
Oleh : M. Najih*
Terakota.id—Hari Raya Ketupat merupakan puncak dari perayaan bagi kita umat Islam setelah Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Juga menandai akhir perayaan hari raya di bulan syawal. Bagi pegiat sunah, puasa sunah syawal dikerjakan.
Hal ini mengingatkan saya waktu kecil ketika diajak mudik oleh ibu bapak saya ke rumah kakek-nenek. Mereka terbiasa puasa syawal mulai hari ke tiga syawal, Tapi waktu itu dipikiran saya bertanya-tanya kenapa kakek nenek juga paman-bibi sudah puasa lagi? Kan udah selesai puasanya?
Masyarakat di kampung mbah saya waktu itu disebut “nyawal”. Ketika saya memasuki jenjang pendidikan SLTP barulah saya memahami ajaran sunah rasul itu. Ketika guru pelajaran fiqih menjelaskan tentang jenis atau macam puasa sunah.
Ketika saya sampai usia sekolah SLTP itu, setiap kami mudik ke kampung halaman simbah selalu bertanya “le/cung wis oleh piro nyawalmu? (Nak sudah dapat berapa nyawalnya ?).” Itulah hadiah lebaran terindah dari simbah yang selalu aku kenang.
Tradisi “hari raya ketupat”, sudah semakin memudar di masyarakat terutama masyarakat urban. Padahal tradisi ini telah menciptakan berbagai ragam budaya “kuliner” dan “silaturahim”. Ketupat merupakan ikon utama peristiwa ini, sehingga hari ini kita bisa menyaksikan salah satu simbol hari raya Idul Fitri yakni ketupat. Mal, supermarket, pertokoan di kota kita bisa menyaksikan beragam model ketupan. Ketupat menjadi hiasan menyambut hari raya Idul Fitri.
Hari Raya Ketupat
Hari raya ketupat biasa jatuh pada hari keenam setelah Idul Fitri. Menurut cerita kakek saya dulu, “riyoyo kupatan” itu tradisi yang di bawa oleh para wali. Terutama di pantura jawa disebarkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Secara maknawi ketupat dalam bahasa jawa juga sunda disebut “kupat” yang berasal dari akronim dua kata “ngaku lepat (mengaku salah)“.
Maka relevan dengan istilah itu, di kampung mbah saya itu sejak 1 syawal sampai 6 hari kemudian “hari raya kupatan.” Warga masyarakat melakukan saling bersilaturahim ke sanak saudara dan juga kerabat untuk melakukan “kluputan”, saling berkunjung, memohon dimaafkan atas segala kesalahan dan mendoakan. Serta saling bertukar kabar (besilaturahim).

Mengingat cerita kakek saya yang tokoh agama di kampungnya selain pedagang. Tradisi kupatan menurut Sunan Kalijaga mempunyai empat makna. Pertama, ketupat segi empat genjang, sebagai simbol hati tempat segala kemurnian dan keburukan perilaku manusia. Di hari yang fitri ini hati kembali harus di jaga dan dipelihara kesuciannya; Kedua, ketupat bermakna pengakuan keragaman kesalahan dan kelemahan manusia berasal dari rendah tingginya keimanan di hati manusia; Ketiga; ketupat ketika dibelah terlihat putih bersih yang melambangkan kesucian hati yang dibersihkan oleh laku shiam atau puasa Ramadan. Keempat, ketupat atau kupat segi empat genjang melambangkan permohonan maaf yang sempurna. Maka ketupat dihidangkan dengan masakan bersantan yang dusebut “kupat santen” yang akronim dari “kulo lepat nyuwun ngampunten. (sata bersalah maka saya mohon dimaafkan).”
Kesempatan yang beberapa hari berkumpul sanak saudara itu dewasa ini sering dikenali dengan “mudik lebaran”. Budaya hari raya ketupat, memang ada beragam cara di setiap daerah atau kampung. Kulit ketupat bisa dibuat dari daun kelapa muda, ada juga dari daun pandan duri, juga ada yang dari daun lontar/siwalan. Sekarang ada yang dari plastik, bahkan era sakarang sudah ada ketupat instan dijual di mal.
Kupat dan Lepet
Makan ketupat selalu nikmat jika disertai saryur bersantan seperti sayur lodeh, opor ayam, gulai ikan atau jenis lainnya. Tradisi ketupat di kampung mbah saya kulit bungkusnya dibuat dari daun lontar muda yang sedap dan harum. Ketupat dimakan dengan opor ayam dan kadang ada sayur lodeh rebung. Selain itu ada pasangan ketupat yaitu yang disebut “lepet” yang isinya berasal dari ketan dan kelapa parut yang gurih.
Lepet juga mempunyai makna tersendiri. Lepet akronim dari “silep kang rapet” = “monggo dipun silep ingkang rapet”. Artinya setelah mengaku salah, meminta maaf, maka hendaknya kita tutupi kita hapus kesalahan yang sudah dimaafkan. Ditutup dengan rapat, seolah tak pernah terjadi. Hendaknya jangan kita ulangi kekhilafan lampau, agar persaudaraan semakin erat atau lengketnya ketan dalam bungkusan lepet tersebut.
Tradisi ketupat, tidak hanya di Jawa, tetapi meluas dalam masyarakat muslim melayu Nusantara. Akhirnya “taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal ya karim”, Amin. Kemudian diakhir silaturrahim kami saling berucap; “kupat lepet tali janur, andum selamet panjang umur”. Semoga berjumpa lagi dengan Ramadhan tahun depan dan kupatan tahundepan. Amin.
Malang, 2 Syawal 1440 H

*Penulis adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi