Kisah Para Bangsawan

kisah-para-bangsawan
Ilustrasi : Ode/Majalah Bobo
Iklan terakota

Terakota.id–Di kampus kami, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), setiap mahasiswa punya hak untuk memilih kelas dan jam kuliah. Kampus menyediakan pilihan, para mahasiswa itu tinggal “mengklik” secara online kelas dan jam yang dipilih. Jadi, mereka harus segera memilih untuk mendapatkan jam dan kelas yang diinginkannya. Juga, bisa  janjian satu kelas dengan teman lain. Bagi yang tidak cepat-cepat, maka ia akan mendapatkan kelas dan jam sisa.

Diantara jam yang yang dihindari mahasiswa kelas pertama (jam ke-1 yakni jam 07.00). Ini terjadi hampir setiap semester. Usut punya usut ternyata mereka menghindar jam tersebut karena malas bangun pagi. Ternyata banyak diantara mereka yang sudah menjadi “bangsawan” (bangsa tangi awan). Artinya, golongan yang biasa bangun siang.

Para mahasiswa tersebut biasa begadang latut malam. Entah ngopi, ngobrol, main  kartu. Apalagi di Malang ada warung kopi yang memang buka sampai dini hari atau bahkan ada yang 24 jam. Nongkrong sampai larut malam tentu bukan diskusi. Agak lucu jika diskusi dilakukan dini hari, misalnya. Kebiasaan ini membuat mereka tak biasa tidur cepat. Maka, jadilah menjadi para bangsawan, mereka yang biasa bangun siang.

Tentu saja para bansawan ini tak mengetahui banyak hal saat mereka bangun. Saat saya membuka bimbingan skripsi jam 07.00 misalnya, mereka jarang yang datang. Namanya juga bangsawan. Karena suatu hal, kadang saya mengumumkan bimbingan skripsi mendadak habis shubuh, bahwa nanti jam 07.00 akan dibuka bimbingan skripsi. Biasanya dikampus. Sesekali di warung kopi, tentu dalam kondisi darurat.

Kondisi darurat bimbingan di warung kopi dilakukan karena angkatan “tua” sudah malu ke kampus. Maka, bimbingan di luar kampus sering menjadi alternatif. Saya juga pernah beberapa kali bimbingan di stasiun kereta api Malang saat mau ke Yogyakarta.

Para bangsawan itu  tentu susah untuk mengikuti bimbingan jam 07.00 tadi. Mereka barus adar setelah membaca informasi di grup, bahwa bimbingan sudah kelar. Besok begitu lagi. Beruntung bagi mereka yang kemudian sadar dan berusaha bangun pagi untuk mencermati informasi lain yang berguna, termasuk jadwal bimbingan.

Memang bangun siang itu biasa dilakukan oleh mereka yang ogah-ogahan. Tak terbiasa kerja keras. Tidak punya target tertentu yang harus diperjuangkan. Sementara   hidup ini mengajarkan mereka yang biasa bangun pagi lebih mendapatkan kesuksesan. Kitab-kitab suci juga mengajarkan untuk menganjurkan bangun pagi.

Ada banyak hikmah dalam bangun pagi. Tak saja soal rezeki, tetapi juga kesehatan dan keuntungan lain. Yang jelas bangsawan adalah mereka yang sadar belakangan bahwa telah terjadi banyak hal saat mereka belum bangun. Tentu bangsawan akan mengatakan, “Lebih baik bangun terlambat daripada tidak sama sekali”. Sebuah ungkapan pembelaan diri yang umum terjadi.

Sedang  Tidak Baik-baik

Bangsawan ternyata tidak hanya terjadi di dunia mahasiswa. Ia muncul di setiap tempat. Bukan soal bangunnya kesiangan. Tetapi sadar bahwa semua sudah terjadi dengan terlambat. Memang, sekali lagi tak ada kata terlambat. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun berpikir dengan cepat dan mempertimbangkan setiap kemungkinan dengan sumber daya yang ada tentu pilihan yang lebih bijak. Sekali lagi, memang tak mudah memutuskan. Tetapi setiap keputusan akan berimbas pada banyak hal.

Kita lihat misalnya kasus penanganan Covid-19. Sekali lagi, mungkin diskusi soal pandemi ini membosankan. Sama dengan membosankan saat orang disuruh di rumah saja. Bayangan masyarakat di rumah saja tidak berbulan-bulan. Bekerja di rumah juga tidak terlalu lama. Namun nyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan.

Kluster penyebaran virus muncul lagi. Di banyak tempat. Seolah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak ada gunanya. Masyarakat sudah telanjur bosan dengan kebijakan yang kurang cepat. Bosan juga di rumah terus. Saat virus ini muncul pertama kalinya, pemerintah banyak pertimbangan ini dan itu. Antara kepentingan menekan virus dengan kepentingan ekonomi. Akhirnya kebijakannya terkesan tambal sulam.

