Kisah Pendakian Kuna di Semeru

Gunung Semeru memiliki riwayat panjang pendakian sejak masa akhir Majapahit. Di lereng-lereng semeru bertebaran situs. Prasasti di tepi Ranukumbolo merupakan salah satu jejak perjalanan mencari air suci di gunung suci. Tiga arca di perbatasan vegetasi dengan medan berpasir juga diyakini terdapat punden berundak yang masih terpendam.

Prasasti yang berada di Ranukumbolo ini tertulis 'Ling deva ‘pu Kameswara tirthayatra'. Diperkirakan sejak masa akhir Majapahit. Tafsir lain menyebutkan kata Kameswara merujuk kepada Raja Kediri, namun oleh arkeolog Dwi Cahyono kesimpulan itu terlalu belum sepenuhnya benar. (hari Istiawan/Terakota)
Iklan terakota

Terakota.idPahatan aksara Jawa tertulis rapi di sebuah batu yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Batu ini tertanam di tepi danau yang disebut Ranu Kumbolo, sebuah danau yang berada di ketinggian 2.400 meter dpl (di atas permukaan laut) yang masuk kawasan Gunung Semeru. Di sekitar prasasti masih terlihat sisa-sisa bunga aneka rupa yang mulai mengering, bekas pembakaran dupa yang sudah tinggal tangkainya. Prasasti ini, oleh banyak tafsir dibuat oleh rohaniawan yang menyebut dirinya Mpu Kameswara.

Tulisan prasasti cukup singkat. Menghadap ke barat atau membelakangi danau. Aksara jawa itu berbunyi ‘Ling deva ‘pu Kameswara tirthayatra’. Kata ‘yatra’, menurut Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, berarti perjalanan spiritual. Bukan sembarangan perjalanan. Sehingga diartikan perjalanan spiritual menuju ‘tirta’ atau air. ‘Yang dimaksud adalah ranukumbolo,”kata Dwi Cahyono, kepada Terakota.id.

Sebelum kata ‘tirthayatra’, ada nama Kameswara, dan sebelum nama ini ini juga tertulis ‘deva pu Kameswara’. Sejumlah arkeolog, kata Dwi, merujuk kepada Kameswara yang juga Raja Kediri (1182-1188 Masehi), yang pada saat melakukan tirthayatra sudah tidak menjabat sebagai raja, tapi sebagai rohaniawan karena ada kata ‘deva pu’ di depan nama Kameswara.

Pendapat ini dinilai Dwi Cahyono terlalu dini atau belum sepenuhnya benar karena beberapa alasan, yakni pertama, tulisan di dlam prasasti partikelnya (honorifix prefix) tidak lazim digunakan untuk seorang raja karena menggunakan kata ‘deva pu’. Kata ini, oleh Dwi Cahyono jelas merujuk kepada rohaniawan, bukan raja. “Kalau raja biasanya menggunakan kata ‘sri’ atau gelar lainnya yang lazim digunakan untuk raja,” kata Dwi.

Selanjutnya yang kedua, secara geografis Gunung Semeru dan wilayah Kediri jaraknya cukup jauh dan waktu itu ditempuh menggunakan transportasi yagn sederhana. Selain itu, untuk melakukan ‘yatra’ atau perjalanan spiritual di sekitar Kediri juga ada gunung seperti Wilis atau Kelud.

Pertimbangan yang ketiga, aksara yang tertulis di prasasti ranu kumbolo ada kemiripan dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di Semeru bagian selatan, mulai Ampelgading, Malang hingga Senduro, Lumajang. Aksara di selatan Semeru itu dibuat pada masa kejayaan Majapahit hingga masa akhir Kerajaan Majapahit antara abad 14-15 Masehi.

“Terlalu tergesa-gesa menyimpulkan prasasti Ranukumbolo dibuat Raja Kediri hanya berdasarkan nama Kameswara saja,” kata Arkeolog Dwi Cahyono.

