Ilustrasi Komedi Stamboel (Foto : ayorek.org)
Iklan terakota

 

Terakota – Kota Pelabuhan. Sebutan itu disematkan ke Surabaya di masa Hindia Belanda. Menjadi salah satu pusat utama perdagangan saat itu. Tidak cuma jadi pintu keluar bagi kolonial Belanda mengangkut rempah nusantara ke luar negeri. Surabaya di era itu juga menjadi pintu gerbang seni pertunjukan internasional masuk ke Hindia Belanda.

 

Komedie Stamboel adalah salah satunya. Sebuah seni pertunjukan teater musikal bergaya Eropa. Kelompok opera Komedie Stamboel kali pertama muncul di Surabaya pada tahun 1891. Nama Stamboel diperkirakan berasal dari Istanbul, Turki. Apalagi di awal pertunjukannya banyak mengangkat cerita – cerita dari Timur Tengah seperti Hikayat Seribu Satu Malam.

 

Komedie Stamboel dipelopori oleh seorang Indo bernama August Mahieu. Sedangkan urusan dana dibantu oleh Yap Goan Thay. Para aktor pertunjukkan ini juga banyak Indo peranakan Belanda dan dipentaskan dalam bahasa Melayu.

 

Komedie Stamboel menjadi satu genre kebudayaan populer di Hindia Belanda, khususnya Surabaya saat itu. Dari awalnya hanya pentas di Kota Pelabuhan Surabaya, kelompok ini terus melaju dengan tur keliling ke berbagai kota bahkan sampai ke Singapura dan Malaya.

DIALOG. Garin Nugroho dan produser Teater Koma Ratna Riantiarno. (Foto : Istimewa)

Sineas Garin Nugroho mengatakan, Surabaya dalam sejarah republik ini menjadi salah satu sumber dari perkembangan seni pertunjukan di tanah air dengan bukti berdirinya Komedie Stamboel yang dipengaruhi oleh berbagai kelompok orkestra luar negeri.

 

“Komedie Stamboel menjadi cikal bakal tonil drama. Seni keroncong juga dibesarkan lewat pertunjukan ini,” kata Garin.

 

Komedie Stamboel memberikan sumbangan besar pada perkembangan kesenian rakyat seperti keroncong, ludruk, ketoprak sampai lenong. Stamboel memiliki melodi – melodi standar yang harus diikuti oleh penyanyi dan musisi keroncong yang ikut bergabung. Alhasil, melodi standar itu menjadi kerangka dasar lagu – lagu keroncong sampai gambang kromong.

 

Berawal hanya satu kelompok, akhirnya bermunculan kelompok lainnya yang memainkan Stamboel. Seperti kelompok Miss Riboet di tahun 1925, kelompok Dardanella di tahun 1926, kelompok Miss Tjitjih di tahun 2928, kelompok Tjahaya Timoer tahun 1942 dan sampai pada Srimulat tahun 1950.

 

Melihat berbagai fakta sejarah itu, Garin Nugroho menyebut Jawa Timur dan Surabaya khususnya dahulu menjadi pusat kesenian. Jika saat ini muncul apa yang disebut industri kreatif, maka Jawa Timur sudah lebih dahulu menjadi daya hidup pertama industri kreatif itu dengan hidupnya seni pertunjukan. Ironisnya, seni pertunjukan di Jawa Timur setelah era 1970 – 1980 an justru ada kemunduran.

 

“Sekarang ada kemunduran. Industri kreatif lebih dikonsentrasikan pada seni yang dianggap gaul, berbasis teknologi tinggi,” ucap Garin.

1 KOMENTAR