Kisah di Balik Pesugihan Gunung Kawi

kisah-di-balik-pesugihan-gunung-kawi
Pintu masuk menuju pesarean Kiai Zakaria II Gunung Kawi , Wonosari, Kabupaten Malang. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.idHarum dupa menguar dari balik pendapa di Pesarean Gunung Kawi, Wonosari, Kabupaten Malang. Di dalam bangunan bergaya arsitektur Jawa ini terdapat dua nisan, yakni makam Kiai Zakaria II atau Eyang Jugo dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono. Tiga orang berkulit putih dan bermata sipit duduk bersimpuh di depan makam. Mereka merapal doa sesuai agama dan keyakinan.

Sementara juru kunci, Iwan Suryandoko, 45 tahun, memimpin doa. Doa dipanjat menggunakan perpaduan bahasa Jawa dan bahasa Arab. Di depan mereka, teronggok tumpeng lengkap dengan ayam utuh atau ingkung, sayur dan lauk lengkap. “Mereka keturunan Thionghoa berdoa dengan agama dan keyakinannya. Sementara kami memandu dengan keyakinan kami. Tak masalah,” katanya.

Setiap berdoa, katanya, mereka melakukan ritual berupa tasyakuran atau kenduri. Ada akulturasi agama dan budaya. Eyang Jugo seolah mempersatukan perbedaan agama dan budaya, antara Islam, Konghucu, Jawa dan Thionghoa. Usai berdoa, sebagian tumpeng dibagikan kepada penduduk setempat.

Beberapa warga keturunan Thionghoa dan penduduk pribumi berdoa di pesarean. Iwan Suryandoko dan sejumlah juru kunci mengenakan pakaian senada, serba hitam. Mulai sarung, beskap dan blangkon berwarna hitam. Mereka melayani setiap para peziarah yang datang untuk berkirim doa.

kisah-di-balik-pesugihan-gunung-kawi
Penjual bunga mawar berjajar di sepanjang jalan menuju pesarean Gunung Kawi. (Terakota/Eko Widianto).

Pesarean Kiai Zakaria II ini ramai dihadiri peziarah saat Jumat legi dan bulan Sura menurut penanggalan Jawa. Selain itu, para jamaah tahlil dan salawat bermunajat dan berdoa saat Ahad malam. Mereka bertawasul, tahlil dan membawa surat yasin di depan pusara Kiai Zakaria II dan Eyang Iman Soedjono.

Disamping makam, terdapat dua buah guci berisi air. Guci tersebut merupakan warisan temurun temurun milik Kiai Zakaria. Dari dulu, katanya, menjadi tempat menyimpan air minum. Sempat beredar kabar di kalangan peziarah, guci berisi air zam zam.

“Saya juga tak tahu bagaimana tersebar air zam-zam,” katanya.Padahal air diambil dari sumber mata air di bawahnya.

Misteri Pohon Dewa Daru

Di sebelah makam berdiri sebuah musala untuk beribadah. Sebuah pohon dewa tumbuh kokoh di samping makam. Dedaunan dewa daru menaungi areal pemakaman. Teduh, dan nyaman. Sebagian masyarakat meyakini, barang siapa yang kejatuhan buah dewa daru bakal mendapat rezeki. Sehingga banyak orang berdatangan untuk mendapat rezeki.

Keyakinan itu tak benar, kata Iwan, lantaran Kiai Zakaria II menurut kisah yang dikenal turun temurun dewa daru merupakan isyarat bekerja keras dan sabra. Kiai Zakaria II sempat memberi pelajaran kepada santrinya jika ingin hidup mulia atau berkecukupan, tunggu jatuhnya buah dewa daru. Artinya, jika ingin hidup berkecukupan harus melalui proses, sabar dan bekerja keras.

“Sebenarnya pelajaran harus berusaha dan berproses. Namun, sebagian menelan mentah-mentah petuah tersebut,” katanya. Karena karomah Kiai Zakaria II, doa para peziarah terkabul. Sehingga pesarean Gunung Kawi dikenal sebagai tempat pesugihan. Setelah banyak doa orang yang berziarah yang terkabul.

“Mereka yang menganggap pesugihan pasti belum pernah ke sini. Di sini berziarah dan berkirim doa,” katanya.

Warga keturuan Thionghoa, berziarah ke makam Kiai Zakaria II kemungkinan leluhurnya berpesan meminta anak cucunya untuk berziarah di makam Kiai Zakaria II. “Jika ingin menemui Mbah-mu temui di Gunung Kawi,” katanya.

kisah-di-balik-pesugihan-gunung-kawi
Klenteng atau Peribadatan Tri Dharma Dewi Kwan Im berdiri di bawah areal pesarean Gunung Kawi. (Terakota/Eko Widianto).

Sehingga turut berkembang kabar Kiai Zakaria II merupakan warga keturunan Thionghoa. Kiai Zakaria II dan Eyang Raden Mas Iman Sujono merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Saat perang Diponegoro, katanya, beragam etnis dan suku bangsa bergabung melawan Belanda. Termasuk keturunan Thionghoa.

Mereka menganggap Kiai Zakaria II sebagai pemimpin yang baik, pantas menjadi panutan. Sehingga menganjurkan kepada anak dan cucu untuk berziarah. Warga keturunan Thionghoa berziarah secara turun temurun sampai sekarang.

Untuk memenuhi kebutuhan ibadah turut dibangun Klenteng Kwan Im. Tempat ibadah Tri Dharma didirikan lantaran banyak umat Thionghoa beragama Konghucu, Budha dan Tao berziarah. Agar mereka bisa tenang berziarah dan beribadah. Lokasi Klenteng, berdampingan dengan masjid Iman Soejono.

