
Terakota.id—Abraham Lapidoth, warga Belanda yang tinggal di Malang masa Hindia Belanda mendirikan sebuah hotel di depan Alun-alun Malang, pada 1860. Hotel ini menjadi salah satu penginapan paling awal berdiri di masa kolonial.
Diberi nama Lapidoth Hotel, merujuk pada nama pemilik. Arsitektur bangunannya tak meninggalkan unsur budaya Jawa. Berupa joglo, cenderung berbentuk pendopo dipadukan nuansa eropa. Untuk detail ornamen di dalamnya didatangkan langsung dari eropa.
Lapidoth Hotel pernah mengalami berbagai peristiwa di masa kolonial. Menjadi saksi selama Belanda berkuasa maupun perjuangan Arek-arek Malang. Hotel yang kini berusia 159 tahun ini bersalin nama menjadi Hotel Pelangi. Terletak di Jalan Merdeka Selatan nomor 3 Kota Malang.
Juru bicara Hotel Pelangi, Arda Orbita Sabatini mengatakan, kondisi hotel sekarang ini masih 60 persen seperti kali pertama dibangun. “Beberapa perubahan terjadi karena sejumlah faktor,” katanya.
Sisa-sisa warisan masa lalu itu masih bisa dijumpai. Misalnya, salah satu ruangan yang kini berfungsi sebagai Hall Lodji Coffe Shop and Resto. Seluruh bagian atap dan tegel ruangan masih aslinya. Dinding ruangan, tertempel 22 lukisan keramik masih jelas terlihat.

Seluruh bahan lukisan keramik didatangkan langsung dari Belanda. Lukisan bertema suasana desa di Belanda. Lukisan berjudul De Hoofdtoren te Hoorn misalnya, menampillkan bangunan menara utama di antara rumah – rumah di sebuah desa di provinsi Belanda utara.
“Tamu kami yang berasal dari Belanda menyebut beberapa tempat yang dilukisan keramik itu masih ada,” ujar Arda.
Nama hotel ini sendiri sudah berganti berkali – kali sejak pertama dibangun dengan 50 kamar. Pada 1870, nama Lapidoth Hotel berubah jadi Hotel Malang dan diganti lagi jadi Hotel Jensen pada 1900. Beberapa tahun kemudian, hotel dijual dan sebagian bangunannya dihancurkan.
Pada 1915, pemilik yang baru membangun kembali hotel ini sekaligus memberi nama Palace Hotel memiliki 125 kamar. Arsitektur bangunannya pun ikut diubah. Dua menara tinggi menjulang dibangun di sisi kiri dan kanan pada tengah bangunan utama.
Ciri khas corak neo-gothic atau gaya arsitektur yang populer di eropa abad 19 pertengahan. Menjadi salah satu hotel terbesar di gementee atau Kotamadya Malang masa itu.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) namanya berganti lagi menjadi Asoma Hotel. Tapi tak berselang lama, setelah proklamai kemerdekaan namanya dikembalikan seperti semula. Saat Belanda kembali masuk ke Indonesia, hotel ini mengalami kerusakan parah. Dua menara dan sebagian besar bangunannya hancur, dibakar.
Pembakaran terjadi dalam peristiwa Malang Bumi Hangus, saat arek-arek Malang membakar seribuan bangunan di seluruh kota. Sebagai penolakan kedatangan Belanda yang ditandai dengan Agresi Militer Belanda I, 1947. Seluruh aktivitas hotel pun turut terhenti saat itu.
Pada masa kemerdekaan, hotel ini kembali menggeliat. Seorang pengusaha asal Banjarmasin membeli hotel itu pada 1953. Nama Palace Hotel resmi diubah menjadi Hotel Pelangi pada 1964. “Pengelola sekarang adalah generasi kedua,” ujar Arda.
Bangunan Hotel Pelangi sendiri sudah dimasukkan dalam Sistem Registrasi Nasional. Menjadi salah satu cagar budaya di Kota Malang karena nilai sejarahnya yang tinggi. Sekaligus termasuk dalam 32 bangunan berstatus cagar budaya yang baru saja ditetapkan Pemerintah Kota Malang.

Redaktur Pelaksana
[…] Kisah Hotel Pertama di Malang pada Masa Kolonial […]
[…] Kisah Hotel Pertama di Malang pada Masa Kolonial […]
[…] Kisah Hotel Pertama di Malang pada Masa Kolonial […]