
Terakota.id–“Menurut Anda apakah UUD 1945 bisa diubah?” tanya seorang yang berambut cepak dan berbadan tegap itu.
“Kalau menurut UUD 1945 bisa pak. Ada dasar hukumnya, “jawab saya yakin meski waktu itu tidak hafal pasalnya.
“Lho. Kamu ini gimana?”
Saya agak kaget dengan reaksi orang yang bertanya itu. Tapi saya Percaya Diri (PD) saja karena benar.
“Kamu tahu tidak? Jika UUD bisa diubah maka Pembukaannya juga akan bisa diubah?”
Saya hanya menganggukkan kepala. Karena pendapatnya saya anggap benar soal pembukaan UUD tersebut.
Dia melanjutkan, “Jika pembukaan itu bisa diubah, maka Pancasila dalam pembukaan itu bisa diubah juga. Ini kan bahaya?”
Saya waktu itu langsung pesimis bisa diterima menjadi dosen. Karena jawaban saya tidak dikehendaki yang mewawancara saya itu. Kendati jawaban saya benar dan ada dasar hukumnya. Tetapi pemerintah Orde Baru (Orba) menjadikan Pancasila sebagai mantra yang bisa mengubah segala keadaan. Itu petikan dialog saat saya mengikuti seleksi dosen di Surabaya tahun 1996.
Cemas dan Ketakutan Jadi Satu
Dari sekolah menengah hingga Perguruan Tinggi (PT) setidaknya saya pernah mengikuti Penataran P4 sebanyak 3 kali. Saat saya masuk SMA, saat diterima kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga dan saat kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS). Isi penataran tentu saja “indoktrinasi” nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Namun semua sering berhenti dalam hafalan sekolah dan tak banyak bekasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Soal 36 butir Pancasila jangan tanya. Saya hafal di luar kepala. Mengapa? Karena ini pertanyaan yang pasti keluar saat ujian. Atau minimal saya bisa dianggap “Pancasilais” karena hafal 36 butir Pancasila. Jadi wajib saya hafalkan.
Saat sekolah di SD pun, 36 butir itu wajib dihafalkan dengan memakai “jembatan kedelai” agar “menancap” kuat dalam otak.
Guru saya Pendidikan Moral Pancasila (PMP), pak Abidin, bahkan mewajibkan siswanya mencatat soal-soal latihan. Jadi, ada siswa yang mencatat di papan tulis lalu para murid lain menyalinnya. Ujian, mayoritas soal keluar tentang 36 butir Pancasila tersebut.
Semua harus ditatar P4. Seseorang yang mau masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun tidak akan lepas dari penataran. Semua guru, kepala sekolah, dan dosen perlu memberikan wawasan kebangsaan. Pemerintah Orde Baru menyebutnya sebagai Wawasan Wiyatamandala.
Wawasan yang mempersatukan seluruh suku, agama, dan antar golongan, yang tinggal di berbagai pulau. Wawasan juga bertujuan menyatukan pandang terhadap nusantara dan kesamaan terhadap hidup bernegara.
Waktu itu niatnya sangat baik. Bagaimana tidak? Pemerintah berkeinginan memberikan wawasan Kepancasilaan, diejawantahkan dalam sebuah acara yang diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagus bener idenya.
Secara teori pun sebenarnya Penataran P4 diajarkan bagaimana memahami bahwa Pancasila itu sebagai asas tunggal bangsa Indonesua. Ia juga ideologi tunggal bangsa Indonesia. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Bahkan Pencasila sebagai pedoman Bangsa Indonesia.
Tujuannya agar dipahami bahwa Pancasila sebagai bentuk kesamaan arah pandang dalam hidup bernegara. Sehingga, berbagai bentuk “ajaran” di luar Pancasila, teror, politik adu domba bertentangan dengan Pancasila dan harus “dimusnahkan”.