Ranu Kumbolo Sebagai Tempat Satre

Adanya prasasti di Ranukumbolo menandakan pada abad 14-15 Masehi sudah ada pendakian-pendakian suci atau perjalanan spiritual ke Gunung Semeru. Perjalanan mencari air suci memang lazim dilakukan oleh para rohaniawan pada masa  Majapahit, seperti yang pernah dilakukan Raja Hayam Wuruk yang mencari air suci di wilayah kekuasaannya. Perjalanan Hayam Wuruk ke Sumber Wendit, Sumber Awan, dan Telaga Biru yang berada di wilayah Malang ini direkam oleh Mpu Prapanca dalam kitabnya Negara Krtagama.

Baca juga:

Dwi Cahyono menyebut, air suci yang disakralkan di Ranukumbolo ini berbeda dengan di tempat-tempat lainnya seperti telaga atau sumber yang berada di titik mata airnya atau titik-titik tertentu. Kata ‘ranu’ sendiri identik dengan penyebutan ‘cekungan yang terisi air’. Istilah ini juga hanya digunakan di wilayah Jawa Timur bagian timur.  “Kalau di Ranukumbolo, seluruh airnya yang berada di danau itu yang disakralkan dan dianggap suci,’ kata Dwi.

Dan menurutnya, Ranukumbolo bukanlah akhir dari ‘yatra’ yang dilakukan tapi puncak ‘Meru’ lah yang menjadi tujuan utama dari ‘yatra’ tersebut. Sebab, Gunung Semeru yang dianggap sebagai gunung suci karena diidentikkan dengan puncak Meru di Himalaya yang disakralkan sebagai ‘nirwana’ tempat para dewa.

Sehingga, ranu kumbolo hanya dijadikan tempat singgah atau istilahnya ‘satra’ dan di Bali dibaca ‘Satre’. Kata Satre oleh Dwi tidak hanya berarti singgah saja, tapi juga ada ritual atau ibadah. Karena itu, Dwi yakin di Ranukumbolo dulu ada semacam bangunan seperti altar atau bangunan suci yang digunakan untuk beribadah. Mungkin bentuknya dari bahan yang tidak bisa bertahan lama,” kata Dwi.

Perjalanan ke Mahameru ini juga seperti digambarkan dalam kisah Mahabharata yang dilakukan oleh para Pandawa dan orang-orang yang selamat setelah perang saudara. Dalam perjalan yang berat ini juga banyak yang meninggal dan hanya Yudhistira dan anjingnya yang bisa menggapai puncak nirwana.

kisah-pendakian-kuna-semeru
Ranukumbolo, yang seluruh air danaunya suci, dan berada di gunung yang suci Semeru. (Hari Istiawan/Terakota)

Dwi Cahyono juga memperkuat pendapatnya tentang perjalanan yang berat ke Mahameru dengan menafsirkan relief di Candi Jajaghu atau Candi Jago di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Ada relief di candi ini yang menurut Dwi merupakan gambar Kunjarakarna atau percabangan jalan. “Percabangan jalan ini satu berbentuk lurus, dan cabang satunya berkelok-kelok dan mendaki,” kata Dwi Cahyono.

Gambaran jalan yang berkelok-kelok dan mendaki di relief Candi Jago ini ditafsirkan Dwi Cahyono sebagai perjalanan menuju Mahameru yang merupakan tempat para dewa atau surga. Sehingga titik akhir dari ‘yatra’ yang dilakukan oleh Pu Kameswara adalah puncak Mahameru atau nirwana. Dan cabang jalan yang lurus ditafsirkan perjalanan menuju neraka.

Arcapadha Menuju Nirwana

Mpu Kameswara tidak hanya singgah di kawasan suci Ranukumbolo saja ketika melakukan yatra ke puncak Mahameru. Rohaniawan ini juga singgah atau satre di tempat yang kini di sebut Archapadha. Sebuah tempat yang menurut Dwi Cahyono sangat dekat atau perbatasan antara medan berpasir dan hutan. Lokasinya juga berada di titik persimpangan kalilahar dingin semeru.

