
Oleh : Jatiayu Wilujeng*
Terakota.id–Perupa Sawir Wirastho, 38 tahun, menyulap ampas kopi menjadi karya seni yang unik. Karya lukis yang dihasilkan sarat dengan pesan dan kritik sosial. Ampas kopi ditorehkan di atas lembaran kertas. Ampas kopi menjadi pengganti cat minyak dilakukan tanpa sengaja.
Gagasan ampas kopi untuk melukis, berawal dari kebiasaan Sawir meminum kopi dan ‘nyethe’ yakni mengoleskan ampas kopi di batang rokok. Setelah berhenti merokok, kebiasaan nyethe tak bisa hilang, mediumnya berganti.
Bukan batang rokok, Sawir awalnya mencoba melukis di atas kertas tisu. Kemudian beralih menggunakan kertas. “Kok asyik, akhirnya saya menekuninya menjadi sebuah media tersendiri,” kata sawir dalam pameran Menyeni Rupa Bersama Komunitas Kalimetro, 27 November 2017.
Sawir menekuni melukis dengan ampas kopi sejak 1999. Jatuh bangun telah dilalui Sawir. Sejumlah karya lukis yang dihasilkan dari kerja keras, ludes terbakar. Memulih mundur sebagai guru cukup memberikan pengalaman hidup bagi dirinya.
Dia pernah mengalami antara hidup dan mati, namun percaya mendapat kesempatan hidup yang kedua. Seniman jebolan Universitas Negeri Malang mulai bangkit. Ambisi melukis ia kobarkan kembali. Ragam lukisan dengan media ampas kopi ini memuat makna-makna dari pengalaman hidupnya.
Karya seni lukis Sawir kerap tampil dalam berbagai pameran di Malang, Yogyakarta, hingga Jakarta. Lukisannya diapresiasi penikmat seni, sebuah lukisan dihargai beragam, mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Menjual lukisan bagi Sawir bukan tujuan utama dalam berkarya.
Bergelut di dunia seni bukan satu-satunya tujuan hidup Sawir, dia juga menekuni coffee roastery. Kopi yang diproduksinya dipasarkan ke sejumlah kedai kopi di Malang dengan merek Cangkir Laras. Penghasilan dari usaha memproduksi kopi bubuk ini lebih menjanjikan untuk kehidupan keluarganya. Sawir tak hanya menghidupi diri sendiri, namun juga menghidupi 30 anak asuh di rumah singgah ‘Rumah Belajar Cangkir Laras’.
Bagi Sawir, menjadi seorang seniman bukan tujuan utama. Ia menekankan karya seni hasil penciptaaannya merupakan caranya untuk bercerita dan berdoa. Sawir juga menjadi motivator bagi seniman muda Malang. Dia berpesan agar seniman muda menyiapkan mental saat terjun di dunia seni.
“Jika ingin menjadi seniman, siapkan mental! Karena profesi apapun jika tak siap mental pasti akan jatuh. Apalagi eksistensi seni tidak mudah menghasilkan begitu saja,” katanya.
Pameran Bersama
Pameran yang diselenggarakan Komunitas Kalimetro merupakan kali pertama pameran siswa kelas kreatid menyeni rupa bersama menyapa khalayak. Enam perupa muda menyuguhkan masing-masing karya antara lain, Nadiatus mahasiswa Hukum Universitas Islam, Ilyas mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (FILKOM) Universitas Brawijaya, Agustina mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Malang, Va alumnus Politeknik Malang, Odang mahasiswa FILKOM Universitas Brawijaya, Ayuma mahasiwa Fakultas Ilmi Administrasi Universitas Brawijaya.
“Pameran memberikan ruang bagi perupa muda untuk berekspresi,” kata pemandu kelas kreatif, Feri H. Said. Pameran juga menggandeng para seniman kawakan meliputi Maruto, Indra Setiawan, Sawir Wirantho dan Hengki Irawan. Pameran bersama, katanya, murni untuk memotivasi para peserta.
Selain melukis Feri juga seorang gitaris Hankestra. Menurut Feri keenam perupa muda siap berpameran. Kebanyakan berupa lukisan ilustrasi dengan pensil dan tinta. Pameran selain menunjukkan karya para siswa kelas kreatif, sekaligus untuk menunjukkan saling silang ide dan gagasan.
Kelas Menyeni Rupa Bersama di Komunitas Kalimetro rutin digelar setiap Jumat mulai pukul 16.00 WIB. Kelas memberikan ruang belajar secara bebas bagi kaum muda yang berminat dalam bidang seni rupa.
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi