difabel-bertahan-di-masa-pandemi
Finantius Feriadi dan Adi Gunawan beserta penyandang tuna daksa memproses pewarnaan kain dengan teknik jumput dan kain ikat. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.idPopulasi disabilitas di Kota Malang sebanyak 2.929 jiwa. Terdiri atas disabilitas ganda 39 persen, sonsorik 29 persen, daksa 23 persen, intelektual delapan persen dan mental satu persen. Sekitar 51 persen laki-laki dan 49 persen perempuan.

Data berasal dari Kementerian Sosial, Forum Disabilitas dan Dinas Sosial,” kata Fasilitator Program Pemberdayaan Ketenagakerjaan dan Kewirausahaan Bagi Penyandang Disabilitas Malang-Pasuruan, Khusnul Khotimah dalam workshop isu inklusi dan kesempatan kerja bagi disabilitas yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) secara daring, Kamis 19 Agustus 2021.

Khusnul menyembut beragam kondisi disabilitas di Kota Malang. Di bidang pendidikan, orang tua memiliki kesadaran memberikan pendidikan bagi anak penyandang disabilitas di sekolah inklusi dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Bahkan, sejumlah penyandang disabilitas berpendidikan sampai sarjana dan bekerja sesuai bidang yang diminati.  “Warga Kota Malang mulai menerima kehadiran difabel,’ katanya.

Sedangkan dalam bidang ketenagakerjaan difabel daksa, rungu wicara, low vision dan autis bisa bekerja secara mandiri. Namun, lowongan kerja bagi mereka masih minim. Tak banyak perusahaan yang membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. “Meski Undang-undang mewajibkan satu persen tenaga kerja disabilitas, tapi banyak ditemukan ketidaksesuai kompetensi dan kebutuhan perusahaan,” ujarnya.

Tantangannya, kata Khusnul kurang komunikasi antara pemerintah dengan dunia usaha untuk program keterampilan yang dibutuhkan penyandang disabilitas. Selain itu, penyandang disablitas kurang pelatihan keterampilan, akses pendidikan dan dunia kerja.

Sementara Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan agar penyandang disabilitas diberi kesempatan, tanpa diskriminasi, kesetaraan, keberagaman, dan inklusif. “Komnas HAM dalam rekrutmen ASN menerima disabilitas,” katanya.

Tantangan terbesar, katanya, bagaimana meletakkan disabilitas dalam aspek pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), bukan charity atau amal karena kasihan. Komnas HAM menilai pemerintah daerah tidak memberi ruang kebijakan yang berpihak kepada disabilitas. Sehingga politik anggaran disabilitas lemah, tak ada ruang cukup untuk disabilitas.

“Pendekatannya selama ini charity, bukan pemenuhan HAM,” katanya. Anam juga menilai banyak pemerintah daerah yang tak memiliki data disabilitas. Padahal database dibutuhkan untuk mencari solusi dan politik anggaran yang berpihak terhadap disabilitas.

Anam juga menyinggung liputan media yang menggunakan pendekatan kemanusiaan semata. Padahal disabilitas memiliki kemampuan, namun kesempatan dan hak yang belum setara.

“Liputannya mengharu biru. Seolah merendahkan kapasitas. Ini justru tumbuh kembang stigma,” katanya.