Beberapa tahun lalu, Dwi Cahyono mengunjungi kawasan Arcaphada yang tidak banyak arkeolog bisa menemukannya. “Dulu memang sempat dikabarkan hilan arca yang berada di sana, tapi ternyata masih ada. Ini bukti bahwa tempat ini juga mejadi lokasi persinggahan pendakian spiritual pada masa itu,” kata Dwi.

Memang lokasinya sangat berbahaya dan tidak disarankan atau saat ini bahkan dilarang untuk mengunjungi lokasi ini. Sebab, medanya sangat berbahaya, kecuali untuk hal-hal yang sangat penting seperti riset.

Menurut Dwi, Arcapadha ini merupakan tempat satre yang sangat strategis dan kalau orang dulu mendaki melalui jalur ini (sekarang jlaurnya tidak bisa dilalui dan ditutup) merupakan jalur yang terdekat menuju puncak Mahameru. “Dari Arcapadha puncak sangat terlihat jelas. Saya yakin di sini dulu merupakan punden berundak,” ujar Dwi Cahyono.

Saat ini, kata Dwi, kemungkinan tertutup oleh pasir dan batu akibat lahar dingin. Sebab, lokasi Arcapadha berada di persimpangan kali lahar. Yang menarik, saat ini masih ada tiga arca yang sayangnya bentuk sudah tidak utuh lagi. Yang satu kepalanya tidak ada dan dua lainnya hanya bagian pinggul ke bawah.

Dari bentuknya, Dwi menafsirkan tiga fragmen arca itu adalah bentuk Bima. Fungsi Bima sendiri, kata Dwi, berfungsi sebagai peniada bahaya. Ditempatkan di persimpangan kali lahar agar terhindar dari murka alam (Semeru). Sehingga, persinggahan di Arcapadha juga sebagai tempat ritual dan melakukan puja-puja memohon keselamatan.

Lokasi ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat sebelum menuju puncak Mahameru yang medannya sangat berat dan berbahaya pada masa itu. “Sampai saat ini juga masih dilakukan orang-orang tertentu, terlihat masih ada sisa-sisa atau bekas ritual di sana,” kata Dwi.

Jalur Kuna

Dwi Cahyono menggambarkan pendakian spiritual pada abad 14-15 Masehi diperkirakan dilalui dari dua lokasi. Ini bisa dilihat dari sebaran situs-situs yang berada di dua tempat ini. Jalur pertama bisa melalui kawasan Gubugklakah, Poncokusumo. Di kawasan watupecah terdapat banyak punden berundak yang juga menjadi tempat singgah dan melakuka ritual sebelum menuju ke Mahameru.

kisah-pendakian-kuna-semeru
Seorang pendaki tengah mengamati prasasti di tepi Ranukumbolo. (Hari Istiawan/Terakota)

Jalur ini memang sangat ekstrem dan sangat berat jika dilalui sehingga sesuai dengan gambaran ‘yatra’ yang merupakan perjalanan yang berat dengan jalur yang berkelok-kelok seperti yang digambarkan di relief Candi Jago. Gambaran sulitnya menggapai nirwana ini sangat sesuai jika yatra yang dilakukan pada masa itu melalui jalur ini.

Jalur kedua yakni melalui sisi selatan Semeru atau dari Senduro atau Ampelgading. Di sana juga banyak ditemukan punden berundak, prasasti, dan petilasan yang partikel aksaranya mirip dengan di Ranukumbolo. Prasasti-prasasti di selatan Semeru ini berasal dari abad 15 atau di masa Majapahit akhir.

Kesucian dan kesakralan Gunung Semeru ini sebanding dengan Himalaya yang memang tidak mudah untuk mencapainya. “Seluruh air danaunya suci, dan berada di gunung yang suci,” kata Dwi mengakhiri.

4 KOMENTAR

  1. […]  Terakota.id-Sutono, 35 tahun, warga Ranupani, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang duduk di depan tungku. Sesuai tradisi Suku Tengger, ia menyambut empat tamu di depan tungku sembari duduk di kursi kayu. Tak di ruang tamu seperti tradisi masyarakat Jawa yang lain. Bongkahan arang kayu ditumpuk, bara air mengusir hawa dingin di lereng Gunung Semeru. […]