Niat Orba tentu baik. Ia berusaha menyamakan persepsi bahwa Indonesia bukan negara agama atau komunis. Orba mewarisi berbagai pertikaian politik tingkat tinggi yang memungkinkan Pancasila “dirongrong”. Ada kelompok yang ingin mengganti “ajaran” Pancasila.
Salah satu yang dicurigai waktu itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun sampai perkembangannya bukti bahwa PKI itu mau mengganti Pancasila juga masih bisa diperdebatkan. Yang jelas waktu itu ada konflik politik dalam lingkar kekuasaan. PKI bisa jadi menjadi “kambing hitam” pertikaian itu. Orba mewarisi sistem politik ketakutan dan kecemasan menjadi satu.
Tafsir Tunggal
Setelah Pancasila dipaksa disamakan apa yang bisa dirasakan? Tak banyak hasil positif. Bangsa ini terkenal plural. Waktu itu, dipaksa disamakan. Bahkan dengan kekerasan sekalipun. Indoktrinasi Pancasila tumbuh menjadi doktrin “siapa melawan kekuasaan akan dicap sebagai anti Pancasila”. Ini dalam perkembangannya. Orang akhirnya takut. Jika sudah dituduh tak Pancasilais maka ia akan “diperkarakan” pemerintah.
Apakah itu bisa dilakukan? Bagaimana tidak bisa? Tafsir Pancasilais dan tidak Pancasilais ada di tangan pemerintah waktu itu. Jadi, Pancasilais atau tidak tergantung tafsir tunggal pemerintah.
Siapa berani melawan? Maka ia harus berhadapan dengan “aparat keamanan”.
Ketakutan ini berkembang bahwa jika tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah akan dicap tidak loyal. Generasi yang tak pernah merasakan hidup zaman Orba tentu agak susah merasakan bagaimana suasana kebatinan masyarakat waktu itu.
Zaman Orba semua diseragamkan. Tidak boleh ada yang berbeda dengan keinginan pemerintah. Mereka yang berbeda akhinya dipenjarakan atau dibunuh tanpa proses pengadilan yang memadai. Bisakah? Tafsir kebenaran ada di tangan pemerintah.
Tafsir Pancasila ada di tangan pemerintah.
Mengapa begitu? Kekuasaan bisa tegak salah satunya dengan mencari “kambing hitam”. Waktu itu, PKI dijadikan sasaran sebagai “kambing hitam” untuk memperkuat kekuasaan. Lalu didukung mitos nilai-nilai Pancasila. Apakah PKI memang benar ada atau “akal-akalan” Pemerintah waktu itu? Tidak ada jawaban yang tegas saat. Semua karena bentuk pertikaian politik. Juga ketakutan pemerintah yang kelewat besar pada “hantu” PKI tersebut. Maka Pancasila dijadikan mantra .
Kekinian
Saat ini pemerintah punya keinginan untuk membuat kebijakan seperti penataran P4. Ada yang menyebutnya pemantapan ideologi Pancasila. Ada yang menyebut penataran ideologi. Apapun istilahnya intinya menjadikan Pancasila sebagai “mantra” tunggal dalam bernegara. Situasi ini hampir sama persis dengan Orba saat berdiri.
Mengapa pemerintah memandang penting? Pertama, pemerintah sedang takut dengan hantu radikalisme. Sama dengan pemerintah zaman Orba yang takut dengan hantu PKI. Mungkin asumsi ini tidak benar tetapi tidak begitu meleset. Sebagaimana kita tahu hantu-hantu itu bisa sengaja diproduksi dalam wacana kemudian didengungkan dan dibuat agar tercipta ketakutan lalu ada kebijakan pemerintah yang keluar.
Apakah demikian adanya? Ini tentu soal politik. Dalam politik itu selalu ada usaha untuk menancapkan kekuasaan. Salah satu caranya dengan membuat ketakutan lalu dibuat kebijakan. Tentu saja, mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara bagus. Sangat bagus. Bahkan layak didukung. Orang yang tidak mendukung berarti tidak mendukung Pancasila.