Menyebarkan Agama Islam

Kiai Zakaria II, katanya, merupakan bhayangkara balatentara atau pengikut Pangeran Diponegoro.  Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda karena tipu daya, para pengikutnya mengembara. Mereka tak menyerah, namun menyebar ke sejumlah daerah. Termasuk Kiai Zakaria II, yang mengembara untuk bersyiar agama Islam dan menolong sesama.

Perjalanan Kiai Zakaria sampai di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Saat tengah beristirahat di persawahan, ada kabar tersebar wabah penyakit. Kiai Zakaria berusaha menolong, hasilnya warga setempat  sembuh dan kembali sehat. Setelah itu, masyarakat setempat meminta Kiai Zakaria II menetap di desanya. Mereka mewakafkan lahan persawahan untuk rumah tinggal.

Di lahan itu juga didirikan padepokan, dengan banyak pengikut. Di padepokan para pengikutnya belajar obat-obatan, pertanian, pertanian, bela diri dan ilmu agama. Selanjutnya, Iman Soedjono teman seperjuangannya yang sempat terpisah, menyusul. Mereka bersatu mengelola padepokan. Selain Eyang Iman, pengikut setianya turut menyusul. Semakin hari padepokan semakin besar.

Lima tahun menjelang wafat, Kiai Zakaria II meminta Eyang Iman Soedjono membuka lahan di selatan timur Gunung Kawi. Lahan tersebut bakal digunakan pemakamannya. Iman Soedjono mempersiapkan lahan sambil mendirikan rumah permukiman. Setelah Kiai Zakaria II wafat, pada 22 Januari 1871. Sedangkan Eyang Raden Mas Iman Soedjono tak kembali ke Jugo dan memilih menetap di Wonosari.

Eyang Iman Soedjono juga mendirikan padepokan di Gunung Kawi. Lima tahun berikutnya 8 Februari 1876 Eyang Iman Soedjono turut berpulang. Jenazahnya dimakamkan berdampingan. “Setelah beliau tak ada malah hilang ajarannya. Yang terjadi justru pengkultusan,” katanya.

kisah-di-balik-pesugihan-gunung-kawi
Klenteng Dewi Kwan Im berdampingan dengan masjid Iman Sujono. Ada toleransi dan akulturasi agama dan budaya di Gunung Kawi. (Terakota/Eko Widianto).

Kiai Zakaria dan Eyang Iman Soedjono meninggalkan kitab berbentuk manuskrip. Dua kitab disimpan keturunan Eyang Iman Soedjono. Sedangkan sejumlah kitab disimpan di Desa Jugo, Kesamben, Kabupaten Blitar. Sayang, ajaran dalam kitab justru tak dipelajari. Untuk itu, pengurus Pesarean Gunung Kawi tengah berusaha mengundang ahli untuk menerjemahkan kitab manuskrip.

Kiai Zakaria II, katanya, merupakan ulama besar dan mencintai budaya Jawa. Kitab bertulis tangan dengan aksara pegon atau arab gundul. Kitab menggunakan bahasa Jawa ditulis di atas kertas putih yang kini berwarna kecoklat-coklatan. “Kondisi kitab masih bagus, bisa dibaca,” ujarnya.

Sedangkan padepokan di Gunung Kawi berubah menjadi permukiman warga. Sebagian merupakan pengikut setiap Kiai Zakaria II dan Eyang Iman Soedjono. Sebagian pendatang dari berbagai daerah. Sehingga kawasan pesarean menjadi permukiman padat, dan ramai.

Berziarah Melintasi Zaman

Dulu, katanya, antara 1980-1990 sekitar10 hari sebelum lebaran ramai peziarah. Terutama peziarah terdiri dari umat Konghucu yang merupakan keturunan Thionghoa. Menjelang libur lebaran mereka berkirim doa sembari rekreasi di Gunung Kawi dan menghabiskan masa libur lebaran. Zaman berubah, banyak alternatif tempat wisata. Sehingga, umat Khonghucu etnis Thionghoa beralih berwisata ke sejumlah tempat, salah satunya Batu.

Puncaknya pada tanggal 12 pada bulan Sura menurut penanggalan Jawa. Keluarga Eyang Iman Soedjono menggelar haul. Dimulai dengan menyekar ke makam, tahlil, berkirim doa di makam dan dilanjutkan pengajian pada malam hari. Sementara sejak 1 Sura 2002, digelar ritual bersih desa. Kegiatan diselenggarakan Pemerintahan desa setempat didukung Pemerintah Kabupaten Malang.

Menjelang magrib, para peziarah turun dari pesarean. Salah satunya, rombongan keluarga besar Harianto berasal dari Jember. Harianto datang bersama anak dan istri, untuk berziarah dan berkirim doa. Ia berdoa akan kerja dan usahanya lancar. “Alhamdulillah, rezeki lancar,” katanya.

kisah-di-balik-pesugihan-gunung-kawi
Klenteng Dewi Kwan Im dengan latar pesarean Gunung Kawi dilihat dari masjid Iman Sujono. (Terakota/Eko Widianto).

Ia telah lima kali berziarah ke makam Kiai Zakaria II. Di samping makam Kiai Zakaria II, ia bertawasul dan membaca tahlil. “Kami berdoa kepada Allah, SWT. Berziarah ini perantara saja,” katanya sembari tangannya membawa wadah berisi bunga mawar berwarna merah.

Sementara Agus Subiyanto warga Desa Wonosari mengatakan kampungnya pernah mendapat sumbangan seekor sapi dari perziarah. Biasanya, kata Agus, peziarah yang berhasil atau rezekinya lancar bernadzar bersedekah. Seperti pada 2000-an lalu, seorang peziarah menyumbangkan 300 ekor sapi.

“RW saya mendapat seekor sapi,” katanya.