Belum reda penyebaran virus yang hanya dihimbau itu mulai ada kebijakan baru. Misalnya membuka mall, memperbolehkan angkutan umum beroperasi, membuka tempat wisata dan sebagainya. Virusnya saja belum diatasi tetapi karena pertimbangan ekonomis maka memberikan kebijakan baru. Seolah memancing agar virus menyebar secara luas.

Kita paham, bahwa geliat ekonomi memang sedang tidak baik. Kebijakan membuka akses bagi pertumbuhah ekonomi saat pandemi membuktikan bahwa ekonomi kita sedang “tidak baik-baik”. Meskipun dengan berbagai alasan yang dirasional-rasionalkan.

Meski pada pendukung pemerintah mengatakan ekonomi kita bisa meroket, mengalami pertumbuhan yang signifikan, dan tidak akan goncang. Sekilas kita terpesona. Tetapi kalau memang demikian kenapa mengatasi pandemi covid-19 terkesan “amburadul”? Jika memang alasan tak mau karantina wilayah alasan ekonomi bukankah ekonomi kita tumbuh baik sebagaimana selama ini diklaim?

Sementara sudah banyak saran dari kalangan akademisi yang dihasilkan dari naskah akademik dan penelitian tidak dijadikan pertimbangan. Pertimbangan ekonomi tetap menjadi titik utama. Sementara masyarakat tahunya kita ini negeri kaya dengan banyak sumber daya alam dan manusia. Tentu pendapat ini akan menjadi beda jika yang mengatakan para pembela pemerintah.

Kembali ke Bulan Januari

Saat ini, wabah virus itu terus menyebar. Indonesia ada kemungkinan akan memecahkan rekor tinggi sebagai negara yang mempunyai penderita virus itu. Kita tidak bermaksud menyalahkan pihak-pihak tertentu. Apalagi menyalahkan pemerintah. Bukan itu. Ini hanya mencoba introspeksi diri atas apa yang sudah kita lakukan. Apakah kebijakan yang dikeluarkan benar-benar sesuai harapan?

Tak usah mengeluarkan jurus membela diri. Misalnya kata-kata, “Saatnya kita tidak menyalahkan pemerintah. Harusnya apa yang akan kita kerjakan  ke depan. Menyalahkan pemerintah tidak akan bermanfaat. Penting kiranya kita disiplin diri untuk menekan penyebaran virus ini”.

Kata-kata itu bijak tentu sekali. Tetapi mengandung “bius” untuk tak mau jika pemerintah itu disalahkan. Yang salah tetap masyarakat karena tidak patuh. Tetapi setiap kebijakan yang berkait erat dengan masyarakat sumbernya juga berasal dari pemerintah, bukan? Ini Indonesia dengan sistem sentralisasi kebijakan dan hukum, kebijakan masih berada di tangan pemerintah. Ini menjadi sumber yang tak bisa dipandang sebelah mata.

kisah-para-bangsawan
Ilustrasi : Mufcartoon/Poliklitik.com

Jalan tengahnya, anggap saja kita berada di bulan Januari 2020. Saat itu virus ini baru menyebar di Wuhan, China. Jika kita mengaca pada bulan Januari itu, kita masih terlena dengan virus ini. Bahkan dengan gagahnya kita menolak bahwa virus itu akan menyebar ke Indonesia. Indonesia negeri tropis, virus tidak cocok. Dan banyak kata-kata para pejabat pemerintahan yang saling bersahutan satu sama lain untuk membela diri. Sebaiknya masyarakat tenang, katanya waktu itu.

Jika saat ini kita berada dan mengaca lagi pada bulan Januari 2020 apa yang  sebaiknya kita lakukan? Masih santai dan menolak bahwa virus covid-19 hal yang biasa atau bagaimana? Tentu ada orang yang mengatakan, tidak mungkin membayangkan kita berada di bulan Januari. Mustahil. Ya kalau tidak mau apa yang sebaiknya kita lakukan untuk menekan virus ini?

Tentu tak serta merta menyalahkan masyarakat yang tak disiplin. Masyarakat kita sudah telanjur tidak disiplin. Fakta ini sudah dikenal. Aturan hukum formal saja dianggar apalagi hanya himbauan? Kenapa tidak menyalahkan sumber awal karena kebijakan pemerintah kita soal pananganan covid-19 ini yang terkesan tarik ulur dan kurang tegas? Jadi, jangan melulu menyalahkan sesuatu yang sudah terjadi (disiplin masyarakat), tetapi kita melupakan sumber masalahnya.

Dalam posisi ini mending kita menjadi bangsawan (bangsa tangi awan). Tetapi, bangsawan sadar bahwa kebijakan yang dilakukan memang tidak efektif. Atau kita hanya menjadi bangsawan, menggeliat sebentar, lalu tidur lagi? Kecenderungan demikian bisa saja terjadi.