Namun sekali lagi ini soal politik. Politik itu menyangkut kekuasaan. Jika demikian tentu ada kekhawatiran bahwa ketakutan-ketakutan itu sengaja diciptakan agar seluruh lapisan masyarakat mendukungnya. Tentu kita tidak berburuk sangka. Juga bukan mencurigai pemerintah saat seperti itu. Ini hanya kecemasan. Kecemasan agar kita semua perlu waspada dan hati-hati. Semua harus saling mengawasi dan mengingatkan, bukan?
Kedua, kekuasaan itu mengumpul, tak terbagi dan konstan. Dimanapun, kapanpun, siapapun yang menjadi penguasa di Indonesia saat ini punya kecenderungan untuk menancapkan kekuaasaan. Ada kecenderungan membenturkan kekuasaan Islam dengan negara. Atau umat Islam sendiri yang membenturkan diri?
Coba lihat wacana yang berkembang berkaitan dengan Islam vis a vis negara. Kecurigaan antar pihak sangat tinggi. Kecurigaan pemerintah pun seolah semakin mengalami kenaikan. Beberapa kelompok Islam memaksakan diri menjadikan ajaran Islam mewarnai kebijakan negara. Padahal Pancasila itu sudah Islam jika benar-benar dilaksanakan dengan baik. Jadilan keduanya tidak rukun.
Maka, menegakkan ideologi Pancasila dianggap sebagai satu-satunya cara untuk meredam “perbedaan” yang berkembang di masyarakat.
Kambing Hitam
Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah sekarang sama dengan Orba. Tidak begitu maksudnya. Tetapi indikasi ke arah sana layak untuk dicemaskan. Bukan apa-apa. Kita hanya tidak ingin mengulang sejarah kelam Orba. Orba itu aslinya bagus, tetapi dalam perkembanganya mengalami kemunduran. Mengapa mencemaskan pemerintahan sekarang? Ini politik kekuasaan.
Apapun bisa terjadi. Termasuk Pancasila yang pernah diidealkan pemerintah Orba toh akhirnya berujung tafsir sepihak pada pemerintah dengan ujung “melenyapkan yang berbeda?”
Sekali lagi, ini tidak mempermasalahkan Pancasila. Juga tidak memandang sebelah mata usaha pemerintah dalam menyatukan berbagai komponen masyarakat. Kita hanya mengingatkan. Jangan sampai kekuasaan itu semakin kukuh tanpa kontrol. Jika itu terjadi maka penyalahgunaan kekuasaan tidak bisa dihindari. Sekali lagi ini kekuasaan politik.
Apapun bisa terjadi. Termasuk apapun bisa dilakukan untuk mencapai tujuan mengukuhkan kekuasaan dengan atas nama Pancasila sekalipun.
Pancasila hasil kesepakatan akhir. Tidak boleh ada ideologi lain di luar Pancasila. Tetapi Pancasila bisa menjadi komoditas politik untuk mengukuhkan kekuasaan politik. Itulah kenapa kontrol masyarakat tetap dibutuhkan. Sebab pemerintah sekarang punya kecenderungan besar menekan setiap perbedaan yang ada di masyarakat.
Buktinya, keberatan dan keluhan masyarakat cenderung dipandang sebelah mata. Ingat revisi UU KPK? Ingat Omnibus Law? Kalaupun mengatakan mendengarkan keluhan sekadar lips service. Koalisi antara eksekutif, legislatif, yudikati yang saat ini terjadi memberikan peluang pemberantasan dan penyalahgunaan kekuasaan sulit dilakukan. Aturan hukum hanya akan melayani mereka yang sedang berkuasa.
Pemerintah Orba bisa jadi teladan baik.
Mengukuhkan kekuasaan dengan mencari kambing hitam dan memitoskan sesuatu bukan pilihan bijak. Saat ini, masyarakat sudah sedemikian cerdas. Kita tak butuh mantra pejinak ular.