Koalisi Seni: Ada Hambatan Kekayaan Intelektual sebagai Jaminan Utang  

Pertunjukan Sinematik Wayang Shri Rajasa Sang Amurwabhumi di Taman Krida Budaya Jawa Timur, memikat penonton.(Terakota/Wulan Eka).
Iklan terakota

Terakota.IDOrganisasi nirlaba bidang advokasi kesenian, Koalisi Seni mendukung produk Kekayaan Intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank dan non bank. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif.

Sehingga pelaku seni bisa menjaminkan objek KI, kontrak kerja, maupun hak tagihnya. Mekanisme serupa telah diterapkan di Singapura, India, dan Korea Selatan. Namun, Koalisi Seni menemukan ada masalah struktural yang bisa menghambat penerapan PP Ekraf tersebut.

“Sistem kekayaan intelektual saat ini  belum memadai untuk melindungi hak para pencipta dalam proses mendapatkan hak cipta,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni, Heru Hikayat dalam siaran pers yang diterima Terakota.

Peneliti kebijakan seni Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca menjelaskan seniman masih terkendala tata kelola manajemen hak cipta. Misalnya dalam sektor film, negara belum mengurus aturan royalti. Selama ini, royalti hanya diatur dalam kontrak antara produser dengan pelaku industri.

Sedangkan sektor musik, nominal penerimaan royalti performing rights tergolong rendah. Royalti seharusnya dikelola secara transparan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. “Adapun dalam sektor seni rupa, resale rights atau porsi royalti untuk pencipta dari transaksi pembelian yang bersifat publik, masih belum diterapkan di Indonesia,” kata Aicha.

Sementara sektor penerbitan, pembagian royalti bergantung kesepakatan dalam kontrak antara penerbit dan penulis. Sedangkan sektor pertunjukan teater dan tari, belum memiliki mekanisme valuasi yang spesifik atas karya pertunjukkan. Diperparah dengan kesadaran kekayaan intelektual yang belum baik di Indonesia.

Sistem yang belum mapan, kata Aicha,  dikhawatirkan dapat mengurangi nominal jaminan utang. Dalam Pasal 12 PP Ekraf mengatur salah satu pendekatan yang dipakai dalam pemberian jaminan melalui pendekatan pendapatan. Artinya, penilai akan mengkaji potensi komersial objek kekayaan intelektual, lewat proyeksi pendapatan calon debitur. Hasil penilaian itu akan menentukan nominal jaminan.

Selain persoalan sistem kekayaan intelektual, ada masalah lain terkait akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan kebijakan KI sebagai jaminan utang. Pada Pasal 10 (B) PP Ekraf mencatat, salah satu syarat dalam menjaminkan hak cipta sebagai objek jaminan adalah, objek tersebut telah dikelola dengan baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain. Artinya, objek yang dapat dijaminkan memiliki rekam jejak finansial yang dikelola baik oleh pemegang hak cipta.

Lantaran lembaga pembiayaan tentu menghindari risiko gagal bayar dari para debitur. Namun, menurut Aicha, muncul kesan jika syarat itu hanya bisa dipenuhi oleh pelaku ekraf yang sudah mampu mengelola dengan baik hak cipta miliknya.

“Pertanyaannya, apakah mereka yang belum memiliki rekam jejak finansial yang dinilai baik, dapat mengakses metode pembiayaan tersebut?,” tanya Aicha. Bagaimana pula seniman yang memiliki karya di luar pasar arus utama, hingga belum bisa meraup keuntungan komersial sebesar mereka yang berada di dalam pasar arus utama.

Koalisi Seni mendorong pemerintah untuk segera mengevaluasi penerapan perlindungan hak cipta. Tujuannya, agar seniman dapat menjaminkan hak cipta sesuai PP Ekraf. “Tentunya, permodalan berbasis hak cipta hanya akan terwujud dengan optimal jika pelaksanaan manajemen sistem hak cipta kita sudah mengakomodasi  kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni, Heru Hikayat.

1 KOMENTAR