi penanganan Covid-19 ini lebih berhasil, humas pemerintah disarankan melakukan kegiatan interaktif dengan masyarakat secara online sehingga ada interaksi yang berkelanjutan antara humas pemerintah dengan masyarakat.
Kedua, melibatkan publik dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan pemerintah tentang vaksinasi Covid-19. Pelibatan masyarakat ini bisa dilakukan dengan menggandeng tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat. Pemberian vaksin kepada influencer yang memiliki banyak pengikut di media sosial, menjadi salah satu program implementasi dari pelibatan publik ini. Organisasi profesi dan masyarakat, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) dan sejenisnya perlu semakin diintensifkan oleh pemerintah dalam membangun komunikasi publik.
Ketiga, komunikasi publik tentang vaksin Covid-19 harus berbasis fakta, data, dan updating informasi. Ini misalnya berkaitan tentang kemampuan pejabat pemerintah untuk menjelaskan tentang pilihan jenis vaksin, efikasi vaksin dan lain sebagainya.
Keempat, pejabat pemerintah harus mampu menjelaskan tentang vaksinasi secara proporsional. Ini berarti pejabat pemerintah dalam komunikasi publik tidak seharusnya bersikap ofensif dan tidak defensif dalam berkomunikasi. Kemampuan pejabat pemerintah yang bisa menjelaskan secara runtut dengan mendasarkan pada data, menjadi kunci dalam komunikasi publik sehingga masyarakat bisa hidup tenang dalam sengkarut informasi di media sosial.
