Kita Telah Melawan, Nak, Nyo!

Iklan terakota

Terakota.id–Akhirnya memang hanya ada kepedihan yang tersisa. Betapapun Nyai Ontosoroh tegar berkata, “Kita telah melawan NakNyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”

Hanyalah Minke yang meraung-raung. Ketika kekasihnya, tak menoleh lagi. Hatinya pasti tersayat-sayat!

Annelis telah diambil paksa pengadilan kolonial. Dipulangkan ke Belanda. Sungguh, demikian tak adilnya hukum itu. Yang memisahkan Minke dari Annelis Mellema!

Eropa. Pribumi. Diskriminasi. Penindasan. Perlawanan. Nasib manusia. Tangisan. Ratapan. Kekalahan. Kegetiran. Cintakasih. Melankolis. Idealis. Romantis. Keluguan. Kebebasan. Nyai. Dan sederet lagi bisa kita catat dari “Bumi Manusia”, karya monumental Pramoedya Ananta Toer yang belakangan difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo.

kita-telah-melawan-nak-nyo
Bumi Manusia. @Falcon Pictures

Masa itu memang menyesakkan. Sebagai bangsa yang mewarisi bumi, air dan kekayaan alam lainnya, tanah yang indah dan subur, nelangsa, terhisab semua oleh kaum kolonial. Orang Belanda, Eropa!

Nyai Ontosoroh berkata pedih, sekaligus mewakili perasaan semua. Kalimatnya kontradiktif, sinis. Kalau Eropa mengenalkan dirinya sebagai bangsa berperadaban tinggi, mengapa yang dilakukannya di sini, menindas, menginjak-injak harkat dan martabat manusia merdeka!

Eropa menciptakan hukum sendiri. Dimainkan sendiri. Untuk kepentingan sendiri. Keadilan bagi mereka ialah ketidakadilan bagi semua warga jajahan.

Nyai Ontosoroh. Minke. Annelis Mellema. Darsam. Sederet nama lain, pribumi, campuran, Belanda. Eropa. Betapa kaum kolonial mengacak-acak struktur masyarakat sesuai selera mereka. Manusia Eropa yang pintar, modern, yang menemukan benda-benda ajaib, kereta api, mesin cetak, berjas dan berdasi, tetapi sekaligus yang tak mau sederajat dengan yang lain!

Penguasa kolonial yang telah secara sistematis mendesain birokrasinya dengan memanfaatkan loyalis ningrat Jawa, memang menempati struktur tertinggi hirarkhi feodal. Ningrat Jawa yang fatalistik, menganggap pangkat dan jabatan yang diberikan kolonial sebagai telah menaikkan derajat mereka.

Kepincangan, ketidakadilan, pemasungan, penghinaan, penindasan, kemelaratan, semua itu dirasakan, tak saja oleh Minke, tapi siapa saja yang hidup di masa itu. Yang gaungnya masih bergetar hingga kini. Hanya anak kaum ningrat yang bisa mengakses pendidikan. Rakyat jelata dibiarkan bodoh saja. Menjadi kuli-kuli yang berpanas-panas, dengan upah tak layak.

Tak merasakan zaman itu, saya kekurangan narasi. Tapi, gambarannya seperti yang disampaikan Bung Karno ketika membacakan pembelaannya “Indonesia menggugat” di persidangan Landraad, Bandung, 1930.

kita-telah-melawan-nak-nyo
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Tooer. @Gramedia

Kita tahu siapa Pram yang pernah mendekam di Pulau Buru pasca-1965. Generasi kini, barangkali tak bisa menghayati kepedihan apa yang dia rasakan. Terlepas politik, kekuasaan, sejarah kelam, pasang naik pasang surut zaman, ada manusia Pram yang menulis tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jajak langkah, dan Rumah Kaca!

Tak bisa membayangkan kita, bagaimana kiranya kalau kini masih Orde Baru. Taklah bisa kita baca secara bebas buku-bukunya. Bisa kena hukuman bertahun-tahun! Hanya karena membaca buku, fiksi! Apalagi, kalau sampai dibikin film. Tapi kini, zamannya lain.

Kelirulah kalau sekadar membaca tetralogi itu, pun menonton filmnya langsung akan tersihir pikiran ideologis. Pembaca barangkali akan sekadar menikmati ketersedu-seduannya meratapi Sanikem, dara ayu yang dipaksa ayahnya yang kemaruk, yang karena ingin diangkat sebagai asisten juru bayar, rela menjual anak gadisnya sebagai gundik Tuan Mellema!

Juga mungkin pembaca muda akan sekadar meratap-ratap berlelehan air mata di pipi (yang bahasanya Didi Kempot “netes luh neng pipimu”), ketika coba hayati kisah cinta anak muda R.M Tirto Adhi alias Minke dengan blasteran pribumi-Belanda Annelis Mellema (dimainkan dengan baik oleh Mawar De Jongh) yang nian jelita!

Dan, Nyai Ontosoroh sendiri, betapa berwibawanya dia. Manusia pribumi yang otodidak, mandiri, tanpa pendidikan formal, tapi berkelas profesional. Justru ketika, suaminya yang dulu baik, Tuan Mellema tersungkur ke lembah nista.

Ketidakadilan berpusar-pusar dalam drama panjang itu. Modern, menjadi modern seperti Eropa, Barat, ialah cita-cita yang ditumpangi segala bentuk penindasan, kesombongan diri, kepicikan hidup, nafsu kebinatangan, dan segala keburukannya di mata Timur, bangsa kita.

Ditindas oleh sistem yang tak mungkin dimenangkan golongan pribumi seperti Nyai dan Minke, di hadapkan pada tembok tebal yang tak mungkin bisa dihancurkan dengan kepal tanganmu, kalimat apalagi yang hendak keluar dari mulutmu.

“Kita kalah, Ma! Kita kalah!” Sinyo Minke meraung-raung. Sejadi-jadinya. Anak muda idealis yang ingin menghirup udara kebebasan ini, harus bertabrakan dengan feodalisme masyarakatnya, bahkan pun keluarganya. Dia juga ingin semua manusia sederajat, merdeka, tanpa penindasan. Tapi kepal tangannya terlalu lemah untuk memukul tembok yang tebal.

Jalan nasib telah menyeret Minke ke alam nyata, ke bumi manusia, ke zona yang tidak selalu nyaman, bahkan zona yang penuh bahaya. Dia anak ningrat, anak bupati, penuh previlege, bisa sekolah dengan teman-teman Belandanya, bisa berkarir di birokrasi kolonial. Hal mentereng pada masanya!

Bukan karena dia kepelet nyai. Atau, tersihir kejelitaan Annelis. Ada masalah kompleks di sana. Pun sepotong kebebasan a la Eropa yang diberikan Nyai kepada Minke. Mana tanggung jawabmu, Nyo?

Semua ikhtiar sudah dilakukan. Semua perlawanan sudah dilakukan. Dan, Nyai Ontosoroh pun berkata, hal yang penuh makna dan kehormatan. “Kita telah melawan NakNyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”***